Menjadi Pelakor Adalah Pilihanku
Part 4
Menjadi Pelakor Adalah Pilihanku

PoV Mithayla

Nama asliku Mursidah, aku anak kelima dari enam bersaudara. Ibuku bekerja di sebuah diskotik dan terkadang menyambi pekerja sex komersil. Aku tahu itu karena selalu melihat ibu pulang pagi dalam keadaan mabuk diantar lelaki yang berbeda.

Ayahku tak pernah peduli, karena angka-angka di meja judi jauh lebih menarik dari kami anak-anaknya. “Anak tak berguna!” itu adalah kalimat yang paling kuhafal dari mulutnya.

“Anak haram!”, sebutan lain yang tak kalah sering dilontarkan.

Dan entah sumpah serapah apa lagi yang membentukku nyaris sejak aku mulai belajar bicara. Sebenarnya aku anak yang tak terlalu bodoh, guru kelasku kerap memuji hasil belajarku. Sayangnya tak sekalipun orangtuaku merasa angka-angka di raport itu perlu.

“Kau pikir mau kerja apa nanti besar, Hah! Ijazahmu tak akan laku kau tahu kenapa? Karena kau anak haram dan lahir dari rumah pelacuran!” Ayah pernah meneriakkan kata-kata itu saat aku pulang terlambat karena piket membersihkan kelas.

Menurut ayah, aku bukanlah anak biologisnya. Entah lelaki mana yang telah******Saminah, ibuku. Makanya aku tak memiliki nama ayah di akta lahir. Beruntung teman-teman sekelas tak mengerti perihal rahasia nama ayah dan ibuku. Aku pun akhirnya bisa tumbuh normal meski terseok-seok oleh keadaan.

Karman, lelaki yang suka tidak suka kupanggil dengan sebutan ayah itu kerap memukuliku jika berbuat salah. Salah membuatkan kopi, salah membelikan rokok dan masih banyak sederet kesalahan yang jika kusebutkan semua orang pasti tak akan pernah menyangka. 

Ya, aku hidup dengan keadaan yang jauh dari kata berkecukupan, tak cukup materi apalagi kasih sayang.

Tak heran ketika aku beranjak duduk di kelas menengah atas, aku kerap membuat ulah. Tak lagi peduli dengan materi pelajaran. Kerap pula dipanggil kepala sekolah yang sudah lelah menasehatiku di ruangannya sambil menatapku nakal dari balik kacamata jadulnya. 

Kepada lelaki tua itu pula, kuberikan kegadisanku dengan balasan dia membantu kelulusan. Ijazah pun sampai ditangan dengan penuh kebanggaan. Aku menempelnya di dinding kamarku. Sebagai kenang-kenangan, pikirku.

“Sundal!!!” Karman berujar sambil menampar. Betapa marahnya lelaki yang sudah membesarkanku dengan terpaksa itu ketika mendapati aku muntah-muntah pada satu pagi.

“Dia pasti bunting dengan tukang ojek yang kerap menunggunya di simpang tiga!!!”
Plakkkk! Tamparan keras lagi.

Ibuku, yang merokok di pojok tembok asik mengepulkan asap dari mulutnya, membentuk huruf O di udara. Hanya memandangku sambil tersenyum.

“Tak perlu kuajarkan ternyata kau sudah bisa sendiri cari uang, Sidah!” dia tertawa, aku merasa pedih sekaligus ringan. Setidaknya aku tahu bayi siapa yang sedang bercokol di perutku.

Tukang ojek bernama Sudin menjadi sasaran kemarahan Karman. Kepada lelaki kurus yang tak bersalah itu Karman memaksanya menikahiku yang langsung dianggukkan dengan girang. 

Terang saja dia senang, karena memang sering menggodaku setiap aku menunggu angkot di simpang tiga, tempat mangkal beberapa tukang ojek termasuk Sudin. 

