Predator Kejam
"Tidak!"

Papa terus mengintimidasi. Membuat tubuh ini makin gemetar. Cengkeraman tangan kotor itu makin menguat di bahuku yang kecil. Nyeri. Tapi hati ini lebih nyeri. 

Seseorang yang sudah kuanggap papa sendiri, rasa hormat kupersembahkan untuknya sebagai pengganti papa, tapi ternyata ... dia tak lebih seorang predator kejam yang juga menginginkan kematian istrinya.

'Ya Allah ... tolong selamatkan aku. Jangan biarkan kehormatan ini terenggut oleh lelaki tak beradab ini.'
Doaku dalam hati.

Entah dapat kekuatan dari mana, aku bisa mendorong lelaki berotot ini hingga membuatnya terjengkang. Tak mau membuang kesempatan, segera membuka pintu dan berlari keluar. Tak lupa kututup pintu kamar dan menguncinya dari luar. 

Nafasku tersengal-sengal. Tapi harus tetap berlari keluar sebelum anak buah papa bangun dan menghadang. Sial, pintunya terkunci. Dengan tangan gemetar mencoba membuka kunci. Tapi malah terjatuh. 

Ayolah, ... terbuka. Aku terus merapal doa. Berkali-kali mencoba, tapi gagal. Kuncinya tak masuk lubang. Ah, kenapa memasukkan kunci saja sesulit ini. 

"Mau kemana, Nona!" 

Detak jantungku berdegup kencang. Keringat dingin sudah membasahi pelipis. Anak buah papa sudah berdiri di belakangku. 

"Tolong buka pintunya!" ucapku bergetar. 

"Maaf, Nona. Tuan melarang Nona pergi. Sebaiknya Nona kembali ke kamar!" 

Pria bertubuh tegap itu mencoba menarik tangan mulus ini. Sekuat tenaga kutepis agar tak tersentuh olehnya. 

"Jangan mendekat! Atau ..." Aku melirik ke kiri dan kanan.
'Aduh, atau apa ya? Aku kelabakan sendiri. Nggak ada sesuatu di tangan yang bisa dijadikan senjata. Aha! Sepatu, iya sepatu.' Batinku terus berbicara. Mencari solusi agar bisa keluar dari kandang singa ini. 

Dengan cepat kuraih sepatu dan melemparkan tepat di wajah bengis lelaki itu. Tentu saja emosinya naik. Ia semakin merangsek maju dan berhasil menyeretku. 

Aku menendang-nendang kakinya. Memukul punggungnya yang keras seperti batu. Tapi sepertinya tak memberi efek apapun. Sebaliknya tangan dan kakiku lah yang sakit. Makan apa, sih nih orang. Tubuhnya keras banget seperti besi. 

Ketika mencapai tangga, tangan kiri ini kugunakan memegang besi penghalang di pinggir tangga. Satu kaki menumpu anak tangga, sehingga lelaki yang sering dipanggil Adam itu kesulitan menarikku. 

Tiba-tiba tubuh serasa melayang. Dengan kurang ajarnya si Adam mengangkat tubuhku seperti karung dan dipanggul dipundak. Kepala yang menghadap bawah membuat perut mual dan hendak muntah. 

Kupukul-pukul punggung kekar itu dan menjejak-jekakkan kaki ke perutnya. Namun pria itu tak terpengaruh sama sekali. Tepat di anak tangga teratas, perutku seperti diaduk-aduk. Akhirnya semua isi perut keluar mengenai punggung lelaki itu. 

Namun herannya, anak buah papa ini tak melepaskanku. Dia tetap berjalan innocent menuju kamarku. Kamar dimana ada papa di dalamnya. 

Bunyi gedebuk menggema di ruang berukuran 4x4 meter ini. Tatapan lapar kedua lelaki biadap itu menghunus bagai pedang yang habis ditempa. 

Air mata ini sudah tak mampu dibendung. Berada dalam kamar dengan dua lelaki dewasa yang sedang emosi membuat jantung berdentam-dentam. 

"Tolong ampuni Kiara, Pa!" ucapku memohon sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. 

"Adam! Ambil semua alat komunikasi Kiara. Jangan sisakan satupun di kamar ini!" Perintah Hadi tak terbantahkan. Dengan cekatan, lelaki yang dipanggil Adam itu mengobrak-abrik isi kamar. Mengambil smartphone mahal hadiah dari mama dan laptop yang biasa kugunakan mengerjakan tugas kuliah. 

Tak lupa kunci mobil yang pernah diberikan Hadi saat ulang tahunku setahun lalu. Saat itu papa masih seperti malaikat yang memberikan banyak fasilitas meski aku tak memintanya. 

Aku menggeleng, berharap dia tak mengambil HP-ku. Tapi permohonanku sia-sia. 

"Mulai besok, Kamu tak boleh kuliah lagi. Kamu akan tetap di kamar ini kecuali papa mengizinkanmu keluar!"

"Tidak. Jangan lakukan ini, Pa. Kiara mohon ... Kiara masih ingin kuliah. Nggak masalah semua fasilitas Papa ambil. Tapi beri kesempatan Kiara untuk tetap kuliah, Pa. Tolong ...."

Aku menangis pilu. Bayangan wajah papa kandungku menari-nari di kepala. Senyumnya saat menghembuskan napas terakhir, begitu tulus dan manis. 

"Kunci kamar ini dari luar, awasi terus agar gadis tak berguna ini nggak kabur!"

Derap langkah kaki perlahan meninggalkan kamar ini. Suara pintu dikunci mengakhiri drama dini hari yang membuatku menangis pilu. 

"Papa ... Kamu jahat! Tunggu pembalsanku, Pa!" 

Aku berteriak seperti kesetanan. Tak peduli jika tetangga terganggu dan bangun akibat ulahku. Setelah lelah menangis, aku mencoba mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan untuk alat komunikasi. Aku harus minta bantuan seseorang agar bisa keluar dari neraka ini.

Sudut mataku menangkap tumpukan kado ulang tahun beberapa bulan lalu yang belum sempat dibuka. Satu per satu kubuka dengan perlahan. Semua berisi benda-benda berharga yang sayangnya saat ini tak kubutuhkan. Tas, sepatu, cardigan, accesoris, dan lainnya. 

Tinggal kardus terakhir. Harapanku pupus saat melihat isinya. Hanya sebuah jam tangan. 

Aku mendesah frustasi. Pikiran ini buntu. Sekali lagi kupilah barang-barang itu. Sebuah jam tangan berbentuk persegi menarik perhatian. 

Alhamdulillah, Ya Allah. Terimakasih. Engkau Maha Pemurah. Aku tersenyum girang. Kusembunyikan benda itu di dalam saku. Tapi ... setelah dipikir-pikir, tak mengapa jika kupakai. Papa pasti tak akan tahu.