Aku akan bunuh diri. Dengan mata terpejam, kutekan pisau ke pergelangan tangan, sambil menggigit bibir menahan pedih. Mungkin, ini yang terbaik. Aku lebih memilih meregang nyawa, daripada harus menanggung sakit hati dan perasaan malu yang tak berkesudahan. Lelaki itu ....
Air mataku bergulir turun. Dada terasa sesak saat mengingat Mas Aswin lebih memilih uang 2 ratus juta yang ditawarkan abah timbang terus mempertahankanku. Dasar kekasihku itu mata duitan! Pengecut!
Gigitanku pada bibir semakin kuat. Sakit. Pergelangan tanganku berdenyut ngilu. Aku harus mati. Sudah tak sanggup lagi menanggung semua ini. Putus cinta, lalu dipaksa menemui lelaki pilihan abah.
Melalui beberapa foto yang diperlihatkan umi, aku sudah bisa menebak ia lelaki seperti apa. Selalu mengenakan serban, juga baju terusan sampai mata kaki yang nampak kedodoran di tubuhnya. Pasti, ia lelaki sok suci. Jadi daripada bertemu dengannya lalu melangsungkan pernikahan seperti yang diharapkan abah, lebih baik mati!
Aku bergidik ngeri saat melihat darah mengalir dari pergelangan tangan, sebagian mengotori bunga-bunga kecil di jilbab yang kukenakan, saat mata terbuka karena mendengar dering HP. Foto Mas Aswin yang sedang tersenyum lebar, terpampang di layar.
Baru saja membuka mulut hendak mengumpat, ia sudah lebih dulu berkata, "Dek, cepat berkemas. Mas tunggu di depan."
Aku membisu, mencoba mencerna ucapannya.
"Dek, ayo kita kabur. Bawa semua perhiasan dan tabunganmu. Ayo, kita pergi jauh dari sini."
Aku mendongak menatap jam dinding. Pukul 11 malam. Apa kata Mas Aswin barusan? Kabur? Apa ia sudah sinting? Di depan mataku, ia menerima segepok uang dari abah. Lalu sekarang ... sungguh tak masuk akal.
"Dek, jangan salah paham. Aku terima uang dari ayahmu, sebenarnya untuk bekal kita minggat. Kamu tahu sendiri aku tak punya apa-apa. Cepat, Dek. Keburu ketahuan."
Klik.
Sambungan diputus sepihak. Kabur? Jika mengajak pergi jauh, bukankah artinya Mas Aswin masih mencintai dan ingin mempertahankanku? Mas Aswin pasti tahu konsekuensi yang harus ditanggungnya jika sampai ketahuan abah.
Seolah tersadar, sambil meringis menahan sakit, kutarik kasar pisau yang menancap di urat nadi, lalu membebat tangan bersimbah darah ini menggunakan jilbab putih segi empat yang tergeletak di samping tubuh.

Aku mondar-mandir dengan gelisah. Perasaan tidak tenang. Kabur? Aku menggeleng ragu. Sama sekali tak pernah terlintas secuil pun pergi meninggalkan rumah.
Aku terus bergerak ke sana-kemari sampai HP kembali berdering. Kuraih cepat, tapi tak mengangkatnya, hanya menatap foto Mas Aswin sampai benda pipih dalam genggaman mati sendiri.
Haruskah pergi? Satu sisi mengatakan iya, sisi lainnya melarang keras. Abah pasti akan mencari kami. Tapi jika tetap di rumah ... aku menggeleng kuat, terisak saat menyadari kenyataan aku hendak dinikahkan dengan anak kawan karib abah.
HP menyala terang. Tekan. Mas Aswin berkata tak sadar begitu sambungan terhubung.
"Cepat, Dek! Kamu ingin aku ketahuan berada di sekitar sini lalu dipukuli abah?!" Suara Mas Aswin terdengar panik.
Aku menghela napas. Abah tak sekejam itu. Tapi, abah juga tak pernah main-main dengan perkataannya. Abah pernah mengancam akan memberi perhitungan pada Mas Aswin jika kembali menemuiku.
Haruskah pergi? Atau tetap tinggal lalu menikah hanya dengan proses taaruf? Menikah tanpa cinta ....
