"Lia—“ ucap Mbok Siti yang tiba-tiba saja sudah berada tak jauh dari mereka berdua.
Sarah yang melihatnya terkesiap, ia sungguh tak ingin bila ibunya mendengar apa yang baru saja mereka bicarakan. Ia kalut dengan berulang kali menatap Lia yang tengah tersenyum miris.
Waktu sudah hampir Zuhur, pantas saja bila Mbok Siti sudah pulang. Pakaiannya terlihat kotor dengan bakul di punggung berisikan parang dan tempat makan.
Wanita paru baya memakai penutup kepala yang terbuat dari anyaman bambu itu mendekati mereka berdua. Hal itu membuat Sarah semakin ketakutan. Bagaimana jadinya bila menantu yang selalu di sayang, pada kenyataannya sering menjelekkan. Sarah tidak mau membuat ibunya kecewa.
"Kenapa kalian di sini, Nduk?" tanya Mbok Siti setelah berdiri di sebelah Sarah. Wajah coklat dan dipenuhi keriput itu menatap bergantian menantu dan anaknya.
"Kamu sudah lama di sini, Nduk?" imbuhnya dengan senyum mengembang sambil menatap wajah putih milik menantunya itu. Ia kembali mengalihkan tatapan pada Sarah. "Kenapa Mbakmu tidak diajak masuk? Panas-panas gini kasihan, loh."
"Ah iya, Sarah lupa. Ayo masuk, Mbak," kata Sarah sedikit tergagap seraya melenggangkan jarak dengan ibunya, petanda memberi jalan untuk Lia.
Perasaan yang semula tak enak, kini sedikit membaik karena pada kenyataannya, Mbok Siti tak mendengar pembicaraan sebelumnya.
Lia memutar bola mata malas mendapat tawaran masuk ke rumah untuk ke sekian kalinya. Rumah bertiang kayu berukuran sedang dengan di depannya terdapat dipan, keramik yang sedikit pecah karena rumah yang dibangun sudah belasan tahun. Jika saja bukan Aryo yang memintanya untuk ke sini, ia tak akan sudi untuk menginjakkan kaki di halaman yang masih tanah.
Mau tidak mau, dirinya mengekori langkah mertua dan adik ipar yang lebih dulu berjalan. Menatap ke sekeliling dengan tangan mengusap tengkuk. Terakhir ke sini pada saat lebaran Idul fitri, meskipun jarak dari rumahnya ke rumah Mbok Siti tak terlalu jauh hanya beda desa saja, ia enggan untuk sekadar menjenguk.
Setelah berada di ruang tengah, Mbok Siti mempersilahkan Lia untuk duduk di kursi merah yang hanya ada tiga.
"Nak Lia, kamu duduk di sini dulu, ya. Ibu mau siapin makanan dulu. Kamu laper 'kan, Nak?"
"Enggak kok, Bu," sahut Lia singkat tanpa menatap sang mertua. Ia tengah mengibaskan tangan di depan wajah setelah masuk ke dalam rasanya gerah.
"Jangan bilang enggak. Jangan sungkan juga, rumah Ibu ya rumah anak mantu." Mbok Siti sedikit mengibaskan tangannya ke arah Lia. "Tunggu sebentar, Ibu mau ke dapur dulu," lanjutnya. Detik kemudian, ia melangkah pelan menuju dapur.
"Nduk, kamu belanja dulu gih, ke warung. Mbakmu pastinya lapar, dia juga jarang sarapan," ujar Mbok Siti pada Sarah yang tengah menyiapkan teko beserta gelas untuk dibawa ke ruang tengah.
"Enggak usah repot-repotlah, Bu. Lagian setiap kali Mbak Lia ke sini, dia nggak pernah mau makan. Minum saja disuruh Bang Aryo," jelas Sarah yang kini semakin tak suka pada wanita yang sudah dinikahi abangnya tiga tahun yang lalu.
Ya, yang dikatakan Sarah benar adanya. Setiap kali Lia menantu kesayangan ibunya datang, Mbok Sri akan melakukan apa saja untuk membuatnya senang. Memberanikan diri datang ke warung berbelanja dengan berutang hanya agar nantinya anak pulang dengan perut kenyang.
Akan tetapi di mata Lia, keluarga Aryo tak ubahnya benalu yang ikut menumpang hidup. Makanan yang selalu tersaji di hadapannya hanya ikan mas, sayur sop, ikan asin dan sambal. Melihatnya saja ia tak berselera, apa lagi memakannya.
Hal itu yang membuat Sarah kesal. Bayangkan saja menghabiskan beberapa jam di dapur memasak untuk melayani Lia, tapi hasilnya disentuh saja tidak. Apa salahnya bila menyantap hidangan dari tuan rumah walaupun hanya secuil? Itu tidak akan membuat perut sakit.
"Jangan begitu. Mungkin saja kemarin-kemarin, mbakmu masih kenyang dan sedang program diet. Jadi hanya abangmu saja yang makan," sambung Mbok Siti tetap berpikir positif dengan anak mantunya.
