Cari Bantuan
Sebuah smartwatch bermerk Samsung menjadi penyelamatku. Dengan benda ini aku bisa minta bantuan seseorang meski tetap terkurung di sini. Setidaknya diri ini tidak benar-benar lenyap karena tiba-tiba tak bisa dihubungi.

Kuotak-atik jam tangan multifungsi ini untuk melihat fiturnya. Kira-kira bisa apa aku di kamar ini dengan satu-satunya benda paling berharga saat ini. Bukan karena mahal, karena kado yang lain pun ada yang lebih mahal. Tas Chanel misalnya. Harganya lebih mahal dari jam tangan pintar ini. Tapi saat ini tidak berguna apa-apa.

Setelah tahu apa saja yang bisa kulakukan dengan benda ini, aku mencari-cari simcard di kardusnya. Barangkali ada bonus simcard dalam pembelinya. Sayang, tak ada. 

Pikiranku melayang pada masa tiga bulan lalu. Saat mama memberikan smartphone sebagai hadiah ulang tahunku juga. Smartphone-nya sudah disita papa tadi. Tapi kardusnya pasti masih ada di kamar ini. 

Kubongkar rak buku di samping meja rias, nihil. Lalu beralih ke laci. Aha! Ini dia yang kucari. Sebuah kardus kecil bergambar smartphone berada diantara tumpukan buku diary. Di dalamnya terdapat simcard warna merah yang belum dibuka. 

Setelah terpasang, segera kuhubungi Yana, teman kuliah yang nomornya sudah hafal di luar kepala. 

Namun sebelum menelponnya, kupastikan keadaan aman. Mataku mengintip keadaan luar kamar melalui lubang kunci. Tak ada orang. Mungkin karena masih jam 7 pagi. 

Setelah dering ketiga, panggilanku dijawab. 

"Halo, siapa ini?" jawab suara di seberang sana. Tampaknya baru bangun tidur. Terdengar dari suaranya yang serak khas bangun tidur.

"Ini Gue, Kiara. Gue butuh bantuan," ucapku setengah berbisik. Khawatir tiba-tiba anak buah lelaki yang sok berkuasa itu datang dan mendengarkan aku sedang berkomunikasi dengan seseorang. 

"Eh, Kiara. Kenapa bisik-bisik gitu, sih. Ada apa? Dan ... kenapa nomor Lo baru?" 

Inilah yang membuatku malas menghubungi Yana. Jiwa keponya yang tinggi membuatku harus menjelaskan apa yang dia tanyakan. Tapi sekarang bukan saatnya yang tepat. 

"Tolong dengarkan Gue, Yana. Jangan banyak tanya dulu. Gue butuh bantuan." 

"Bantuan apa? Lo di mana sekarang?"

"Pokoknya jangan hubungi Gue kalau Gue nggak menghubungi Lo. Keadaannya genting. Nanti kalau bisa ketemu Gue jelaskan."

”Kiara! Jangan main-main, Lo. Gue nggak ngerti maksud Lo!"

Tiba-tiba pintu terbuka menampilkan sosok Adam yang sedang membawa nampan. Tatapannya masih sama seperti kemarin. Sangar.

"Ini, makanlah. Tuan masih berbaik hati memberimu makan. Habiskan karena Nona akan kedatangan tamu. Nona harus dandan secantik mungkin, kata Tuan."

"Bilang sama tuanmu itu. Kiara nggak mau! Kiara mau ketemu mama." Aku segera bangkit dari ranjang dan berlari menuju pintu. Sayang sebelum mencapai pintu, papa--ah, masih pantaskah kupanggil papa?--melangkah masuk dengan wajah datar. 

"Pa, izinkan Kiara bertemu mama, Pa!" Sekali lagi aku memohon di hadapannya. Meski dalam hati muak dengan sikap arogansinya.

"Boleh. Tapi setelah melayani tamu papa. Gimana, hem?" 

Kutepis tangan orang itu yang hendak membelai wajahku. "Papa sudah gila! Kenapa papa tega melakukan ini?" 

Hampir saja aku menangis kalau saja tak ingat dengan siapa aku berhadapan. Semakin menunjukkan sikap lemah, maka dia akan semakin menjajah. Tidak. Aku tak boleh kalah. 

"Sudahlah kiara, kamu hanya punya dua pilihan kan? Pilih mamamu tetap selamat atau mati!" 

"Tidak! Jangan sakiti mama!" Jeritku frustasi.

"Bagus. Pilihan yang tepat." 

Lelaki itu menepuk tangan dengan sekali tepukan. Dua orang laki-laki eh perempuan, masuk dengan membawa kotak. Sepertinya kotak make up. Kemudian di belakangnya disusul seorang laki-laki kemayu, sama dengan dua orang sebelumnya menentang sebuah gaun tanpa lengan berwarna hitam. 

Aku menelan ludah susah payah. Membayangkan gaun itu melekat pada tubuh ini. Pasti akan tampak lekuk tubuhku yang ideal dan warna kulitku yang kontras dengan warna gaun itu. 

Kugelengkan kepala saat tahu, untuk apa papa melakukan ini. Otakku berputar. Mencari cara agar bisa selamat seperti waktu itu. Tapi dengan make up dan gaun ini, aku nggak mungkin bisa melakukannya. 

Sepertinya papa sengaja menyewa tukang rias agar aku tak bisa melakukan kesalahan yang sama. 

Setelah beberapa menit wajahku dimake up--padahal tanpa make up wajah ini sudah sangat cantik--aku diminta berganti pakaian dengan gaun itu. Seketika ide brilian muncul di kepala. 

Segera aku masuk ke kamar mandi. Melaksanakan rencana yang tersusun di kepala. Lalu nengetik sebuah pesan untuk Yana yang sempat mendengar pembicaraan antara aku dan papa karena telepon lupa kumatikan.  Sepuluh menit kemudian keluar dengan santai. 

Sebuah mobil mewah membawaku ke sebuah tempat. Di balik kemudi duduk seorang pria berjas abu-abu senada dengan celana bahan yang dikenakan. 

Usianya kuperkirakan sekitar 32 tahun. Tak ada pembicaraan di antara kami. Sepanjang jalan aku memilih bungkam. Mencari kesempatan untuk melakukan share loc ke Yana. Dan ... berhasil. 

Pria itu sama sekali tak melirikku. Bahkan mengajak bicara pun tidak. Tapi itu lebih baik daripada kurang ajar. 

Tiga puluh menit kemudian kami sampai di sebuah hotel berbintang. Aku memilih bertahan di mobil sambil mengulur waktu saat pria yang sebenarnya tampan itu turun. 

"Turunlah! Mau sampai kapan bertahan di situ!" ucap pria yang tak kuketahui namanya ini. 

Tangannya sudah membuka pintu sebelahku. Terpaksa turun dan mengikuti langkah lebarnya. Begitu sampai di lobi, pria itu mendekati receptionis. Sementara aku menengok ke kiri dan kanan mencari  seseorang. Nihil. Ah, kenapa disaat seperti ini Yana nggak bisa diandalkan? 

Namun tanpa sengaja seorang pemuda menabrakku dan menyelipkan sebuah kertas di tangan. Setelah memastikan aman,******pesan singkat itu. Senyumku mengembang melihat deretan huruf bertulis tinta hitam ini.