Lekas kubuka lemari lalu menjejalkan pakaian, jilbab, dalaman, perhiasan, juga kartu ATM ke dalam ransel sambil menggigit bibir menahan ngilu. Beres. Haruskah pergi? Hati digelayuti ragu. Perasaan campur aduk. Ibarat dihidangkan makanan pemicu alergi dalam keadaan sangat lapar. Dimakan salah, tak dimakan ... lapar.
Ah, sudahlah. Mungkin ini pilihan terbaik. Yang akan terjadi nanti, pikirkan saja belakangan. Sambil menoleh ke kanan dan kiri dengan jantung berdetak kencang, aku berjingkat menuju ruang tamu. Sunyi. Gelap. Abah dan umi pasti sudah lelap dalam mimpi. Perlahan, tangan memutar kunci. Aman.
"Deek, cepaat!"
Lelaki semampai berambut jabrik itu melambai-lambaikan tangan di bawah lampu jalan yang terang benderang, persis di depan gerbang. Wajah putih mulusnya tampak riang. Bibir tipis kemerahannya mengembang lebar, memperlihatkan dua gigi gingsul yang membuat ia semakin tampak manis.
Agak ragu, aku melangkah mendekat. Bagaimana kalau abah dapat menemukan kami? Pasti akan marah besar, apalagi Mas Aswin sudah menerima sejumlah uang darinya. Bagaimana kalau umi terus menangis begitu menyadari sang putri tak lagi di rumah? Bagaimana kalau semua orang berpikir jelek tentangku? Masa, lulusan pesantren kabur dari rumah.
Aku menggeleng bingung. Serbasalah. Tetap tinggal lalu menerima takdir, atau pergi dengan kekasih tercinta.
"Ayo, Dek."
Aku menunduk, menggigit bibir. Dalam hati meyakinkan niat, bahwa ini yang terbaik. Yang akan terjadi nanti, biarlah menjadi urusan nanti. Aku mempercepat langkah, menyusuri jalan pedesaan yang sunyi. Maaf, bah, umi, anakmu memilih pergi.
***
Ransel di punggung terasa semakin berat. Pergelangan tangan berdenyut ngilu, sakitnya mulai merambat area sekitar, lebih menusuk dari sebelumnya.
Disinari cahaya rembulan yang nampak begitu bulat dan keperakan, juga bintang gemintang yang berpijar indah, kami terus berjalan dalam keheningan. Aku bersidekap saat angin dingin berembus dari arah hamparan kelapa sawit di kiri-kanan setapak jalan yang kami lewati.
Kurapatkan switer, berusaha menahan lelah dan hawa dingin yang terus menerjang tubuh.
"Mau istirahat dulu, Dek?" Mas Aswin menoleh. Suaranya terdengar cemas.
"Nggak usah, Mas." Aku semakin kuat memeluk tubuh. Badan terasa panas dingin. Kaki juga pegal. Kepala berdenyut, rasanya begitu berat dan pening.
"Sebentar lagi sampai rumah temanku, nanti, kita istirahat di sana. Besok pagi, baru kita lanjutkan perjalanan." Mas Aswin menoleh.
Aku mengangguk pelan. Kepala seakan berputar. Tubuh semakin kuat menggigil. Pergelangan tangan terasa menebal, sakit sekali saat digerakkan. Apa jangan-jangan tetanus? Apa kematian yang beberapa menit tadi begitu diharapkan, akan segera menghampiri?
Air mata bergulir turun saat membayangkan kemungkinannya. Ketakutan perlahan merayap menyungkupi hati. Jika terjadi apa-apa padaku, pastilah Mas Aswin yang dikambing hitamkan.
"Kamu sakit?" Mas Aswin kembali menoleh. Di langit, bintang berkerlap-kerlip.
"Nggak, kok. Aku nggak sakit," sahutku berusaha terdengar riang.
"Syukurlah."
Aku mencoba mengimbangi langkah panjang-panjang Mas Aswin. Mengacuhkan rasa lelah, juga gigil yang membuat tubuh berkeringat dingin dan gemetar. Rasa berat di kepala tambah menjadi. Berdenyut. Seakan berputar.
Begitu keluar dari jalan terobosan, tubuh seperti melayang. Mas Aswin dengan sigap merengkuh lalu mendudukkanku di bibir jalan berbatu. Ia menyusul duduk di sebelahku.
