-Mengumpulkan Bukti-bukti-
Wanita di Dalam Rumah Dinas Suamiku (bab 3)
Telah kukirim satu-satu foto barang-barang tak lazim di rumah dinas ini kepada kakak-kakaknya Mas Tara melalui WA. Biar mereka tahu betapa rusak adiknya ini. Setelah itu aku keluar dan duduk di teras. Menanti kedatangan Mas Tara ke rumah dinasnya ini.
Pukul dua belas lewat, seseorang memasuki pekarangan rumah ini. Tap! mata itu bertemu mataku. Ia nampak terkejut, berhenti beberapa lama di sana, dengan wajah nampak seperti tiba-tiba pusing. Tapi itu tak lama. Setelah itu ia tersenyum sumringah.
“Dek? Kamu di sini?” tanyanya sembari melangkah ke arahku.
Aku berdiri.
“Ia, Mas.”
“Sudah lama di sini, Dek?” tanyanya menghampiriku. Kucium tangan itu takzim.
“Ya, lumayan, Mas.”
“Ada apa ke sini mendadak dan nggak mengabari, Dek?” terlihat jakunnya bergerak ke bawah. Napasnya agak sedikit menderu. Aku yakin dadanya berdebar saat ini menyadari aku tiba-tiba sudah ada di hadapannya.
“Apa aku nggak boleh kasih kejutan buat kamu, Mas? Aku boleh kan datang ke sini? Habis kamu di Jakarta sebentar sekali, Mas.”
“Oh, bo-bolehhh … boleh …. Cuma anak-anak gimana, Dek?” ucapnya terbata.
“Anak-anak kan ada neneknya. Mereka sudah cukup mandiri buat aku tinggal.”
Aku memandang heran ke wajah lelaki berstatus suamiku itu.
“Kenapa kok gugup gitu sih, Mas?”
“Apa, emmm, enggak. Mas sepertinya lupa sesuatu.” Ia merogoh-rogoh saku celananya.
“Nah kan, benar,” ucapnya kemudian.
“Apa, Mas?” Aku berusaha pura-pura tak tahu, tapi tatapanku menyelidiknya.
“Kamu diam di sini dulu, ya. Mas ketinggalan kunci di kantor,” ucapnya. Ia lekas berjalan cepat meninggalkanku menuju bangunan di atas, dimana kantornya berada.
Aku barusan memang meminta orang yang menjebol pintu ini untuk membenahi lagi pintu sampai benar dan bisa dikunci kembali. Beruntung aku bertemu orang yang bukan abal-abal. Dia berhasil membuat pintu terkunci dengan peralatan dalam kotak kecil yang di bawanya.
Tapi sepertinya aku tak mempercayai Mas Betara naik kembali ke kantor untuk mengambil kunci. Aku yakin dia hanya ingin mengabari wanita gelapnya itu untuk tidak segera datang. Melihat dari pakaian dalam lemarinya tadi, aku baru menyadari bahwa dia sepertinya salah seorang pegawai kantoran di kota ini.
Lima belas menit berselang. Mas Tara datang kembali.
“Kok lama, sih, Mas?”
“Iya, tadi rupanya ada tamu, ngajak basa basi sebentar. Tapi, Dek, ternyata kunci rumah ini hilang. Gimana, ya. Apa kamu Mas inapkan dulu di hotel, ya? Kamu pasti lelah, gimana kalau Mas antar sekarang saja pergi ke hotel? Ada kok yang dekat-dekat sini.”
“Ih, Mas. Ngapain nginep hotel? Kan bisa di rumah dinas ini?”
“Ya gimana, ya, kok bisa pas, rumah ini kuncinya tiba-tiba hilang saat kamu datang.”
“Nah, di dalam ada apa-apanya kali, yang aku nggak boleh tahu.” Aku berseloroh.
“Ah, ada apa? Nggak ada apa-apa, Sayang. Isinya sama seperti ketika kamu pertama kali datang ke sini pastinya.” Wajah itu menghadirkan sebuah senyum manis untukku, lalu merangkul bahuku lembut.
Kenapa Mas Tara berpikir seolah aku tak mengetahui perselingkuhannya? Apakah yang mematikan laptop malam itu bukan dia? Atau malam itu memang sempat mati lampu saat aku tertidur, karena memang laptop itu batrenya sudah soak, jadi saat mati lampu, maka laptop mati.
Jika, ya, wajar dia berasumsi demikian. Karena semua chating dengan wanita itu malam itu kuhapus sebelum menekan tombol sleep. Kalau kamu bersandiwara seperti ini Mas, baiklah, aku ikuti maumu.
“Jadi gimana, Mas?”
“Gini, dek. Kamu Mas antar ke hotel dulu. Sambil Mas minta tolong security kantor untuk dobrak pintunya. Karena kalau kamu di sini, akan memakan waktu lama, Dek.”
