"Kiara, buka pintunya!"
Suara gedoran pintu menyentakku dari mimpi. Semalam tak tidur karena menjaga Mama yang sedang terbaring koma, membuat mata seperti berperekat.
Sekali lagi suara gedoran pintu memaksaku bangkit terburu-buru hingga membuatku meringis karena tersandung karpet bulu di samping ranjangku.
"Ada apa, Pa?"
"Cepat bersihkan badan dan pakai baju ini!" perintahnya sambil melempar selembar baju warna merah yang tepat mengenai mukaku. Matanya menatap tajam ke arahku "Jangan lupa, dandan yang cantik! Tutupi lingkar hitam di matamu itu agar tak terlihat!"
"Aku lelah, Pa. Semalam nggak tidur jagain mama," ucapku takut.
"Siapa suruh nggak tidur! Sudah Papa bilang jangan tidur larut biar tetap cantik. Lihat itu matamu sudah seperti panda." Aku tersenyum miris. Andai ini bentuk perhatian seorang papa pada anaknya, tak akan sesakit ini rasanya. Nyatanya, Papa ingin aku tetap cantik karena ada maunya. Bagi Papa, wajahku ini aset paling berharga.
"Mamamu sudah ada yang jaga, ngapain kamu jagain. Lagian mamamu sudah nggak bakalan sembuh. Percuma dirawat, nggak ada perubahan. Buang-buang duit aja!"
"Astaghfirullah, Pa. Mama itu istri Papa!"
Papa tersenyum mengejek. Tak ada empati sedikit pun terhadap istrinya, mamaku.
"Istri macam apa yang yang bisanya cuma nyusahin. Bahkan sudah mau mati juga masih aja nyusahin!"
Papa membanting pintu dan berlalu. Meninggalkanku yang termangu menahan sesak di dada. Air mata ini sudah tak terbendung lagi. Rasanya ingin kubunuh lelaku itu andai tak ingat dosa.
"Papa sudah keterlaluan."
Namun beberapa menit kemudian pintu kembali terbuka menampilkan sosok yang saat ini sangat aku benci.
"Apa katamu? Ulangi sekali lagi!" Wajah pria itu memerah. Giginya gemelutuk saling beradu.
Langkahnya mendekat. Seringai di wajahnya membuatku sedikit gemetar.
"Kenapa masih diam? Cepat bersihkan diri atau?"
"Atau apa, Pa?" potongku sebelum papa menyelesaikan ucapannya. Dada terasa nyeri menahan sakit. Tak ada lagi rasa hormat yang dulu selalu kulakukan untuk lelaki berumur 40 tahun ini.
"Kalau sampai terjadi sesuatu pada mama, Papa orang pertama yang Kiara tuntut!" teriakku seperti kerasukan. Hilang sudah ketakutan ini.
Pria itu tertawa terpingkal-pingkal. Seolah ucapanku adalah guyonan yang dimainkan pelawak kondang.
Hadi--ah, rasanya sudah tak pantas aku menyebutnya papa--berjalan semakin dekat. Tatapan laparnya membuat bulu kuduk berdiri. Perlahan jarak kami semakin dekat. Aku mundur. Namun tangan berotot pria yang kupanggil papa itu lebih dulu menjambak surai indahku. Rasanya begitu nyeri.
"Kamu milih mamamu mati atau turuti perintah Papa?" ucapnya tegas dengan tatapan mengintimidasi. Sebelah tangannya bergerilya mengelus pipiku. Membuat diri ini semakin jijik padanya.
Aku menggeleng. Rinai air mata sudah membasahi pipi putih ini.
"Cepat, Kiara. Kamu membuang banyak waktuku!" papa merogoh saku celana mengambil benda pipih dan memencet tombol telepon. "Atau Papa telepon rumah sakit sekarang juga untuk mencabut alat bantu napas mamamu," ucapannya lembut tapi cukup membuat tubuh ini bergetar.
"Jangan, Pa!" ucapku memohon dengan deraian air mata.
"Kalau gitu cepet lakukan!" Aku menggeleng. Menolak permintaan keji itu. Papa semakin menarik rambut panjangku kuat-kuat hingga membuatku mendongak. Perihnya terasa hingga ke ubun-ubun. Kugapai benda apa saja yang ada di sekitar. Tapi nihil. Papa semakin kuat mencengkram rambutku.
