Part 6
Pura-pura Menyesal
PoV Alena
Itulah pertama kalinya aku melihat Mithayla. Dari sebuah rekaman CCTV di ruang Mas Haidar. Perempuan itu tampak sengaja menggoda suamiku, berkali-kali mengibaskan kerah kemeja longgarnya dan memegangi leher. Aku mual demi melihat gerak gerik itu.
Mas Haidar tampak biasa saja, tidak tergoda. Dan aku pun masih percaya dia tetap setia. Bukankah ada banyak perempuan yang selama ini memang kerap cari perhatian di kantor. Tetapi hari ini, bongkahan batu menimpa hidupku dengan keras.
Mas Haidar terang-terangan ingin menikahi simpanannya. Dan aku bukan tipe perempuan yang bisa berbagi hati dengan perempuan lain. Cerai adalah pilihan.
Kudaftarkan gugatan seminggu kemudian. Mas Haidar terkejut karena tak mengira aku benar-benar mengambil keputusan berat ini.
Semua kenangan manis kini membayang satu-satu. Aku terhempas oleh kenyataan bahwa suamiku akan menikahi perempuan lain. Kepingan indah membuncah jadi ledakan emosi. Aku sesenggukan di dalam kamarku yang sedingin es.
Bagaimanapun menjadi janda bukan hal mudah. Namun menerima pernikahan lain jauh lebih menyakitkan. Aku tak ingin menyakiti anak-anakku tetapi tak ada jalan lain yang bisa memperbaiki keadaan ini.
Undangan merah muda itu tergeletak di meja kerjaku. Sekilas aku membukanya, melihat wajah suamiku digelayuti manja tangan perempuan yang memang cantik tetapi berhati iblis.
Aku membawa anak-anakku berlibur ke Swiss, menghindari mereka dari kegaduhan yang menerpa keluarga ini. Mas Haidar mungkin bisa bahagia sekarang, tetapi waktu telah menghitung mundur hanya menunggu saat-saat yang tepat perusahaannya benar-benar pailit.
Asistenku sudah mengurus semuanya. Dan aku hanya akan menikmati waktu bersama anak-anak sampai kehancuran benar-benar mewujud bagi suamiku dan istri mudanya itu.
Apa yang salah dengan penuaan, memang Mithayla jauh lebih muda dari pada aku, lebih cantik dan mempesona. Tetapi Mas Haidar justru memilihnya dan menganggap aku hanya perempuan yang sudah tak menarik. Lucunya alasan itu, bukan pilihan logis bagi lelaki yang seharusnya menjadi pemimpin bagiku dan anak-anakku.
“Kamu kuat, aku tahu itu, Alena!” Ratih sahabatku mengirim pesan saat aku tengah menikmati liburan.
“Apa yang bisa dilakukan perempuan yang sudah tak muda lagi ini?”
“Berhenti menyalahkan dirimu, kamu cantik. Juga cerdas dan menarik, terlalu sempurna untuk suamimu yang salah melangkah itu.”
“Tetapi kenyataannya dia meninggalkanku.”
“Dan bukan alasan untuk menangisinya, bukan? Ingat Alena, good for good, bad for bad! You will meet someone special!”
***
Seperti doa yang dikabulkan langit, perkataan Ratih jadi kenyataan. Aku bertemu Sein Martin, pria yang tak sengaja terjebak di lift di sebuah hotel tempatku menginap. Dia juga sedang berlibur, kami berbicara layaknya kawan lama meski baru kenal.
Mendengar aku berasal dari Indonesia, dia menyebut pernah ke Bali dan Lombok. Dan terpukau oleh keindahan pantai dengan matahari terbenam yang masih dikenangnya.
Dia juga mengakui jika sudah memeluk Islam sejak setahun lalu, tepatnya setelah pulang dari liburan ke Lombok. Menyaksikan betapa damainya negeri ini dia tertarik mempelajari Islam lebih dekat.
Husein Muhammad adalah nama Sein setelah menjadi mualaf. Dia tidak menikah meski usianya enam tahun lebih tua dariku, menurutnya pernikahan adalah hal yang sakral, sesuatu yang hanya akan dilakukannya sekali seumur hidup.
Aku hanya menahan sesak di dada karena untukku sendiri, aku merasa telah gagal menjadi istri sekaligus ibu untuk anak-anakku.
Usai liburan kuterima surat panggilan sidang cerai yang diurus sekretaris pribadiku.
Selebihnya aku tak ingin tahu kemana Mas Haidar tinggal dengan Mithayla. Biarlah diri ini menjalani hidup dengan damai, pikirku.
Tapi kenyataannya ketika aku sedang memberesi berkas di kantor. Mas Haidar muncul bersama Mithayla. Mas Haidar tampak kusut dan seperti orang yang terkena banyak masalah.
“Kami minta maaf karena sudah membuatmu menderita.” Mithayla berucap sambil membenari hijabnya.
“Sejak kapan kamu bertaubat, lacur!”
“Sejak menjadi istri Mas Haidar. Aku berjanji akan menyilah semua salah, akan melakukan apapun asalkan Mbak Alena mau membantu menyelamatkan perusahaan Mas Haidar sekarang.”
“Apa?! Kalian mengemis padaku setelah menghancurkan keluarga yang kubangun susah payah bertahun-tahun.”
“Maafkan aku Alena. Tak bisakah kamu menghentikan proses perceraian kita. Aku bersumpah akan berbuat adil padamu dan Mithayla. Demi anak-anak, Alena!”
“Tidak. Jika kamu ingin kembali ke rumahku, datanglah seorang diri. Tanpa istri atau orang lain yang bukan keluargaku.”
“Mithayla hamil, mana mungkin aku meninggalkannya.”
