"Masuklah!" Perintah pria bertubuh tinggi ini tegas. Tak ada senyum di wajahnya. Dingin. Sedingin es di kutub. Bicaranya juga sangat irit. Tapi ... ini lebih baik dari pada ceriwis.
Kulangkahkan kaki perlahan. Sedikit gentar melihat kamar hotel begitu luas dengan ranjang King Size di tengahnya. 'Bagamana kalau pertolongan itu tidak datang tepat waktu?'
Aku bergidik ngeri melihat punggung lelaki itu. Terlihat sekali dia memiliki tenaga yang kuat. Apa aku mampu melawannya, sementara dia seorang pria muda dan aku hanya gadis lemah.
Ya Allah ... bantu aku keluar dari masalah ini. Saat melamun, membayangkan yang tidak-tidak, suara berat pria yang sampai saat ini belum kuketahui namanya itu mengagetkan.
"Apa kamu akan berdiri seperti patung selamanya di situ?"
Aku gelagapan. Setelahnya melangkah perlahan menuju sofa tempat lelaki itu duduk.
"Kemarilah!" Pria berkulit cokelat itu menepuk tempat duduk di sebelahnya. Sebuah kaki menumpang di kaki lainnya. Tangan kirinya membentang di sandaran sofa.
"Kenapa tegang sekali, bukankah ini bukan pertama kalinya untukmu?"
Rasanya ingin kuremas mulutnya agar tidak bicara sembarangan. Dia pikir aku ini wanita panggilan apa? Ah, pasti Hadi kepa**t itu yang mengatakan.
Kurasakan tangan lucnut pria itu mulai bergerilya. Membuat bulu kudukku berdiri sempurna. Hampir saja kupelintir tangannya kalau saja tak ingat tulisan di kertas tadi.
Sabar Kiara, ini hanya sebentar. Cukup tahan napas dan bayangkan sedang spa ikan di salon. Batinku terus menguatkan meski butiran keringat sudah mulai berjatuhan.
Pria ini perlahan mendekatkan wajah, hingga hembusan napasnya terasa hangat di wajahku. Reflek kumundurkan kepala, namun tangan kiri pria itu lebih cepat menderong tengkukku.
Suara ketukan pintu menyelamatkan diri ini. Aku bernapas lega karena pria yang sudah melepas jasnya itu belum sempat menyentuh wajah cantikku.
Lalu dia berdiri sambil mengumpat kasar dan berjalan menuju pintu. Kutata napasku yang tersengal karena takut. Menekan dada agar debaran jantung ini tak menyiksa. Berkali-kali kuucap syukur karena pertolongan Allah datang tepat waktu.
Seketika teringat jika selama ini aku sudah menjauh dari-Nya. Bahkan kapan terakhir kali salat pun sudah tak ingat. Malu rasanya jika dalam kondisi terdesak seperti ini selalu mengingat-Nya, tapi tak pernah menjalankan kewajibannya.
Lamunanku buyar kala pria kurang ajar yang sayangnya berwajah tampan itu kembali sambil mendorong troli. Di atasnya terdapat minuman dan beberapa jenis makanan.
"Baiklah, Sayang. Mungkin ada baiknya kita makan dulu untuk mengisi tenaga, agar pertempuran kita nanti semakin dahsyat!" ucapnya sambil tersenyum. Ini senyum pertama sejak kami bersama. Namun semanis apapun senyum pria ini tetap saja membuatku jijik.
Terlihat dia mengambil sebuah botol dan menuangkan isinya dalam gelas. Lalu menyodorkan salah satu padaku.
"Saya minum jus saja," ucapku sambil mengambil gelas berisi cairan hijau kental. Lelaki ini tak mempermasalahkan. Sekali lagi menuang cairan bening dan meneguknya. Aroma wine menguar memenuhi rongga hidungku.
Setelah makanan dan wine dalam botol itu ludes, tampak pria tampan di sampingku ini mulai mengantuk. Perlahan ia menyandarkan kepalanya ke sofa lalu ambruk. Aku tersenyum girang. Ternyata Yana benar-benar melakukan tugasnya dengan baik.
Kulangkahkan kaki menuju pintu, sudah ada beberapa orang di luar. Tanpa membuang waktu mereka masuk dan mengunci pintu dari dalam.
"Yana!" Aku menubruk tubuhnya dan memeluk erat seolah baru bertemu setelah bertahun berpisah. Kutumpahkan tangisku dalam dekapan hangatnya.
"Makasih sudah datang tepat waktu," ucapku sesenggukan.
