13
Sungguh, aku tidak punya pilihan lain selain mengikuti Ian masuk ke dalam kontrakan kecil di pinggir jalan di lantai dua. Hanya sepetak, terdiri dari ranjang ukuran sedang dan kamar mandi. Tak ada ruangan lain.
"Hanya untuk sementara." Ian berkata lirih.
“Apa kita nggak bisa cari apartemen lain?” Aku memandangnya penuh harap.
“Nggak segampang itu, Can. Dan yang perlu kamu tahu, semua uang kutabung. Semua kartu hangus, kan?”
"Emp ... apa nggak bisa pinjam ke teman-temanmu untuk mengontrak yang lebih besar?" tanyaku hati-hati. Tak bisa membayangkan jika harus berbagi tempat tidur.
Ian menggeleng cepat. "Aku gak biasa berhutang."
Aku memerhatikan Ian. Wajahnya yang tadi begitu syok mulai mengendur. Tak ada benda berharganya yang tersisa kecuali sepeda motor dan dua helm. Juga dompet. Sisanya, kartu ATM dan barang-barang berharga ludes dilalap api. Sementara mobil, ia sedang menawarkan pada temannya untuk membuka tempat praktik baru. Bagaimana ini? 
Menatap sekeliling, jantungku seketika menghentak-hentak. Tinggal seruangan dengan lelaki tanpa ada sekat ... aku menggeleng, tak ingin berpraduga yang bukan-bukan. Ian selalu bilang aku bukan tipenya. Jadi, tak perlu takut, kan? Tetapi, tetap saja aku merasa cemas.
Ian duduk bersila di lantai, mengeluarkan dua nasi bungkus yang tadi dibeli di jalan dari plastik merah, lalu dengan isyarat matanya menyuruhku duduk.
"Makan."
Aku mengangguk tak nyaman. Tangan bergerak pelan membuka nasi bungkus. Semoga tidak sakit perut. Ini bukan apartemen Ian. Tak ada obat-obatan. Bismillah. Perlahan, kusuap nasi ke mulut.
"Besok, kita ke blok M. Beli baju. Sekarang udah larut."
Aku mengangguk. Tubuh terasa gerah dan lengket. Tapi, mau bagaimana lagi. Tak punya pilihan selain terus mengenakan pakaian ini.
"Tapi, aku gak bisa membelikanmu baju yang mahal. Buku tabunganku ada di Mesuji, jadi gak bisa langsung mengurusnya.”
“Kenapa nggak minta dikirim lewat pos?”
“Sebulan lagi aku pulang, jadi sekalian aja. Can, mulai hari ini, kita berhemat dulu, ya? Tanggal gajian masih jauh. Mobil juga belum terjual." Tatapan Ian lekat ke wajahku.
Kuanggukkan kepala. Sungguh tak tega menatapnya.
"Nanti kalau aku udah buka praktik atau udah gajian, aku belikan kamu baju yang mahal."
Mengangguk lagi. Ia terlihat sedih, tapi terus mencoba tersenyum.
"Kamu gak nyaman?" Ian mendongakkan wajahku, memandang lekat. Aku menelan ludah. 
"Kamu tenang aja, hidup denganku mah gampang. Kalau gak punya uang, kita tinggal nyuri, atau merampok. Bagaimana?"
Aku tersentak kaget, langsung memelototinya. Tawanya berderai.
"Ii-aaan!"
Ian kembali tertawa. "Kenapa gak mau melihat lawan bicaramu? Tenang, Can, jangan khawatir. Aku yakin ini akan segera berakhir."
Aku mengangguk, lagi-lagi merasa kikuk. Segera kualihkan pandang, kembali makan. Ian membuka nasi bungkusnya, sesekali menoleh padaku.
"Kamu ingin tau, gak? Semua yang lenyap itu, barang-barang berharga di apartemen yang tak kuasuransikan, kudapatkan dengan penuh perjuangan. Berhemat sehemat-hematnya. Aku gak nyangka akan terjadi seperti ini, mobil harus dijual, semua yang hangus ... kubeli dengan jerih payah sendiri ....”
Ian menunduk. Menyuap nasi.