“Kamu tidak berpikir jika telah melepas berlian dari tanganmu, Mas? Aku dan anak-anak, kebahagiaan kita selama ini. Kamu menukarnya dengan seseorang yang aku yakin bahkan latar belakang keluarganya kamu sama sekali tidak tahu.”
“Mithayla dari keluarga baik-baik, Alena!”
“Yakin kamu, Mas? Jangan – jangan perempuan ini sudah menipumu habis-habisan. Menguras isi rekeningmu dengan sengaja membuat hamil dirinya sendiri, agar kamu dan semua hartamu pindah ke tangannya.”
“Mithayla tidak seburuk itu, Alena. Ayah dan ibunya berasal dari keluarga sederhana yang bersahaja.”
Ingin muntah rasanya aku demi mendengar Mas Haidar memuji Mithayla. Jelas perempuan lacur itu membohonginya. Kulempar foto-foto dalam sebuah map yang menampakkan seorang perempuan tua merokok di sudut diskotik, seorang lelaki dengan kalung rantai dan bergaya mirip pelaku kriminal tak jauh dari perempuan itu. Keduanya adalah orang tua Mithayla.
“Apa mereka yang diakui perempuan ini sebagai orang tuanya, Mas?!”
Mas Haidar terbelalak. Mithayla pucat.
“Jangan beli barang seperti musang dalam karung, Mas. Alih-alih dapat barang bagus malah seken begitu. Perempuan ini bukanlah gadis seperti yang kamu bayangkan, Mas. Dia sudah menikah dan pernah memiliki anak. Suaminya seorang tukang ojek bernama Sudin.”
Plakkk! Tamparan mendarat di wajahku.
Plakkkk! Plakkkk! Plakkkk!! Kubalas tamparan jumbo kanan kiri dan kanan lagi, dikiranya aku tidak pernah ikut latihan tae kwon do. Jika musuh menyerang tentu kitapun harus melawan.
Mas Haidar langsung pasang badan di tengah aku dan Mithayla.
“Bagaimana mungkin kamu memawarkanku berbuat adil sementara sekarang saja kamu sudah kalut, Mas.” Aku menyindir sambil membenari kemejaku yang kusut gara-gara sempat ditarik Mithayla.
Mithayla merah padam karena aku berhasil membuatnya malu dengan kenyataan seperti apa hidupnya yang sesungguhnya. Mas Haidar pasti sudah ditipu mentah-mentah.
Terlebih dengan penampilan barunya yang sengaja dibuat untuk menipu semua orang mungkin bisa mengelabui Mas Haidar, tetapi tidak denganku!” kuucapkan itu sesaat sebelum langkah kaki Mithayla menghilang di balik pintu yang langsung dibantingnya dengan keras. Membuat kegaduhan di kantorku kian memanas.
Mas Haidar duduk terpekur di sofa di ruanganku. Tampak linglung tak terawat dan lebih kurusan. Sementara aku jangan ditanya, setelah berlibur bersama anak-anak di Swiss dan bertemu Husein, aku merasa lebih bersemangat.
Baru saja aku memikirkan lelaki itu, ponselku berdering. Dari Husein.
Mas Haidar tampak curiga mendengar pembicaraanku yang sedikit mesra.
“Siapa?!”
“Apa urusanmu, Mas.”
“Kita belum bercerai, ingat Alena!”
“Hanya teman baru. Mungkin setelah bercerai naik tingkat jadi teman hidup.” ucapku penuh percaya diri.
Mas Haidar cemburu. Dia baru merasakan bagaimana jika pasangan yang selama ini setia padanya kini didekati lelaki lain. Sakit bukan, Mas? Itulah yang kau berikan padaku jika ingin tahu.
Dan sebelum Mas Haidar pergi dari ruanganku. Kuletakkan selembar foto saat Mithayla masih bernama Mursidah sedang menggendong seorang bayi lelaki. Aku membayar mahal di tukang ojek bernama Sudin untuk mendapatkan foto berharga ini.
Sontak Mas Haidar terduduk kembali, mengacak-acak rambutnya. Sementara aku kembali duduk di meja kerjaku, mengambil tumpukan baru yang tadi diserahkan sekretarisku.
Hmmm, betapa dunia ini hanya dipenuhi orang-orang yang slaing menipu bukan. Mas Haidar menipuku tanpa sadar dia sendiri juga ditipu Mithayla yang dikiranya cantik beneran padahal hanya hasil oplas murahan.
Tiga jam setelah kedatangan Mas Haidar dan Mithayla mencoba menawar keputusanku agar menyelamatkan mereka dari kepailitan. Akhirnya perusahaan Mas Haidar benar-benar merugi dan bangkrut. Tidak mungkin terselamatkan lagi. Aku menguasai semua sahamnya yang sudah anjlok tanpa menyisakan sedikitpun untuk mereka.
“Selamat!!! Selamat menempuh hidup baru sebagai lelaki miskin, Mas!” ucapku dalam hati di balik meja kerjaku.
Terbalas sudah sakit hati ini, kita lihat saja sampai sejauh mana mereka bertahan di tengah gempuran kesulitan finansial dan lilitan hutang bank.
Ditengah senyumku yang puas karena keberhasilan hari ini, pesan dari seorang informan masuk.
“Ini informasi terbaru, Bu Alena. Target ternyata rutin mengunjungi klinik yang melayani pasang susuk dan pengasihan. Ada indikasi suami Ibu adalah korban karena fotonya kami temukan di salah satu perlengkapan yang berhasil kami amankan.”
Aku menahan napas, wajar saja Mas Haidar kayak gak sadar sampai melupakanku dan anak-anak. Awas kamu Mithayla![]
Bersambung...🖤