KEPULANGAN MAMA
Nafas masih memburu ketika kumasuki ruang rawat mama.
“Kenapa Papa gak bayar biaya pengobatan mama?” 

“El, Papa sudah kasih tahu kamu alasannya.”

“Itu bukan alasan! Papa membelikan mobil Citra dan rumah baru untuk simpanan Papa sementara itu lebih dari cukup untuk membayar biaya mama !” seruku dengan penuh emosi.

“Itu sudah Papa janjikan sejak lama untuk Citra,” jawabnya 

Kakiku lemas, bagaimana aku akan membayar biaya rumah sakit mama.
“Aku akan menjual mobilku.”

“Mobil akan disita tiga hari lagi beserta rumah jika Papa tidak membayar tunggakan perusahaan.”

Aku menangis sejadi-jadinya, bagaimana aku akan melewati ini?

“Tidak ada pilihan lain selain kamu menikahi anak Tuan Chan, dan kamu harus mau. Tanda tangani ini.” Papa menyodorkan selembar kertas padaku. Surat perjanjian menerima lamaran.

“Setelah menghancurkan mama, sekarang Papa ingin menghancurkanku? Jika harus menjadi tumbal itu bukan aku tetapi Citra!" sergahku tak terima.

“El, Papa bukan ingin menghancurkanmu, Papa hanya ingin menyelamatkan keluarga kita. Tuan Chan tahu hanya kamu anak Papa, jika papa beri Citra tentu ia tak ingin menolong. Kamu sudah dewasa seharusnya kamu sudah mengerti, anggap saja kamu berkorban untuk mama dan Daren. Menjadi menantu Diamond Group bukan hal yang buruk, walau kamu harus menikahi pria cacat.” Papa mengambil stempel dari saku jasnya dan memaksaku untuk menempelkan sidik jari di kertas tersebut.

“Papa egois! Papa merusak semuanya tetapi mengorbankanku!” Papa tak menghiraukanku dan pergi begitu saja setelah mendapat apa yang ia inginkan.

"Mama cepatlah bangun," lirihku. Aku bukan gadis yang kuat, mama seharusnya tahu aku sangat manja, bagaimana aku bisa menghadapi semuanya seorang diri?”
Aku menangis di samping mama hingga terlelap tanpa sadar.

“El, kenapa Dian saja?” mama mengguncang bahuku membuatku sedikit tersentak dan kembali tersadar dari lamunanku mengingat kejadian satu bulan lalu.

“Tidak apa-apa, Ma. Kita akan pulang sekarang?”

Mama mengangguk dan merapikan bajunya. Aku membawa barang mama yang tidak terlalu banyak, mama memakai cadar untuk menutup wajahnya. Aku akan mengatakan semuanya nanti, menunggu waktu yang pas, mengingat keadaan mama belum pulih sepenuhnya.

“Apa Daren masih di Paris? Mama rindu, sepertinya Mama udah tidur lama sekali.”

“Kita akan mengunjunginya kalau Mama udah baikan.”

Ah, aku sampai lupa memberitahu bocah tengil itu jika mama sudah sadar, dia pasti akan melonjak girang. Masih kuingat dia menangis seperti bayi saat datang tiga bulan lalu melihat mama terbaring dengan luka bakar di sebagian wajahnya. Berhari-hari Daren tak ingin makan dan hanya duduk di samping mama, padahal saat SMA dia merupakan bocah tengil yang membuat papa dan mama kewalahan dengan segala tingkah nakalnya. Namun, aku tahu adikku itu berhati hello kitty ia sangat manja dengan mama atau aku.

Kami berpapasan dengan Dokter Sean di tempat parkir, sepertinya dia baru saja keluar untuk makan siang.
“Sudah mau pulang, sampai jumpa Nyonya Hanum.”

“Terima kasih Dokter,” jawab mama ramah. Kami berpamitan dengan Dokter Sean, kuucapkan banyak terima kasih kepadanya karena dia sudah membantuku menjaga mama selama di rumah sakit.

Perjalanan menuju rumah kuhabiskan untuk bercerita dengan mama. Mama bertanya apa yang aku dan papa lakukan selama ia dalam keadaan koma, keadaan perusahaan dan juga kuliahku. Terpaksa aku berbohong dan menjawab semuanya baik-baik saja. Aku tidak ingin melihat mama kembali sakit, bagiku sekarang kesehatan mama lebih penting dari apapun. 

Kami sampai di rumah, mobil papa terparkir di halaman, semoga saja tak ada wanita itu di rumah. Aku menggandeng mama, menuntun tubuh kurusnya perlahan. Dulu mama gemuk, semenjak koma tubuhnya berangsur menyusut. Pun selama mama koma Tante Mayang atau Citra sama sekali tak pernah menjenguknya. Aku bukan mengharap ia menjenguk mama, sebenarnya itu lebih baik.

Bibi membuka pintu setelah beberapa kali kuketuk dan mengucap salam.

“Ibu, ya Allah, Ibu udah pulang.” Bibi melonjak girang, histeris sekali menggambarkan kegembiraan.

“Di mana papa, Bik?” tanyaku.

“Ada di belakang Non, sedang berenang, tapi—” Bibi tak melanjutkan ucapannya dan menatap mama bergantian denganku.

“Ada apa, Bik?” tanya mama penasaran.

Aku menatap Bi Sri dalam, semoga saja dia tak mengatakan apapun.


Komentar

Login untuk melihat komentar!