Pernikahan itu digelar di KUA dihadiri wali hakim, Karman, Saminah dan tentu saja Sudin. Dia duda tanpa anak yang ditinggal selingkuh istrinya beberapa tahun lalu lantaran Sudin dianggap mandul. Melihat perutku yang sudah terisi, Sudin merasa bak dapat rejeki nomplok.

Dia cukup stress dengan ujaran kawan-kawannya yang kerap mengata-ngatainya kurang mantap.

Sudin pun dengan bangga mengaku-ngaku kehamilanku karena ulahnya. Dan dia mau bertanggung jawab menikahiku, remaja yang baru sebulan lulus SMA. Tidak ada malam pertama karena aku mendepak Sudin tidur di ruang tamu. Dia memang langsung memboyongku ke kontrakannya begitu selesai ijab kabul.

Kelahiran bayiku memberi kegembiraan tersendiri bagi Sudin. Dia memanggil tetangga dan ayah ibuku ke rumah untuk sedikit sedekahan. Sekedar meminta doa agar anak “kami” menjalani hidup penuh berkah. Terang saja aku hanya membalas sinis idenya. 

Namun cukup terkesan karena tetangga bahkan ustad datang membacakan do’a, mengusap bayiku yang semua bagian wajahnya tak ada mirip-miripnya dengan Sudin.

Sunny, bayi lelakiku yang menurut Sudin bercahaya serupa matahari senja. Sebenarnya aku tak begitu memedulikan khayalannya. Bagiku, Sudin mampu membeli susu dan popok sudah cukup. Selebihnya aku memang mengandalkan penghasilan dari kredit pakaian ke tetangga-tetangga. 

Sampai satu hari aku tergiur juga menggeluti pekerjaan Saminah, ibuku. Aku pun mulai pergi sehabis senja dan pulang menjelang pagi.

Sudin tak protes karena dia tahu persis siapa ayah dan ibuku. Baginya, memiliki istri dan anak adalah anugerah terindah. Soal aku bekerja dimana tak masalah, asalkan aku selalu pulang ke rumahnya. Ingat masih memiliki tanggung jawab sebagai ibu sekaligus istri yang sah.

Ibuku juga tak ambil pusing. Di diskotik aku kerap memergokinya bersama beberapa pria. Dia hanya tersenyum nakal ke arahku seakan mengerti mengapa aku memilih jalan yang sama dengannya.

“Kau tahu Sidah, diantara lelaki yang duduk bersamaku itu, salah satunya adalah ayahmu.”

Kupandangi satu persatu pria hidung belang yang sedang bersenang-senang. Dan tertumpu pada satu lelaki yang kukira memiliki kemiripan dengan hidung dan mataku.

Lelaki tua yang tampak sempoyongan itu kemudian berjalan menghampiri ibuku, sesekali tertawa lalu mendekat sampil mengangkat gelas wine murahannya. Bau alkohol menguar dari mulutnya.

“Kau memang secantik ibumu!”

“Seharusnya kau tak melakukan kesalahan, lihat apa yang sudah ada di depan matamu, orang tua keparat!”

“Haha…aku tahu. Dia sudah mengatakannya, kau adalah kesalalahanku.”

“Karena kesalahanmu aku selalu merasa hidupku tak ubahnya kobaran neraka. Pantas saja aku selalu gagal menjadi anak baik-baik.”

“Kemarilah cantikku, kau berhak mendapat sambutan istimewa di sini.”

Orang-orang menatapku penuh rasa keingintahuan. Ibuku masih sibuk dengan pelanggan. Sedang lelaki yang belakangan kuketahui sebagai pemilik diskotik itu membawaku ke tengah ruang.

“Kuperkenalkan bunga yang baru saja mekar dari hutan liar, Mithayla!”

*** 

“Nona Mithayla, apa Anda sudah siap?!” 
seorang terapis mendekatiku membawa ramuan yang katanya diracik khusus untuk kecantikan, memangnya hanya Alena saja yang bisa cantik?

“Ya. Saya siap…” 

Belum lagi ramuan berwarna hitam itu menyentuh wajahku, tiba-tiba sesuatu bergolak diperutku. 

