MAMA
“Aw, El kenapa kamu seperti ini, Nak? Tante minta maaf, Tante enggak merebut papamu,” ucap Tante Mayang yang semakin membuatku bingung, apa sekarang dia sedang berakting?

Citra berlari memeluk Tante Mayang yang masih bersimpuh di lantai.
“Lo keterlaluan El! Kenapa Lo nyakitin nyokap gue!” seru Citra dengan wajah merah padam.

“Emang apa yang gue lakuin? Itu akal-akalan nyokap Lo aja.”

“Lo berani lukain nyokap gue, hah!” Citra mendorong tubuhku kasar.

“Sudah sepantasnya pencuri memang harus dihukum, Lo sama nyokap Lo sama aja. Selama ini gue baikin Lo dan Lo nyuri nyokap gue, ular banget Lo!” Aku membalas mendorong tubuh Citra hingga ia hampir jatuh, beruntungnya ada papa yang menangkap tubuhnya. Aku sudah bersiap hendak menampar wajah Citra, tetapi papa menghadang, geram sekali melihatnya.

“El, apa yang kamu lakukan!” seru papa menarik tanganku kasar, dan mendorongku menjauh. “Sejak kapan Papa ajarin kamu berbuat kasar apalagi sampai melukai orang lain, semua bisa kita bicarakan baik-baik.”

“He…” Aku tersenyum kecut melihat papa. “Apa sekarang Papa benar-benar percaya aku yang melakukan itu kepada simpanan Papa itu?” Kutunjuk Tante Mayang dengan menggunakan bibir.

“Keterlaluan kamu El!” Papa menampar wajahku.

Melihat papa menamparku Citra tersenyum dan menjulurkan lidahnya mengejek, benar-benar manusia tembok, tidak tahu malu.

Aku memegang wajah yang terasa panas, wajah putih yang kini tergambar lima jari milik papa, air mata jatuh di pipi. Kuseka air mata yang mulai menetes, papa masih memegang tangannya yang gemetar mencoba mendekatiku.

“El, Papa….”

Aku tersenyum kecut, “Lihat lelaki yang selalu kuanggap penjaga, lelaki yang selalu kubanggkan kewibaanya hanyalah seorang lelaki yang menghianati istrinya demi seorang wanita murahan, menjijikan.” Kutinggalkan papa. Tak kuhiraukan panggilanya dan terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun.

Kutarik paksa pintu mobil, baru saja hendak masuk ucapan Citra menghentikanku.
“Aduh duh kasihannya, sakit ya?" ucap Citra sambil tertawa dan memegangi pipinya.

“Jangan panggil gue Elshanum Cakrawinata jika gue kalah sama Lo, bersenang-senanglah sebentar, nikmati saja dulu hasil nyokap Lo yang mencuri dari gue dan mama. Tapi ingat, semuanya akan kalian bayar dengan sangat menyedihkan.” Kutepuk pelan pipi Citra.

Aku segera masuk mobil membiarkan Citra termagu memandangku. Kubuka kaca mobil. “Ah ya, gue lupa, kembalikan seluruh barang branded yang Lo pinjam, jika tidak gue bakalan sebarin ke seluruh kampus kebusukan Lo, termasuk itu.” Kutunjuk kacamata yang bertengger di kepala citra, kacamata merk Christian Dior yang tak main harganya.

“Sialan Lo, jangan Lo kira gue gak bisa ngalahin Lo!” hardiknya, aku tak menghiraukanya.

Kulajukan mobil tak ingin berlama berdebat dengan manusia muka tembok di depanku. Kutatap foto bersama papa dan mama yang tergantung di kaca. Bagaimana papa bisa mengkhianati mama dengan orang yang paling dekat. Aku masih tidak menyangka jika lelaki yang begitu kukagumi mampu menghianati keluarganya. Papa sosok wibawa yang selalu romantis dengan mama, kemesraan mereka selalu memberikan kenyaman di rumah kami. Namun, siapa sangka panutan yang selalu memanjakanku itu menyimpan sosok wanita lain yang merupakan sahabat mama, wanita yang mama bawa karena belas kasih melihatnya di siksa oleh suaminya. 

“Akan kupastikan mereka membalas semuanya.” Tanganku mengepal kuat memegang kemudi mobil. “Tidak ada satupun yang boleh menyakiti mama.” 

Ponselku berdering, kutepikan mobil dan menjawab panggilan telepon dari Dokter Sean, nama yang tertera di layar ponselku.

“Hallo, Dok. Apa terjadi sesuatu dengan mama?” tanyaku tak sabar. Setiap kali Dokter Sean menghubungi hanya ketakutan yang ada dalam benakku, takut jika kabar buruk yang disampaikan karena mama sedang koma di rumah sakit sejak tiga bulan lalu.

“Selalu itu yang kamu tanyakan El, aku cuma mau kasih tau Bu Hanum udah sadar, dari tadi nyariin kamu,” ucap Dokter Sean. Mendengar ucapan Dokter Sean tak henti kuucapkan syukur.

Akhirnya mama bangun, batinku.
“Terima kasih Dok.” Kumatikan panggilan telepon dan kembali melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Tidak sabar lagi ingin berbincang seperti dulu dengan mama.

Sampai di rumah sakit besar di daerah Solo aku segera menuju ruang VVIP, tak sabar ingin menemui mama. Sampai di depan kamar rawat mama aku berhenti sejenak, mengatur nafas dan membuat simpul senyum di bibirku agar mama tak tahu apa yang papa lakukan di belakangnya.

"Mama,” sapaku setelah membuka pintu berwarna coklat tersebut.

Mama yang sedang berdiri di depan jendela berbalik ke arahku dan tersenyum menyambut dengan merentangkan kedua tanganya.


Komentar

Login untuk melihat komentar!