"St, sudahlah, Ki. Kita bahas nanti saja. Kita nggak punya waktu banyak. Ayo kita beri dia pelajaran sebelum terbangun!"
Tiga orang pria yang ternyata teman-teman kuliahku mulai melakukan aksinya. Melucuti pakaian lelaki kurang ajar tadi hingga menyisakan celana pendeknya. Membaringkan di ranjang dan mulai mengambil gambar dengan berbagai angel.
Tentu saja dengan seorang pria kemayu yang sudah dibayar. Pria melambai itu benar-benar melakukan tugasnya dengan benar. Begitu menjiwai hingga seolah apa yang terekam di kamera adalah benar.
Setelah mengambil rekaman video dan puluhan foto, kami segera membuat ruangan itu seolah seperti habis dipakai berbuat mesum. Pakaian berhamburan di lantai, dan tempat tidur yang acak-acakan.
"Kamu mencari apa, Yan?"
Kulihat Yana mengambil dompet pria itu dan mengambil sebuah kartu. Ah itu kan kartu nama. Oke, aku mulai paham apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
"Serahkan saja semuanya pada kita, Ki. Kamu cukup bersikap seolah tidak tahu apa-apa." Aku mengangguk antusias. "Ayo kita segera keluar dari tempat terkutuk ini."
Kami keluar beriringan dengan senyum kemenangan. Di dalam perjalanan, tak henti-hentinya kami tertawa melihat hasil rekaman pria lucnut tadi. Senyumku tak luntur dari bibir. Untuk pertama kalinya semenjak mama sakit, aku tersenyum puas seperti ini.
"Sekarang kita mau kemana?" Tanya Sendi, dari balik kemudi.
"Makan!" Jawab kami serempak. Yana terus menginterogasiku. Kenapa bisa terjadi seperti itu. Tentang apa yang dia dengar di telepon tadi pagi, juga tentang pria itu.
Kuceritakan semuanya pada mereka. Tak ada sedikitpun yang terlewat. Agar mereka bisa membantuku. Setidaknya, aku tidak sendiri menghadapi masalah ini sekarang. Ada mereka yang bisa diandalkan.
"Kenapa tidak menyewa detektif aja untuk mengumpulkan bukti?" usul Angga yang diamini semua. Saat ini kami sudah sampai di rumah makan lesehan. Yana sengaja memilih tempat di sebuah saung dengan view taman dengan air mancur di tengahnya. Di sini kami bisa bercerita dan menyusun rencana dengan leluasa karena jarak dengan rumah makan utama lumayan jauh.
"Sebenarnya sudah kupukirkan. Tapi ... dari mana Gue dapat uang untuk membayar detektif?" Aku mendesah kecewa. Andai saja aku bisa sedikit hemat saat papa masih hidup, mungkin saat ini masih punya tabungan. Ah lagi-lagi hanya penyesalan yang merambati kalbu.
"Lo kan bisa minta bantuan pengacara papa Lo untuk menyelesaikan masalah ini. Bukannya perusahaan keluarga nantinya Lo yang mewarisi?"
"Iya, sih. Tapi sekarang perusahaan itu ada dalam kendali Hadi si predator buas itu. Mama yang menyerahkan kepengurusan waktu masih sehat."
Kulihat mereka mendesah kecewa. Antusiasmenya menurun. Pikiran kami buntu. Sesaat kami diam menyelami pikiran masing-masing sambil menyantap hidangan yang kebetulan baru saja diantar oleh pramusaji.
"Oh iya, Gue punya cek kosong!" Tiba-tiba aku teringat cek kosong dari pria gendut waktu itu. Tinggal mengisi nominal yang dibutuhkan, lalu ditukar. Kenapa nggak kepikiran dari tadi, sih.
"Cek? dari mana Lo dapat cek?"
Kuceritakan asal muasal cek itu kudapatkan. Mereka berempat minus lelaki kemayu tadi tertawa terpingkal-pingkal mendengar ceritaku.
"Cerdas juga, Lo?"
"Kepepet," ucapku cuek. Mereka masih tertawa seolah tak ada hari esok. Diam-diam aku tersenyum menyaksikan kebersamaan ini. Andai tiap hari bisa seperti ini ....
"Eh, Ki, bukankah itu papa tiri Lo?"
Kuarahkan pandangan menuju tempat yang ditunjuk Sendi. Seketika tubuhku menegang. Kututup wajahku dengan buku menu agar dia tak melihatku. Bagaimana ini? Kenapa sih dia selalu muncul seperti siluman?