Part 2
"Berhenti di sana, jangan mendekat!" ucap pria tua itu ketakutan. Tubuhnya terduduk di sofa. Wajahnya tampak pias. Melihatku seperti melihat hantu saja.
"Kenapa, Om? Tadi katanya pengen cepat?" tanyaku pura-pura tak tahu. Aku sedikit merangsek maju. Menunjukkan gigi-gigi ini yang menghitam.
Lelaki itu semakin ketakutan. Dalam hati aku tersenyum menang.
"Berhenti Saya bilang. Sudah, kita batalkan saja!"
"Kok batal, Om? Kita belum ngapa-ngapain, loh."
"Tidak! Sekali lagi Kamu maju, Saya panggil sekurity."
Senyumku makin melebar. Melihatnya ketakutan aku semakin menang. Hah, ternyata laki-laki itu cemen. Tampangnya aja yang sok jantan, lihat wajahku aja ketakutan.
Pria itu bangkit hendak membuka pintu, serta merta aku menghalangi. Enak aja membawaku kesini tanpa dapat apa-apa.
"Mau kemana, Om? Berikan dulu bayaranku kalau mau pergi!"
"Tidak. Tidak sudi Saya membayar cewek jelek Kayak Kamu. Kita juga nggak melakukan apa-apa, kenapa harus bayar?"
"Om yakin mau pergi begitu saja? Oke, Saya akan viralkan kelakuan bejat Om agar jabatan Om diturunkan," ucapku sambil merogoh saku pura-pura mengambil handphone.
"Kamu mengancam Saya?"
"Ya sudah, pergi saja Om kalau mau viral," ucapku cuek. Lalu bersandar di pintu sambil bersedekap.
"Oke. Oke. Tapi tutup mulutmu." Dia mengambil sebuah cek dan memberikannya padaku. "Tulis saja berapa yang kamu mau, tapi setelah ini jangan lagi berurusan dangan Saya!" Lalu aku menyingkir memberi akses untuknya keluar.
"Ha ha ha." Aku terpingkal setelah kepergian pria******itu. Mengibas-ngibas lembaran cek kosong sambil membayangkan sesuatu.
Ah, aku harus segera ke rumah sakit. Tapi sebelum itu wajah ini harus segera dibersihkan. Kutatap bayangan wajah ini di cermin. Lipstik merah darah yang belepotan ke luar bibir. Tompel hitam buatan sebesar koin lima ratusan di pipi kanan. Dan gigi-gigi palsu berwarna hitam, membuat penampilanku sangat menyeramkan.
Pantas saja pria itu ketakutan. Sekali lagi aku tertawa menang.
***
"Ma, cepat bangun. Kiara rindu Mama. Papa sekarang jahat, Ma. Dia mau menjual Kiara, hiks," tangisku pecah di depan mama. Tubuhnya tergolek lemah. Wajahnya pucat seperti tak ada aliran darah. Selang-selang penunjang kehidupan menempel di beberapa bagian tubuh.
Kucium tangannya yang lembut. Tangan yang dulu membelaiku penuh kasih sayang.
"Cepet bangun, Ma. Kenapa lama sekali tidurnya. Emangnya Mama nggak capek?" Seperti sedang berdialog, aku selalu mengajak mama bicara. Kata dokter, mama bisa mendengar. Tapi tidak bisa merespon.
Cukup lama aku tertidur di dengan kepala menelungkup di ranjang. Jam di pergelangan tangan menunjukkan angka 4. Artinya sekarang sudah sore.
Perut terasa melilit. Aku terpaksa meninggalkan mama dan berjalan menuju kantin rumah sakit. Hari ini aku tidak akan pulang. Menjaga mama seperti kemarin malam. Biarkan saja lelaki tempramen itu mencariku. Rumah itu bagai neraka sekarang. Tak ada kenyamanan, apalagi perlindungan.
Saat menyantap makanan di kursi paling pojok kantin, seorang lelaki muda tiba-tiba duduk di hadapanku.
"Boleh gabung?" Aku melihatnya sekilas lalu mengangguk.
"Sendirian aja? Kamu ... pegawai rumah sakit ini atau keluarga pasien?" tanya orang ini lagi. Aku hanya menatap sekilas lagi menggedikkan bahu. Orang ini cerewet sekali. Mengganggu acara makanku saja.
"Oh, jadi begini kelakuanmu kalau nggak ada aku?" Tiba-tiba seorang cewek seumuranku datang entah dari mana. Menjewer telinga pria ceriwis tadi dan melotot ke arahku.
"Mbak jadi cewet jangan suka godain laki orang, ya. Cari pasangan sendiri, dong!" ucap wanita berkawat gigi itu nyolot.
"Kasih tahu lakinya mbak, suruh jaga mata."
Aku bangkit meninggalkan tempat itu dan segera ke kasir. Membayar semut pesanku yang belum seluruhnya habis. Moodku langsung terjun bebas kedatangan dua makhluk gaje itu.
Dari kejauhan masih terdengar si perempuan mengomel. Tak tahu malu sekali. Padahal dia sudah jadi pusat perhatian. Inilah hal yang paling kubenci ketika keluar. Digoda laki-laki tapi akhirnya aku juga yang kena sial.
Seharusnya memiliki wajah cantik alami dengan******tanpa noda, postur tubuh ideal, menjadi berkah buatku. Tapi faktanya cantik ini justru membawa petaka.
Masih segar dalam ingatan ketika berumur 16 tahun aku hampir dinodai oleh teman-temanku sendiri. Hingga menyisakan trauma yang mendalam. Dan kini, setelah mama terbaring koma di tumah sakit, papa berkali-kali mencoba menjualku. Bahkan dia sendiri kerap berbuat kurang ajar. Untungnya Allah masih selalu melindungi, sehingga aku masih bisa menjaga diri meski harus tersiksa.
Sebuah benturan di bahu kanan mengembalikanku pada dunia nyata. Seorang pria berpakaian casual tak sengaja menabrak bahuku.
"Maaf, kamu nggak papa?"
Aku menggeleng. Lalu cepat-cepat pergi meninggalkan cowok itu.
"Hei, tunggu! Kita bisa kenalan? Atau bisa bagi nomor hp?"
Tuh kan bener. Pasti akan ada kejadian seperti ini. Aku tak meladeni, lalu tetap berlalu tanpa menghiraukan teriakannya. Biar saja dia dimarahi satpam karena berteriak di rumah sakit.
Aku membeku saat sampai di depan ruang ICU orang yang paling tak ingin kulihat sudah ada di sana.