"Minum." Ia mendekatkan air mineral 500 ml ke bibirku. Aku menyedotnya hingga kandas.
Mas Aswin menarik napas panjang. Dari pancaran sinar bulan, wajahnya terlihat sangat khawatir. Tatapannya berganti-ganti pada wajah dan tangan yang semakin membatu ini. Jilbab putih yang membelit luka telah berganti warna, samar menguarkan bau anyir.
"Kamu sakit, Dek? Itu ... tanganmu kenapa?" Mas Aswin menatap tanganku.
"Nggak papa, Mas. Tenang aja, ah, nggak usah ketakutan gitu wajahnya."
Aku berusaha menghiburnya dengan suara yang diriang-riangkan. Jangan sampai gara-gara ini malah tak jadi pergi. Tak bisa kubayangkan andai kembali ke rumah, Mas Aswin pasti dihajar, dan aku harus menikah dengan lelaki asing itu. Sudah terlanjur memberontak, maka harus dilanjutkan sampai akhir.
Mas Aswin menggeser tubuhnya mendekat. Lalu menempelkan telapak tangan ke keningku. Aku langsung menyentaknya.
"Jangan pegang-pegang, Mas! Kita belum menikah."
Mas Aswin tak menyahut. Bergegas ia berdiri, lalu melepas ransel di pundakku, tergesa membukanya.
"Cari apa, Mas?" Aku memandangnya penasaran.
"Dompet. Semua uangku sudah kutabung. Berapa pin ATM-mu?"
Aku memandangnya cukup lama. Merasa heran. "Di dompetku ada uangnya, Mas."
"Berapa pin ATM? Buat jaga-jaga."
Aku mengernyit. Untuk apa pin ATM? Malam-malam begini, mana ada mesin ATM yang buka? Uang di dompetku pun lumayan banyak.
“Kamu tak percaya padaku?” Mas Aswin memandangku lekat.
“Aku takut kamu kenapa-napa, Dek. Ini untuk jaga-jaga seandainya kamu sakit parah. Aku tinggal menggesek punyamu, juga punyaku.”
Walau ragu, akhirnya kusebutkan. "Tanggal jadian kita."
Mas Aswin mengangguk kecil. "Tunggu di sini, Dek. Aku pergi cari obat dulu."
Mataku refleks melebar, menatapnya tak habis pikir. Aku ditinggal sendirian? Ya Allah ....
"Jangan ke mana-mana, ya?"
"Mas tega tinggalin aku di sini sendirian?" tanyaku tak percaya sambil memerhatikan sekitar. Lengang. Di depan dan belakang kami duduk, berdiri kokoh perkebunan kelapa sawit, butuh sekitar 20 menit berjalan kaki untuk sampai ke perkampungan penduduk.
"Badanmu panas sekali, Dek. Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana."
Dada bergemuruh. Kepala menggeleng tegas.
"Nggak mau! Jangan tinggalkan aku, Mas. Aku takut. Bagaimana kalau ada apa-apa? Ada orang jahat. Ada ...."
“Nggak akan ada apa-apa, Dek. Kamu terlihat sangat lemah. Tunggu saja di sini, aku akan segera kembali.”
Aku hampir menangis saat Mas Aswin beranjak berdiri, lalu melangkah setengah berlari membelah jalan berbatu yang lengang. Ia sempat membalikkan badan dan melambaikan tangan, memberi isyarat agar aku tak ke mana-mana.
Angin dingin menerjang dari arah belakang. Tubuhku gemetar. Gigil kian mengganas. Kuusap peluh yang terasa dingin di telapak tangan, lalu mendongak memandang langit. Terang, tak ada riak awan. Bulan bundar bersinar keperakan, sementara di sekitarnya, ribuan bintang memancar cemerlang.
Tubuh kembali diserang gigil. Kepala dan tengkuk memberat. Sedetik kemudian, tubuh seakan melayang ringan. Pandangan berputar. Pekat. Seakan terbang.
?di Mesuji tempatku, ATM gak buka kalau malam, karena rawan siii. Jangankan ATM, desa aja jam 8 malam udah kayak kuburan. Mesuji berada di propinsi Lampung.