"Lepasin, Pa," lirihku. Air mata ini sudah tak terhitung volumenya yang menetes.
Pri itu tersenyum lagi. Tapi kali ini lebih mirip ejekan daripada senyuman. Lalu dibantingnya tubuh ini ke lantai. Sengatan perih menusuk di kaki kiriku. Rupanya tergores kaki meja hingga berdarah.
"Aw!" Aku meratapi nasibku yang sial ini. Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku menuruti keinginan bejatnya itu? Tapi kalau tidak nyawa mama dipertaruhkan sekarang. Aku tak bisa egois.
"Baiklah. Tapi Papa keluar sekarang. Biarkan Kiara ganti baju dengan tenang." ucapku sambil menekan luka di kaki agar darahnya tak banyak yang keluar.
"Hanya lima belas menit!"
Hadi keluar dengan senyum kemenangan.
"Papa jahat!" teriakku keras. Biar saja para tetangga dengar dan datang kemari agar aku bisa bebas dari monster ini. Tapi sayangnya dia tak terpengaruh sedikit pun dengan teriakanku.
Sebenarnya aku benci melakukan ini. Tanpa basa-basi aku tendang pintu dengan kaki kananku yang tak sakit hingga menimbulkan bunyi berdebum keras. Lelaki yang lima tahun lalu telah menikahi mamaku itu tak terpengaruh sama sekali.
Dulu dia pria yang baik dan ramah. Namun setelah mama sakit dua bulan lalu, perangainya berubah. Tatapan matanya seperti singa lapar. Selalu ada alasan untuk membuatku menurut padanya. Seperti saat ini. Entah siapa lagi lelaki hidung belang yang dibawa. Dan akulah umpannya.
Sebelum lelaki tempramen itu mengamuk lagi, harus gegas menjalankan perintahnya. Kalau tidak, aku tak yakin malam ini bisa tidur dengan nyenyak. Walau akhir-akhir ini memang tak pernah tidur nyenyak.
Dua puluh menit kemudian aku keluar kamar. Di ruang tamu sudah menunggu seorang pria berjas mahal dengan sepatu yang tampak mahal pula. Sayangnya wajah dan tubuhnya sama sekali tak cocok dengan out fit itu.
"Kenapa kamu lama seka--li," ucap papa terputus kala melihat penampilanku yang jauh dari kata sempurna. "Kenapa kamu menutupi seluruh tubuhmu? Pakai baju yang tadi papa berikan!" Intonasinya mulai naik satu oktaf.
"Biar nggak mudah dikenali, Pa. Bajunya dipakai nanti saja. Ini, Kiara bawa, kok!" ucapku sambil menunjuk sebuah paper bag di tangan kiri.
Kulirik papa memberi kode pada pria buncit di hadapannya. Aku bergidik ngeri membayangkan harus berduaan dengan pria itu.
'Oke, sukses. Tinggal menjalankan misi selanjutnya,' batinku bersenandika.
Pajero sport warna hitam memasuki hotel bintang lima. Pria tambun ini menggandeng bahuku. Rasanya tangan ini sudah kaku ingin memelintir tangan lelaki kurang ajar ini. Kalau saja tidak ada kamera pengawas di hotel ini, pasti sudah kulakukan.
"Masuklah. Kita habiskan waktu untuk bersenang-senang," ucap lelaki ini mengembalikan kesadaranku dari lamunan.
Dengan ragu kakiku melangkah. Kutarik napas dalam lalu menghembuskan pelan-pelan. Sekali lagi aku merapal doa dalam hati.
Lelaki bertubuh tambun itu mulai melepas jasnya. Butiran keringat mulai keluar dari permukaan pori-pori kulitku. Meski ber-AC, suhu ruangan ini tak mampu mendinginkan tubuh yang mulai gerah karena takut.
"Buka pakaianmu, cantik. Jangan buang waktuku terlalu banyak." Ucapan lelaki berkepala klimis itu membuatku berjengkit.
Sadari waktu tak bisa diulur lagi, dengan perlahan kubuka masker penutup wajah. Kedua bola lelaki itu melotot sempurna melihatku. Perlahan dia mundur dan menggeleng.
Seringai tipis tak mampu kusembunyikan kali ini. 'Yes!' batinku berteriak girang.