Bab 3
Di malam hari dengan cahaya remang yang terpancar dari lampu merah dan oren, Sarah tengah memijat kaki ibunya yang masih mengenakan mukena putih sambil menyandarkan punggung di kepala ranjang. Mendengarkan dengan saksama lantunan ayat suci yang begitu menenangkan hati siapa saja.

Mbok Siti dengan penglihatan yang sedikit tak jelas, mengharuskannya untuk memegang Alquran sejajar dengan wajah. Bila orang menyarankan untuk memakai kaca mata, ia pun sudah memakainya. Namun, kaca mata peninggalan suaminya itu rusak sehingga tak dapat dipakai lagi. Untuk memperbaikinya, ia sama sekali tak punya uang. Makan sehari satu kali saja sudah dianggap untung.

Sarah yang sudah hafal beberapa surat yang sedang dibacakan, sesekali membenarkan bacaan ibunya. Berbalik kala dulu saat dirinya kecil Mbok Siti mengajarinya mengaji, kini dirinyalah yang membetulkan.

"Sodakallahul'azim." Mbok Siti mengakhiri bacaan dengan mencium lembut dan memeluk kitab suci. Kemudian disimpannya di atas lemari kecil yang terbuat dari kayu di samping ranjang.

Sesudah salat Magrib, Mbok Siti dan Sarah akan melantunkan ayat suci bersama-sama. Sedikit-sedikit wanita paru baya itu menghapal. Selain untuk mendapatkan pahala, juga untuk bekal di akhirat nanti.

"Nduk, telepon abangmu. Ibu kangen," pinta Mbok Sri sambil memejamkan matanya. 

Sarah yang ragu, mau tidak mau harus menuruti permintaan ibunya. Sudah lama mereka tak bertegur sapa. Tak jarang, untuk sekadar menyapa lewat sambungan pun, Aryo selalu mengabaikan.

Ia meraih ponsel di atas lemari kecil di samping Alquran, lalu jarinya menar-nari di atas benda pipih mengetikkan nama Aryo.

Panggilan tersambung setelah beberapa kali hanya suara dering. Hal itu juga melegakan hatinya karena terhindar dari pertanyaan yang akan dilontarkan ibunya. Semacam, "kalian sedang ada masalah?"

"Ada apa, Sar? Ibu baik-baik saja, 'kan?" Aryo mengawali pembicaraan tanpa mengucap salam lebih dulu.

Sarah yang sudah tahu percakapan antara Aryo dan Putri tadi siang, mengernyitkan alis. Barusan dia menanyakan kabar ibunya, tetapi enggan untuk sekadar menjenguk. Benar-benar aneh, pikirnya.

"Bang, Ibu mau bicara katanya," sahut Sarah singkat. Percuma saja ia memberitahukan keadaan sang ibu. Mau sakit, sembuh, kedua kakaknya tidak ada yang peduli.

"Mana? Cepetan, Abang lagi ngurus berkas," desak Aryo tak sabaran. Adanya telepon dari Sarah dianggap menggangu pekerjaan.

Tak mau membuang waktu, gadis memakai mukena putih sedikit menguning pemberian tetangga itu memberikan ponselnya pada sang ibu yang sudah tersenyum lebar tak sabar berbicara pada anak sulungnya.

"Nak, kamu apa kabar?" tanya Mbok Siti.

"Baik, Bu," jawab Aryo singkat.

"Kamu sudah makan, Nduk?"

"Sudah."

"Istrimu mana? Kok, suaranya nggak kedengeran?" 

"Dia lagi istirahat, Bu,"

"Sekali-kali bawa istrimu ke sini. Biar Sarah ada temannya. Lagian menantu Ibu yang cantik itu kalo siang hari sendiri 'kan?"

Siapa yang tak senang bila menantu bertandang ke rumah mertua. Apalagi istri dari anaknya itu benar-benar cantik, sampai-sampai banyak anak tetangga yang iri pada Aryo.

"Iya, Bu. Nanti Aryo sampein. Sudah dulu ya, Aryo lagi sibuk ngurus pekerjaan."

"Iya, Nak. Assalamu--"

Sambungan terputus sebelum Mbok Siti menyesaikan salamnya. Walaupun begitu, bibirnya tetap melengkungkan senyuman dengan hati yang begitu bahagia mendengar kabar anak baik-baik saja. 

