Di Balik Sakitnya Mama
Perlahan aku mundur dan berlalu dari tempat itu sebelum papa melihatku. Ya, orang yang di ruang ICU itu papa. Sebuah tepukan di pundak membuat diri ini berjengkit kaget. 

"Mbak Kiara!" 

Aku bernapas lega kala tahu dokter Tirta yang melakukannya.

"Eh, Dokter? Bikin kaget aja, Dok." Dokter Tirta memberi kode padaku untuk mengikutinya. Akhirnya kami jalan beriringan menuju ruang praktek lelaki yang ku kenal dua bulan terakhir ini.

"Ada yang perlu saya sampaikan mengenai bu Mila. Kebetulan ketemu disini."

"Ya, Dok. Gimana, apa ada perkembangan?" Aku sudah nggak sabar mengetahui kabar mama. Semoga kabar baik yang hendak disampaikan dokter Tirta.

"Duduklah dulu, Mbak Kiara, biar enak ngomongnya."

Dokter Tirta mengambil sebuah amplo yang entah apa isinya. Lalu menyalakan AC dan duduk. 

"Jadi begini, ... dari hasil lab, penyebab hilangnya kesadaran bu Mila karena obat pelemah saraf yang diberikan dalam waktu yang lama." Lelaki berjas putih itu mendesah. Membuka amplop dan menunjukkan hasil laboratorium. "Saya curiga ada yang sengaja membuatnya lumpuh. Tapi karena diberikan dalam jangka panjang, berakibat penurunan kesadaran juga."

"Apa?" Aku membekap mulut tak percaya. Butiran kristal sudah menggenang di pelupuk mata. 'Siapa? Siapa yang tega melakukan ini?' batinku bertanya.

"Apa ada seseorang yang mencurigakan? Maaf, bukan bermaksud mencampuri urusan keluarga Mbak Kiara. Tapi ... ini menyangkut masalah pasien Saya."

Lelaki beralis tebal ini bertanya hati-hati. Tampak sekali tidak enak ketika mengajukan pertanyaan itu. Barangkali takut aku tersinggung.

Aku mendesah. Seperti ada beban berat menghimpit dada. Satu masalah belum selesai, ternyata ada masalah lagi. Seketika sebuah nama muncul di otak ini. Kejadian demi kejadian berkelebat laksana puzzle yang harus disambungkan. Jika benar dia pelakunya, maka sekarang aku harus ekstra waspada. Rumah itu sudah tak aman lagi sekarang.  

"Bisa saya minta tolong, Dok?" Aku sedikit mencondongkan tubuh. Berkata sedikit lirih. "Tolong masalah ini jangan beritahukan papa. Dan ... tolong kalau papa masuk di ruang ICU jangan ditinggalkan sendirian. Setidaknya ada satu perawat yang di dalam."

"Apa Mbak Kiara mencurigai pak Hadi? Dia kan suaminya bu Mila," tanyanya dengan alis berkerut. 

Wajar jika dokter Tirta tak yakin. Bagaimanapun, papa adalah keluarga. Bahkan untuk pengobatan mama, dialah yang bertanggung jawab. 

Kepalaku menunduk. Bingung harus berkata apa. Mau menuduhnya, tak punya bukti. Tapi naluriku berkata, dialah pelakunya. 
Ah, aku benci berpikir sendirian. Andai papa masih ada, mungkin mama masih sehat saat ini. 

"Dok!" Sekali lagi aku memohon. "Tolong, jangan katakan masalah ini pada papa."

"Baiklah."

"Makasih, Dok. Makasih."

Aku bangkit hendak meninggalkan ruangan ini. Tapi baru selangkah dokter Tirta menghentikannya. 

"Mbak Kiara!" Aku menoleh, menatap netranya seolah bertanya ada apa. "Kalau butuh bantuan, hubungi saya. Nggak usah sungkan." Sebuah senyum terukir indah di wajahnya. 

Kuanggukkan kepala. Lalu benar-benar keluar. Bingung mau kemana, kaki melangkah menuju taman rumah sakit. Mungkin lebih baik menenangkan pikiran di sana. 

Lima belas menit menikmati segarnya udara taman, pikiran sedikit santai. 

"Rupanya Kamu sembunyi di sini."

Suara itu. Bulu kudukku berdiri. Kenapa dia tahu aku di sini?

"Kiara! Rupanya mau cari mati ya!" Papa melotot tajam. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuh. Bagaimana ini, apa papa sudah tahu kalau aku mengelabui lelaki gendut itu? Seketika ketakutan merajai diri ini. 

"Maaf, Pa. Mak--maksud Papa apa?"

Lelaki itu berjalan semakin dekat. Kutolehkan kepala ke kanan dan kiri, mencari keberadaan orang lain di sini. Sayangnya taman ini terlalu sepi. Gemetar tubuh ini, membuat lelaki yang tak lagi kuhormati itu menyeringai. 

"Jangan pura-pura bego, Kiara. Kamu tahu maksud Papa. Kenapa kamu membuat malu Papa?" 

Aku bergeming. Mata ini sudah berembun tapi sekuat tenaga kutahan. Tidak. Mulai sekarang harus kuat. Tak boleh menunjukkan sikap lemah. 

Kulangkahkan kaki meninggalkan pria tempramen itu setelah mengucapkan kata maaf. 

"Papa tunggu di rumah!" teriak papa setelah jarak kami cukup jauh. Dalam hati aku mengucap syukur karena papa tidak nekat memukul. Mungkin karena masih di kawasan rumah sakit.

***

Aku mengendap-endap menuju kamar. Jam dinding menunjukkan pukul 3 pagi. Lampu-lampu masih mati. Sunyi. Hingga deru nafasku pun bisa terdengar di telinga sendiri. 

Kuputar kenop pintu. Tangan meraba-raba dinding mencari saklar. Seketika tubuh membeku. Papa sedang duduk diranjang sambil menyeringai. 

"Ba--bagaimana bisa Papa ada di sini?"
Tubuh ini mulai gemetar. Tangan meraba-raba mencari apa saja yang bisa kuraih. Nihil. Tak kutemukan apapun karena posisi yang berada di samping pintu. 

"Kenapa, takut?" Lelaki berkumis tipis itu tersenyum. Tapi mampu memeras keringat di tubuh yang tak gerah ini. Tatapannya menembus hingga ke tulang belulang.******seperti singa lapar menemukan buruan. 

Perlahan dia mendekat. Memupus jarak diantara kami. Kumundurkan langkah hingga membentur pintu. Bergeser sedikit demi sedikit hingga jemari mampu menjangkau kenop. 

Sayang. Aku kalah cepat. Sebelum pintu kembali terbuka, tangan besar papa sudah lebih dulu mencengkeram bahuku. 

"Mau kemana, Kiara? Semalaman Papa menunggumu. Dan sekarang mau pergi lagi?" Suaranya lirih, tapi benar-benar membuat bulu-bulu halus ini berdiri sempurna. 

Aku menggeleng dengan tatapan memohon. Berharap papa tak melakukan apa-apa. 

"Pa--Papa mau a--pa?" ucapku terbata. 

"Kamu harus membayar kerugian Papa, Sayang ... "

"Tidak!"