"Aku kuliah sambil bekerja apa saja. Ngamen, jaga toko, jualan, pernah juga jadi tukang parkir." Lirihnya.
"Kamu kuliah, juga dengan biaya sendiri?" tanyaku ingin tahu. 
Ian menepuk jidatku. "Yang benar aja. Apa gunanya orang tua? Mereka membiayaiku kuliah sampai selesai. Hanya saja, jauh-jauh hari sebelum kuliah, mereka mewanti-wanti agar setelah lulus, aku tinggal bersama mereka. Yang benar aja." Matanya berkilat marah.

"Kamu benci orang tuamu?" Selidikku, bertanya dengan suara lirih.
Ian menggeleng cepat. "Gak. Aku hanya gak suka diatur. Harus ini, harus itu. Aku paling bandel jika dibanding saudaraku yang lain." Ian tertawa, tapi matanya basah. Segera ia seka, lalu tersenyum lebar. Terlihat sekali dipaksakan.
"Aku sayang pada mereka. Dua bulan sekali, aku selalu pulang."
Aku mengangguk-angguk hanya untuk membuat Ian lega. Tapi tak sepenuhnya memercayai ucapannya. Lalu, kenapa ia begitu sedih saat di Ragunan tadi?
Entahlah. Hanya Ian dan Allah yang tahu.

❤️❤️❤️
Sama sekali tidak nyaman. Badanku terasa gerah dan lengket, malam semakin larut, kepala dan tengkuk berat. Sangat mengantuk, tapi mata tak juga mau terpejam. Sementara Ian yang tidur meringkuk membelakangi, sepertinya sudah terlelap sejak tadi. Aku menarik napas panjang, melirik Ian yang tidur di sampingku.
Pejamkan. Pejamkan mata. Lirihku dalam hati sambil berusaha mengosongkan pikiran.
Jantungku menghentak kuat saat merasakan tangan digenggam erat. Genggaman Ian perlahan mengendur, lalu sesaat kemudian kurasakan sentuhan lembut di pipi. Dada bergemuruh. Jantung berdetak kencang. Apa Ian hendak macam-macam?
Aku terus memejamkan mata. Tangan Ian kini berada di pinggir bibirku, lalu menekannya dengan jari telunjuk.
"Jorok. Kebiasaan abis makan gak dibersihkan," ujarnya sambil terkekeh pelan.
Terus pejamkan mata. Jangan sampai buka.
"Bisa-bisa mulutnya digigit kecoak."
Terus pejamkan. Terus pe—apa? Kecoak? Tubuhku seketika bergidik. Apa di sini ada hewan menjijikkan itu? Di mana? Di lantai apa di dinding? Jangan-jangan ... di dekatku?
"Pasti, dia gak tau ada kecoak di dinding, yang sewaktu-waktu bias terbang dan menggigit bibir kotornya "
Mataku langsung membelalak lebar, segera saja tubuh beranjak bangun.
"Mana? Mana?!" Aku menatap ke sana-kemari. Begitu menyadari jarak kami begitu dekat, langsung tubuh beringsut menjauh. Ian nampak salah tingkah. Wajahnya bersemu merah.
"Kamu belum tidur?" Suaranya pelan.
"Mana kecoaknya?"
Tangan Ian menunjuk ke dinding. Mataku membelalak. Antena hewan itu bergerak-gerak. Iih, sungguh menjijikkan.
Aku segera beranjak lalu meraih sapu usang di sudut ruangan, tanpa membuang waktu mengarahkannya ke dinding. Ian tahu-tahu sudah berdiri di belakangku, menyentuh lembut kedua lenganku. 
"Jangan." Tatapnya saat aku menoleh. Tangannya meraih sapu dalam genggamanku.
"Kenapa?" Aku menatapnya bingung.
"Jangan dibunuh. Cairannya, gak baik untuk kesehatan," sahutnya, lalu kembali duduk di ranjang. Aku duduk agak jauh darinya.
"Kamu gak bisa tidur?" Tatapan Ian terpatri ke wajahku. Aku balas memandang. Merasai desir aneh di dada. Gelenyar-gelenyar tak biasa yang timbul dari bahu, menjalar ke dada, merayap pelan menuju perut.
"Kamu sendiri? Kenapa nggak tidur?"