Perjuangannya dengan mendiang sang suami membuahkan hasil. Anak lelakinya sudah sukses berkat kerja keras banting tulang, siang malam dari mereka berdua. Walaupun menyekolahkan Aryo dan Putri sampai tingkat SMA, itu sudah menjadi pencapaian luar biasa karena Sarah tidak bisa melanjutkan karena terkendala biaya.

Berbeda dengan sarah yang tengah menatap sendu ibunya. Anak lelaki satu-satunya dan sering dibangga-banggakan nyatanya tak sesuai harapan. Ibunya hanya tahu bahwa Aryo adalah anak baik dan penuh perhatian. Ia pun memaklumi kalau si sulung jarang berkunjung karena kesibukan. 

"Ibu tidak tahu sifat anak lelakimu yang sebenarnya," batin Sarah.

**

Ditempat yang sama pula setelah memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Aryo yang sebelumnya mengatakan bahwa dirinya tengah sibuk mengurus berkas, nyatanya ia sedang berbaring di samping istrinya. 

Tubuh berbalut dres tipis berwarna merah muda memperlihatkan pundak putih nan kecil dengan rambut hitam yang terurai membuat mata Aryo tak berkedip. Wanita yang dianggapnya sempurna membuatnya tak tega untuk menolak semua permintaan Lia. Salah satunya untuk tidak membawa Sarah dan Mbok Siti ke rumah.

Tadi saja sebelum mengangkat telepon, ia sempat berdebat dengan Lia untuk menerima atau tidaknya. Istrinya itu memberi alasan jika Sarah hanya membuang-buang waktu saja dan berpikir bahwa Sarah hanya memberi tahu tentang penyakit mertuanya. Namun, handphone yang tak berhenti berdering membuat Aryo terpaksa harus mengangkat.

"Dek, besok kamu jenguk Ibu, ya. Bawain makanan, kasihan sudah lama sekali kita tidak ke sana," ujar Aryo memiringkan badan sambil mebopang kepala menatap istrinya yang tengah asyik memainkan ponsel mahal.

Wanita yang kini berada di sampingnya itu adalah cinta pertama yang membuat hatinya luluh. Tak mudah untuk mendapatkannya karena derajat menjadi perbedaan di antara mereka. Namun, perbedaan itu bisa dipatahkan oleh Aryo dengan kesuksesan. Jatuh bangun bekerja di setiap hari agar mertuanya tahu bahwa ia bisa mendapatkan seorang Lina.

"Nggak, ah! Abang saja yang ke sana. Itu 'kan, ibunya Abang, bukan Ibu aku," celetuk Lia dengan bibir tak luput dari senyuman dan jari yang tak hentinya bergerak di atas layar pipih.

Hidupnya yang dikelilingi teman kelas atas, berpenampilan glamour dengan lemari menjulang yang dipenuhi koleksi barang branded membuat dirinya enggan untuk menginjakkan ke rumah yang sudah membesarkan suaminya. 

"Jangan gitulah, Dek. Ibuku itu ibumu juga. Dia mertuamu, sekali saja," bujuk Aryo dengan wajah memelas berharap istri cantiknya akan luluh. Pasalnya sejak dulu, Lia tak pernah menyukai ibunya.

Wanita dengan bibir merah muda dan bulu mata lentik itu menghentikan aktivitas, lantas menyimpan handphone di atas nakas. Ia menatap Aryo yang memakai baju tidur abu-abu dengan wajah datar.

"Kamu itu kenapa, sih, Bang? Dari dulu sudah bilang kalau aku tidak nyaman dengan rumah ibumu. Kamar mandi saja ada di luar, kalau aku mandi ada yang ngintip gimana? Terus, di sana nggak ada AC, kipas angin juga nggak ada, gerah tau!" tuturnya sambil berdecak sebal.

Aryo mengusap lembut punggung tangan istrinya, lalu dikecup. Salah satu cara untuk membuat istrinya luluh.

"Sebentar, saja. Ibu sedang sakit. Barusan juga bilang kangen sama kamu. Kamu nggak tahu karena fokus sama duniamu. Ya, sebagai imbalannya, besok Abang kasih uang banyak, deh!"

"Iya, iya. Gimana besok aja!" ketus Lia seraya menyandarkan punggung di kepala ranjang, tetapi tatapannya masih pada suaminya.

"Nah, gitu. Senyum, dong, biar nambah cantik!" Aryo memegang dagu Lia seraya mengedipkan sebelah mata.

Benar saja, rayuannya berhasil kala Lia tersenyum walaupun samar. Detik kemudian, mereka terlelap di peraduan.


Komentar

Login untuk melihat komentar!