Tak ingin melihat ibunya kecewa, Sarah mengembuskan napas berat, lalu keluar dari pintu dapur untuk ke warung.
Sesampainya, ia mulai memanggil nama Mpok Kokom si empunya warung.
"Mpok, mau beli bahan-bahan sayur sop," kata Sarah sambil melihat-lihat pada wadah berisi sayuran.
"Beli atau utang dulu, nih," celetuk Mpok Kokom seraya mengambil plastik merah dan mengambil sayuran sop.
"Sayur sop beli, tapi ... berasnya utang dulu ya, Mpok. Uangnya tidak cukup," ucap Sarah pelan karena di genggaman tangannya hanya ada uang sepuluh ribu saja.
"Humm, utang beras kamu sudah lumayan banyak loh, Sar. Kapan mau bayar? Saya juga butuh uang buat balik modal," kata Mpok Kokom sambil meletakan plastik merah di depan Sarah dan berlanjut mengambil beras di belakangnya.
"Nanti Sarah bayar kalau sudah ada uangnya, Mpok. Tapi untuk sekarang ini memang sedang tidak punya uang."
Mendengarnya, Mpok Kokom mencebikkan bibir. Begitulah nasib orang tak punya. Mengutang tak sampai lima puluh ribu saja kena omelan. Beda lagi jika yang berutang orang berada, uang segitu bisa dengan mudah dimaklumi tanpa ada omongan dari mulut ke mulut.
**
Satu jam sudah berkutat di dapur dan selama itu juga Mbok Siti menemani Lia. Banyak pertanyaan yang dilontarkan membuat Lia bosan dan ingin segera pergi dari sana. Pertanyaan yang menurutnya garing dan tak bermutu. Seperti kerinduan, menceritakan perjuangan Aryo, dan apa Aryo sarapannya lahap?
Beberapa kali bolak-balik ke dapur, akhirnya Sarah sudah selesai menghidangkan makanan di atas tikar dekat kursi. Saat itu juga, Mbok Siti pamit sebentar untuk ke kamar mandi.
"Mbak, ayo makan. Jangan terlalu sering mengecewakan kami. Kami sudah susah payah membuatkan ini hanya untuk menyenangkan Mbak. Itu juga jika Mbak punya rasa kasihan," ucap Sarah pelan menatap tajam Lia.
"Saya dari tadi diam, nggak pernah meminta kamu membuatkan makanan ... seperti ini. Bikin repot diri sendiri." Lia memutar bola mata malas dan menatap ke arah pintu.
"Setidaknya hargai kerja keras kami. Memang benar kalau makanan yang disediakan berbeda dengan makanan mewah kelas atas. Tetapi buatanku juga higienis dan sehat."
Lia tak menjawab dan masih menatap pintu ke luar. Sarah sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran wanita di sampingnya. Wajah cantik nan sempurna, terlahir dari keluarga berada, tetapi sikapnya yang terkesan sombong seakan menjadi nilai nol dalam penglihatan gadis itu.
Terlihat, Lia membuka ponsel di genggaman tangan, mengetikkan sesuatu yang entah mengirim pesan pada siapa. Sarah duduk di seberang iparnya sambil memperhatikan.
"Loh, Nduk, kenapa makanannya dianggurin? Ayok makan, nanti keburu dingin," tegur Mbok Siti yang baru sampai ke ruang tengah.
Dering panggilan berbunyi dari benda pipih milik Lia.
Dengan cepat jarinya menggeser ikon hijau.
"Ada apa, Mir?" tanyanya pada Mira karyawannya di seberang.
"...."
"Kok bisa ada masalah, sih?" tanyanya lagi dengan wajah heran.
"...."
"Iya-iya, saya segera ke sana. Kamu tangani saja dulu."
Lia mematikan sambungan, lalu menatap sendu pada Mbok Siti. "Bu, Lia minta maaf. Di kantor sedang ada masalah yang harus Lia tangani sekarang."
"Ooh, begitu." Mbok Siti mengangguk walau sebenarnya kecewa. "Ya sudah, kamu selesaikan saja dulu urusannya, Nak. Nanti kalau sudah selesai ke sini lagi."
Setelah mendapat izin, Lia membetulkan tas selempangnya, lalu beranjak dari duduk melangkah ke luar. Di mana tangan Mbok Siti sudah menjulur, tetapi ditarik kembali dengan harapan menantunya bisa mencium tangannya lebih dulu.
"Mbakmu orangnya sibuk sekali, ya. Pantas saja hidupnya bahagia," lirih Mbok Siti menatap mobil Lia melaju meninggalkan halaman.
Sarah menatap sendu ibunya. Ia merasa kasihan atas apa yang baru saja Lia lakukan. Ia juga tahu bahwa telepon yang diterima palsu, hanya alasan saja.
'Bang Aryo ... Bang Aryo. Lebih baik Abang menikah dengan gadis miskin dari pada dengan wanita kaya yang tak tahu cara menghargai orang."