Pov Niken
Bagaimana perasaanmu, ketika memendam cinta kepada seseorang dan berakhir penolakan? Sementara kau tipe orang yang sulit dibantah jika ingin sesuatu. Sakit, seperti itulah aku sekarang.

Sudah lama aku memendam perasaan kepada Faiz. Sejjak ia kelas dua SMA tepatnya. Waktu itu satu kelompokku kebagian menyelesaikan tugas akhir sekaligus pengabdian sebelum skripsi, di sekolahnya. Dari situlah aku mulai mengamati kepribadian Faiz, kami dekat sebatas kakak adik. Meskipun setelah kuliah aku terjebak kehidupan sosialita yang gemar menghambur-hamburkan uang, sampai gonta-ganti pacar, tapi perasaanku tetap tidak berubah.

Sampai akhirnya niat perjodohan itu datang. Faiz yang tidak kunjung mau menikah di usia yang ke-25, membuat Tante Ambar pusing tujuh keliling. Masalahnya ia juga tidak respect kepada setiap gadis pilihan mamanya. Dan entah kenapa saat aku dan Mama datang, Tante Ambar sangat antusias menjodohkan kami.

Kuharap ini bukan suatu kebetulan atau halusinasi saja, tapi Faiz benar-benar menerima karena ia pun mencintaiku. Betapa aku adalah wanita paling bahagia di dunia ini.

Namun, semua itu salah, benar-benar di luar dugaanku. Faiz yang akhir-akhir ini kuberi perhatian lebih malah menolak halus. Ia datang ke rumah siang itu, menegaskan bahwa kami adalah teman pun ia belum ingin menikah. Sialnya, Mama memberi wejangan banyak setelah Faiz pamit pulang.

[Lisa, lu ada waktu kagak?]

Begitu aku berhasil menahan emosi, langsung kuputuskan mengirim pesan ke Lisa. Ia temanku paling baik, tidak pernah menolak curhatan apapun---meski cerita receh---asal senggang. Bukan teman Geng Sosialita Muda sih, tapi anak pegawai Papa Yaang karena satu hal akhirnya kerja di luar negri. (lain waktu akan ku ceritakan kisahnya)

[Iya. Lagi libur, Ken]

Tidak menunggu lama, aku langsung telepon. Rasanya tidak enak kalau curhat lewat chat, capek ngetik. Hahaa.

"Ken, lu baik-baik aja, kan?" tanya Lisa begitu telepon tersambung.

"Enggak!" jawabku singkat.

"Pantes postingan fbnya kode galau. Cerita, gih!"

Aku pun menceritakan semua penolakan serta nasehat Mama, bagaimana setelah itu aku tidak lagi ke luar rumah karena malu sendiri, serta sesekali membantu pekerjaan Papa yang membosankan. Lisa hanya diam mendengarkan. Sesekali terdengar ia mengembuskan napas kasar.

"Terus, sekarang keputusan lu gimana?" tanyanya begitu aku menyudahi cerita.

"Gue pengen kerja kayak elu, Lis!" jawabku mantap.

"Apa? Apa-apaan ini, Ken? Lu pikir kerja di luar negri itu gampang, apalagi lu anak sultan yang biasa hidup enak!"

Haduh, Lisa. Kenapa mesti bentak sih! Masih untung loh aku patah hati nggak nangis. Dasar teman ga ada ... sudahlah!

"Kalau lu bisa, kenapa gue kagak, Lis!" ucapku mantab.

"Serah deh. Gue yakin lu ga bakal direstui orang tua!"

Aku tertawa dan hanya menanggapi seadanya. Kemudian kami ngobrol hal-hal ringan seperti biasanya. Kita lihat saja buktinya, Lisa, bisa atau enggak gue ikutin jejak lu!
°°°°

Malam ini gerimis mengiringi dinnerku, Mama, dan Papa di sebuah cafe. Mama mengenakan gaun hijau lumut dengan japitan perak di sanggulnya, sementara Papa memilih kemeja santai berwarna biru gelap untuk dipakai. Benar-benar serasi sekaligus pas untuk merayakan anniversary pernikahan mereka yang ke-31.

Aku menguatkan hati untuk memberi kejutan yang tidak menyenangkan. Jangan ditanya kalau soal berat, rasanya lidah kelu dan ingin menangis saja. Namun, demi melupakan Faiz, aku harus bisa!

"Ma, Pa!" Kuawali pembicaraan ini dengan lembut, mencoba menetralisir debat jantung sekaligus sesak.

"Iya, Sayang. Kamu butuh apa?" balas Mama dengan tatapan lembutnya yang khas. Jujur saja, mendadak aku rapuh.

Aku tersenyum getir, ragu hendak berterus terang atau tidak. "Enggak, Ma. Niken cuma mau ngomong sama Mama dan papa."

"Apa, Sayang? Katakan ingin apa, semua akan Papa penuhi begitu kamu menyelesaikan kalimat." Kali ini Papa langsung bicara tanpa diperintah. Yang membuat Mama seketika mencubit lengannya dengan wajah sensi.

Duhh, so sweet sekali mereka!

"Lho, kenapa Mama yang sensi? Niken kan anak kesayangan kita, Ma!"

Tuh kaan!

Aku menahan tawa melihat perdebatan kecil ini. Kembali perasaan ragu dan berat berpisah itu campur jadi satu. Tidak, aku harus kuat demi melupakan seseorang, seperti yang Lisa lakukan.

"Mama, Papa!" Panggilanku rupanya berhasil menghentikan perdebatan mereka. Mama dan Papa kini menatapku. "Boleh nggak kalau Niken kerja ke luar negri?" ucapku akhirnya.

Uft, aku langsung menyesap cappucino dingin di depanku dengan wajah menunduk. Gugup, takut, juga lega campur jadi satu. Entah seperti apa wajahku saat ini.

"Apa?" tanya Mama dan Papa bersamaan. Kulirik wajah mereka nampak kaget dengan ucapanku tadi. Namun, semua sudah terlanjur kuucapkan. Bayangan Faiz sekaligus rasa malu membuat keberanian itu tumbuh.

"Mama nggak salah denger kan, Sayang?"

"Atau, apa yang Papa berikan selama ini kurang cukup?"

Aku mendongak, coba membalas tatapan Mama dan Papa dengan ekspresi yakin. Pertanyaan silih berganti itu pun segera kujawab dengan gelengan.

"Niken ingin sukses kayak Papa, Niken ingin segala kebutuhan dan keinginan bisa terpenuhi dengan keringat sendiri kayak Mama dulu." Aku menjeda sejenak ucapan. Menatap Mama dan Papa yang kini diliputi kekhawatiran. "Semua akan baik-baik aja, dan Niken sudah siap hidup susah!"

Sekali lagi maafkan aku Ma, Pa. Ini semua demi kebaikan hatiku agar tidak semakin terluka. Aku siap hidup susah kerja di negri orang, asal bisa sibuk dan melupakan perasaan kepada Faiz.

Komentar

Login untuk melihat komentar!