"Duh, gimana nih?" ucapku sambil berbisik. Padahal jarak kami cukup jauh. Nggak mungkin juga Hadi bisa dengar.
"Ngapain sih, Ki ngumpet-ngumpet itu ssjsssw gitu. Dia nggak bakalan tahu Lo di sini kali. Lihat aja tuh, lagi asyik dengan perempuan!"
"Hah? Yang bener, Lo?" Perlahan kuintip dari balik buku menu. Mengamati pria yang saat ini masih berstatus sebagai suami mama. Meski mama sudah tak mampu menjalankan kewajibannya.
Dadaku bergemuruh melihat pria tak beradab itu terang-terangan memamerkan kemesraan di depan umum disaat mama sedang berjuang di antara hidup dan mati.
Hampir saja aku melabrak lelaki yang sayangnya berstatus papa tiriku itu kalau saja Yana tidak melarangku.
"Jangan gegabah, Ki. Saat ini papamu tahunya Lo sedang di hotel bersama cowok tampan itu."
Mataku melotot saat Yana menyebut lelaki dihotel itu sebagai pria tampan meski faktanya demikian.
"Gini aja, deh. Biar Eki yang ke sana untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Kita sekarang pergi dari sini sebelum mereka menyadari keberadaan Lo di sini."
Kami semua sepakat untuk menjadikan Eki dan Yoga sebagai detektif dadakan. Sementara aku, Yana, Sendi, dan Yudi menuju rumah sakit. Kami harus bisa memanfaatkan waktu ini sebaik-baiknya.
Mataku memanas saat melihat mama masih betah dengan tidurnya. Wajah cantik yang biasanya bersinar, tampak pucat dan meredup. Bibir merahnya memucat. Seketika batinku bergemuruh mengingat kelakuan suami mama.
"Ma, Kiara datang. Maafin Kiara ya, Ma. Mama harus kuat, kita berjuang sama-sama, ya." Tak kuat lagi bibir ini berucap. Sudut hatiku seperti disayat. Pedih. Mata sudah mengembun, sekali saja berkedip, banjir sudah air mata ini.
Kucium tangan mama. Harumnya masih sama. Rindu ini semakin menyeruak. Sekelebat bayangan masa silam berputar-putar dalam angan. Ah, semuanya tak lagi sama. Semenjak monster gila itu masuk dalam kehidupan mama, hidup kami menderita.
Sebuah tangan menyentuh pundakku. Dokter Tirta rupanya.
"Sabar ya, Mbak Kiara. Bu Mila sudah melewati masa kritisnya. Tapi ... "
"Tapi apa, Dok?" tanyaku memotong kalimatnya.
"Tapi bu Mila akan kehilangan memorynya jika bangun nanti."
Aku tergugu, meratapi nasib kami yang seperti ini. Pria berjas putih itu membiarkan aku menumpahkan segala rasa yang menyesakkan dada tanpa mau mengganggu.
Lima menit kemudian, setelah tangisku mulai reda ia kembali bertanya, "Mbak Kiara kenapa baru kemari?"
Kutarik napas dalam sebelum mengatakan sesuatu. "Papa mengurungku di kamar, Dok."
"Apa? Tapi kenapa?" Aku hanya diam. Entah, apa perlu menceritakan hal ini pada orang asing? Sepertinya dokter Tirta paham aku tak mau cerita. Akhirnya dia memilih keluar meninggalkan aku bersama mama.
Layar smartwatch-ku berkedip sekali, menandakan ada sebuah pesan masuk. Rasanya tak rela meninggalkan mama sendiri di sini. Setelah mencium pipi tirusnya, aku keluar dan kembali bergabung dengan Yana dan lainnya.
"Barusan Eki bilang papa tiri Lo pulang membawa wanita itu. Lo mau langsung pulang atau?" Yana terlihat ragu saat bertanya. Harus kuakui, dia adalah teman yang bisa diandalkan.
"Kita ke bank dulu sebentar ya?"
"Mo ngapain? Lo kan nggak punya tabungan!"
Aku menunjukkan cek kosong padanya. Senyum ceria mengembang di bibir tipisnya. "Mau Lo isi berapa nominalnya?" Dia tersenyum penuh arti, "isi aja yang banyak! Buat kebutuhan hidup Lo."
"Tapi nggak enak, Gue. Kesannya ngerampok gitu," ucapku ragu-ragu. Ada kegamangan merambati hati ini. Tapi aku butuh uang banyak saat ini. Kalau punya banyak uang, mama bisa kuajak kabur saat sadar nanti. Menjalani hidup berdua tanpa gangguan monster itu. Ah, baru membayangkannya saja dadaku sudah membuncah bahagia.
"Ngapa, Lo senyum-senyum sendiri?" Cewek cantik beralis tebal di hadapanku ini memicing curiga. Ah, nggak peduli. Biarkan saja dia menerka-nerka, he he.
"Nggak papa. Yuk!"
Setelah keperluanku selesai, sengaja aku belanja sedikit barang bermerk agar papa tiriku mengira pria yang membawaku ke hotel itu yang membelikan. Sandiwara yang sempurna, bukan?
"Sen, Gue turun di sini aja ya? Nanti kalau ketahuan papa Gue pulang dengan orang lain bisa disambel nanti."
Mobil yang kami tumpangi berhenti di pinggir jalan agak jauh dari pinggir rumahku. Hati seperti dicubit kala melihat rumah megah peninggalan papa ini telah dikuasai lelaki tamak itu. Entah dari mana mama dulu bisa kenal dengannya. Keramahan dan kebaikannya dulu hanya topeng. Dan sekarang wajah aslinya telah nampak. Dia seorang yang bengis dan tamak.
Kaki melangkah seperti tanpa beban kali ini. Seolah tak pernah terjadi apa pun. Biarkan yang terjadi nanti kuhadapi dengan percaya diri. Aku tak boleh lemah. Demi mama.
Rumah terasa sepi saat kaki mencapai ruang tamu. Bi Asih tidak tampak. Mungkin sedang sibuk di dapur. Sedang pak Ujang, entahlah pria itu sering hilang saat kubutuhkan. Padahal dulu dia orang kepercayaan papa.
"Sudah pulang, Sayang?" Suara Hadi, pria jahat itu mengagetkanku. Dan ... oh, jadi itu wanita yang bersama papa di rumah makan tadi? Apa mereka baru keluar dari kamar mama?
Dadaku bergejolak kala membayangkan kedua pasangan tak halal itu menodai kamar mama. Ingin kucabik-cabik muka sok imut itu andai tak takut akibatnya. Urusannya pasti akan panjang jika aku berani melakukan hal itu.
Wanita berpakaian kurang bahan itu menempel di tubuh papa seperti cicak-ciak di dinding. Eh. Tatapannya memancarkan kebencian. Jika kutaksir usianya teraput 3 atau 4 tahun denganku.
Mereka terus melangkah menuruni anak tangga hingga jarak kami semakin berkurang. Ingginnya tak peduli, tapi wanita itu seperti mengibarkan bendera perang padaku.
"Mulai saat ini, Nania akan tinggal di sini!"
Biji mataku melotot sempurna. Andai tidak ada otot kuat yang mengaitnya, mungkin sudah menggelinding ke lantai saking kagetnya. Yang benar saja? Mosnter itu mengajak wanita lain ke rumah? Rumahku dan mama? Sepertinya otak lelaki ini berlu dilaundry biar bisa berpikir jernih.
"Emang dia siapa bisa tinggal di sini?" tanyaku sinis. Tak perlu lagi bersikap manis di hadapan dua manusia tak berakhlak ini.