"Gak bisa tidur." Lirihnya. "Aku gak nyaman. Seumur hidup, gak pernah ada gadis yang tidur di sebelahku. Kamu sendiri?"
"Sama, aku juga nggak nyaman. Aku takut ...."
"Apa?" Ian memandang penuh rasa penasaran.
"Kamu akan berbuat mesum."
Ian tertawa lebar. "Astagaaa! Can, kamu bukan tipeku," sahutnya sambil beringsut mendekat.
"Menurutmu, aku bakal macam-macam padamu, begitu? Aku gak akan ngelakuin itu sebelum menikah. Paham, gak?"
Aku menelan ludah. Merasa salah tingkah sendiri. "Paham. Tapi ... kata Umi, kalau seorang lelaki dan perempuan berduaan, maka ketiganya adalah setan. Setan akan berbisik pada keduanya untuk melakukan hal—"
Aku berhenti bicara karena Ian kembali mendekat. "Yang dikatakan umimu benar, Can!" Lalu, ia meraih tanganku dan menariknya menuju pintu. Membukanya. Angin segar langsung berembus masuk. Ian mengajakku duduk di teras.
Ian menoleh. "Kamu tenang aja. Kamu udah kutandai gak bakal kusentuh."
Aku mengangguk.
Hening.
Ian bertepuk tangan kecil. Pelan, bibirnya bersenandung.
Dari hati yang paling dalam ...
Terucap kata cinta untukmu ...
Yang telah lama ingin kukatakan ...
Sungguh takkan kuingkari ...
Ian menatap lurus ke depan. Aku mencuri-curi pandang. Dan refleks berpaling saat ia menoleh. Kasihan Ian, ia pasti sangat sedih karena usaha kerasnya lebur begitu saja. Ah, andai bisa membantu.
"Can ...."
"Iya?"
"Kamu sungguh gak mau pulang?" Ian menoleh. Aku mengangguk pelan.
"Kamu sangat ingin menghubungi Aswin?"
Aku langsung mengangguk. Ian masuk kamar, sesaat kemudian kembali dengan HP di tangan. Langsung mengulurkannya padaku. Tanpa membuang waktu segera kutekan angka demi angka. Panggil.
Aktif. Namun tak diangkat. Kembali aku menelepon. Aktif. Tidak juga diangkat.
Ian terus memandangiku sambil bersenandung. Panggilan tetap tak diangkat.
Biarkan kumencoba menjadi milikmu ....
Jangan tutup dirimu ....
Salahkah diri ini yang mencintaimu ....
Jangan tutup dirimu ....
Kenapa tidak juga diangkat? Apa sudah tidur? Mungkin saja. Jam 3 dini hari.
Tak banyak yang dapat kulakukan
Untuk membuktikan cintaku
Tapi kata hati yang tulus dan suci
Sungguh aku cinta kamu
Aku menoleh pada Ian yang langsung memberiku senyum lebar. Ian mengerjap, bertepuk tangan riang. Namun, wajahnya tak bisa dibohongi. Begitu sedih dan tertekan.
"Can ...."
Aku menoleh. 
"Can ...."
"Iya?"
Hening. Angin dingin menerpa wajah.
"Ada yang ingin kukatakan."
Aku terus memandangnya.
"Tapi ... kamu jangan marah, ya?"
"Apa?"
Ian terlihat ragu. Tangannya saling bertaut. Wajahnya begitu gugup. "Aku ...."
Aku terus mengamatinya. Tak biasa-biasanya wajahnya pucat dan gugup begitu. 
"Gak jadi, deh." Ia menatapku lekat. Lalu mendekatkan wajah. Aku menelan ludah. Dadaku berdebar hebat. Apa Ian mau menciumku? Harus menolak. Harus. Bibir ini masih perawan. Hanya boleh diberikan pada suami.
Ian menyentuh bibirku dengan jari telunjuknya. "Kamu jorok, yaaa. Sudah gede makan masih belepotan. Awas, digigit kecoak."
"Iiii-aan!" Aku menyentak tangannya. Lalu memukulinya. Ian merangkulku, lalu tertawa ngakak, tawa yang tak sampai ke matanya. Aku menatapnya prihatin.