“Bau Banget!!! Apaan itu!” Kutepis cairan menyengat yang tak bisa ku tolerir itu.
Aku berlari, mencari wastafel dan menghabiskan beberapa menit yang tak terduga. 

Keringat mengucur dari keningku. Pandangan mataku tiba-tiba kabur dan semuanya terasa sangat ringan. Aku pingsan.

“Kapan terakhir kali anda mengalami siklus mensturasi, “Nona”, maaf jika saya harus bertanya.” Dokter yang menanganiku tampak serius.

“Saya lupa, Dok. Mungkin sudah lebih dari sebulan.”

“Baiklah, kalau begitu saya akan cek darah dan urin dulu, ya…”

Sial!!! Jangan-jangan aku hamil anaknya Mas Haidar! 

Pikiran tentang kehamilan selalu membuatku kalut. Aku masih ingat bagaimana sulitnya melahirkan bayi pertamaku yang kini tinggal bersama Sudin. Dan sekarang aku akan direpotkan dengan bayi Haidar! 

“Maaf, Nona Mithayla…dari hasil pemeriksaan saya. Anda hamil lima minggu.”

Apa kubilang! Aku hamil!

Segera kurogoh gawai setelah meninggalkan klinik tempatku memeriksakan diri.  Betapa sialnya hari ini dan sekarang harus menerima kenyataan hamil lima minggu.

[Mas kamu gimana sih koq sampai kejadian aku hamil?!!]

[What! Hamil anakku???]

[Iya, anak kamu, siapa lagi?]

[Dengar ya Mas, kalau sampai kamu gak berhasil mengatasi keadaan, aku akan lenyapkan bayi ini tanpa ijin kamu.]

[Kita akan menikah, aku pasti akan menepati janji.]

Kutemui Mas Haidar di kantornya, wajahnya kusut masai. Kami menghabiskan siang dengan saling diam karena keadaan yang tak terduga. Aku sudah berbadan dua, dan ini bisa menjadi jalan baru bagiku untuk mengambil harta Mas Haidar.

“Aku butuh tempat tinggal yang nyaman, Mas. Masa kamu tega lihat aku tinggal di kostan murah. Aku gak bisa, kamu kan punya banyak, masak sih gak bisa kasih satu ke aku.”

“Itu semua milik Alena, Mytha.”

“Kalau begitu akan akan tinggal di rumah kamu.”

“Segera setelah kita menikah. Anak-anak juga pasti membutuhkan sosok ibu yang baru.”

“Kalau begitu kita percepat acaranya, aku gak bisa nunggu lama.”

“Baik sayang, Alena juga sudah pergi jauh, dia tak mungkin kembali untukku.”

Mobil yang dikemudikan Mas Haidar membawaku ke rumah megah yang berada di jejeran perumahan kelas atas. Aku memang kerap menghabiskan waktu bersama Mas Haidar di rumah itu semenjak berhasil membuat istrinya gila mendadak.

Ah, senangnya jauh dari kesumpekan hidup. Teringat rumah kontrakanku bersama Sudin yang terlalu sumpek dan kerap bocor. Sekarang keadaan itu sudah berbalik. Aku menjelma calon istri Haidar. Lelaki yang bukan hanya tampan tapi juga kaya.

Menjadi pelakor memang satu-satunya pilihan yang tersisa untukku. Jika tidak, tentu aku masih harus melayani banyak pria hidung belang di diskotik. Betapa mengerikan masa-masa gelap itu.

“Papa…Tante Mitha?!!” Rana anak sulung Haidar menyapa heran di tangga. Wajah anak itu tertumpu ke sudut lain rumah besar itu.
Pandangan mataku tiba-tiba kabur. Wanita dalam setelan tunik santai sewarna pantai itu berbalik dan melangkah pelan.

“Jadi kamu berani membawanya ke rumah ini tanpa seijinku, Haidar?!!” Alena membenarkan anak rambutnya sambil menatap angkuh padaku. Sial!!![]


Bersambung...🖤

Komentar

Login untuk melihat komentar!