“Mas, orang cuma dobrak pintu saja. Nggak akan lama. Sudah nggak apa-apa, aku nunggu di sini sambil duduk-duduk.”
Wajah itu tampak gundah. Biar, biar kamu rasain Mas, gimana bingungnya kamu saat ini. Bukankah kemarin-kemarin kamu sudah menikmati indahnya berselingkuh dengan wanita itu. Lihat saja, cepat atau lambat, aku akan menguliti kalian berdua.
“Ya udah, Dek. Kamu diem di sini dulu lagi kalau begitu. Mas ke kantor panggil security.”
aku mengangguk. Ingin rasanya aku jawab. Cuma memanggil security kenapa harus berjalan ke atas lagi, kan bisa ditelepon. Atau jangan-jangan dia ke atas hanya ingin mengecek balasan dari selingkuhannya itu, untuk menuruti kemauannya untuk tidak datang dulu ke sini. Buktinya sampai jam segini. Dia belum datang sama sekali.
Tak lama ia datang bersama seseorang yang masih kukenal.
“Bu,” sapanya. Oh, security ini, masih mengingatku.
“Pak, apa kabar, Pak? Pak siapa, lupa saya namanya?”
“Hamdan, Bu,” ucapnya sambil mengangguk sopan padaku.
“Oh, iya, Pak Hamdan.”
“Permisi, ya, Bu. Saya mau dobrak pintunya.”
Tapi sepertinya dobrakan kakinya tak terlalu kencang. Tiga kali ia menendang pintu tak terbuka. Rasanya mustahil dengan tubuh sebesar itu.
Aku jadi mencurigai sesuatu. Seseorang itu tampak gugup setiap kali menatapku.
“Hamdan, coba sini kamu. Tolong dobrak jendelanya saja, kayaknya selotnya nggak terlalu masuk ke dalam, lebih mudah ini,” pinta Mas Betara dari samping rumah.
"Oh, iya, Pak."
“Permisi, Bu,” ucapnya sembari melangkah ke samping. Benar saja, hanya dalam sekali tendangan, jendela terdengar berhasil terbuka.
“Dek, nanti masuk lewat pintu saja, ya. Mas coba masuk lewat jendela, sambil cari kunci pintu cadangannya." Mas Tara melongok dari samping rumah.
Aku mengangguk kecil.
Hmmm, aku mulai paham sekarang. Rupanya ini memang akal-akalannya. Mas Tara sengaja agar jendelanya saja yang bisa dibuka, agar ia bisa menyembunyikan barang-barang milik perempuan bernama Nona itu terlebih dahulu sebelum aku masuk. Dari luar terdengar dia begitu kedandapan kesana kemari melangkah dan membuka tutup almari. Lalu terdengar bunyi plastik dibungkus dengan kasar.
Setelah berselang kurang lebih lima belas menit, baru pintu terbuka.
“Agak lama, ya, Dek? Kunci cadangannya baru ketemu. Yuk masuk,” ajaknya sembari memegang lenganku menarik ke dalam.
Semoga saja ia tidak curiga bahwa banyak benda milik wanita itu sudah hilang di rumah ini. Aku cukup paham Mas Tara, ia sangat cuek soal benda-benda isi rumah. Khas seorang lelaki pada umumnya. Aku yakin dia nggak akan tahu bahwa aku sudah masuk ke rumah ini sebelumnya dan menyembunyikan beberapa barang bukti.
Ia keluar mengambil tas pakaianku dan menaruhnya di kamar.
Aku bergerak berpura-pura melongok kamar mandi, kamar lainnya dan dapur.
“Mas, kok sudah ada masakan di meja ini, siapa yang masak? Ada bibi di rumah ini?”
Ia yang sedari tadi berdiri mematung menatap aksiku, berjalan mendekati meja makan. Terdiam sesaat.
“Oh, itu, tadi pagi Mas ke pasar. Di pasar kan ada yang jual sayur matang. Biar hemat, Dek, nggak usah makan di restoran maksud Mas.”
Wajah itu tersenyum ke arahku. Lalu menarik napas dalam dan menghembuskannya.
Aku ber ‘oh’ menjawab.
“Sudah makan, Dek? Makanlah ambil piring,” tawarnya.
“Nggak, aku belum lapar.”
Kuamati tempat-tempat lain di ruangan ini.
“Assalamualaikum.” Suara seorang wanita mengucap salam.
A
ku bergegas keluar ruangan menuju ruang tamu.
Wanita itu! Wanita yang wajahnya aku sangat kenali sejak semalam.
Dia, perebut suamiku! yang seenaknya bergelendot manja di bahu Mas Tara semalam!
Berani-beraninya sekarang dia menampakkan diri di hadapanku!
stop or next?
Yuk bantu Subscribe cerita ini dulu biar notifnya ngingetin sy terus utk up lbh cepet.😊😘
Login untuk melihat komentar!