“Kita mampir ke Blok M dulu, ya? Makan,” ucap Ian sambil menatapku dari spion. Aku mengangguk, mataku terus memandang sekeliling. Jalanan macet total. Asap hitam yang bergumul di sekitar membuat tanganku terus membekap hidung.
“Tapi jangan makan di pinggir jalan, ya? Cari tempat yang higienis. Aku nggak mau sakit perut lagi.”
Ian tergelak. Menatapku dari spions. Sudahlah acuhkan saja. Aku kembali menatap sekeliling. Kendaraan dari arah kanan mulai melaju pelan. Klakson bersahutan.
“Inilah alasan kenapa aku gak suka naik kendaraan pribadi, Can. Macet. Aku nggak suka macet, sungguh melelahkan.”
“Mau kugantikan?” tawarku sungguh-sungguh.
“Gak. Nanti malah jatuh!” Tolaknya dengan tatapan mengejek.
“Gak bakal jatuh. Naik motor mah keciil. Kamu arahkan saja jalannya. Turun!” kataku setengah berteriak sambil lekas turun dari boncengan. Ian tersentak, menatap tak percaya.
“Memangnya kamu punya SIM?” Tatapnya sungguh-sungguh.
“Nggak usah menghina. Punya, Dong!” Aku menarik tangannya dengan tak sabar. Agak ragu, Ian menggeser tubuh ke belakang, dengan wajah sangsi membiarkanku duduk di depan. Lihat saja.
Begitu lampu berganti hijau, segera kukendarai motor dengan kecepatan sedang. Begini maah, keciil. Hari gini tidak bisa mengendarai motor, cemen namanya.
“Belok, Can.”
Aku patuh. Motor terus melesat mulus. Sesekali berpapasan dengan bis panjang, motor, juga bajaj.
“Gak sangka kamu bisa diandalkan.” Ian berkata lembut di belakangku. Kupandang Ian dari spion, terkejut setengah mati saat tiba-tiba tangannya melingkar di pinggangku, membuat dadaku seketika bergemuruh aneh.
“Ian ....”
“Ada apa?”
“Aku nggak nyaman.”
“Gak nyaman kenapa?”
Aku ragu-ragu, tapi tetap mengatakannya. “Tanganmu membuatku risih. Tolong lepas. Aku gak nyaman. Dan ... ini dosa.”
Bukannya menuruti permintaanku, Ian malah terkekeh. Pelukannya malah semakin erat. “Kan aku hanya pegangan.” Ian memberi alasan.
“Can ....”
“Iya?”
“Kamu beneran gak ingin pulang? Jika ingin, kuantar ke Mesuji.”
“Gak!”
“Aku gak yakin Aswin akan menepati janji. Dia gak akan datang menjemputmu.”
Aku mengerem mendadak, membuat tubuhnya refleks menabrak tubuhku. Aku menoleh dan menatapnya sebal, lalu kembali mengendarai motor dengan kecepatan penuh.
“Pelan, Can! Tingkah kekanakkanmu bisa membahayakan nyawa kita! Berhenti, Can! Can, lampu merah!”
Tak kupedulikan. Apa Ian menyembunyikan sesuatu padaku? Aku menyentak napas. Kenapa ia begitu gigih mengatakan Mas Aswin takkan datang menjemputku? Sungguh pikiran ini begitu mengganggu.
Tangan Ian tiba-tiba terjulur, masing-masing menempel di tangan kiri dan kananku. Tubuhnya sangat dekat.
“Berhenti! Biar aku yang kendarai!”
Tak kupedulikan. Dari arah samping, seorang polisi melambai di motornya. Aku balas melambai. Ramah sekali, ya, dia?
“Berhenti, Can. Berhenti!”
Cueki saja. Aku sedang sangat jengkel padanya. Dari spion, terlihat sang polisi mengikuti kami. Kenapa sih polisi itu? secepat kilat tangan Ian menutar kontak. Langsung kuberi ia pandangan sebal.
Sang polisi berhenti di depan kami. Ian segera menghampiri, berbicara agak lama sebelum akhirnya menghampiriku.
“Mana SIM-mu?”
“SIM?”
“Iya, mana? Kamu bilang kamu punya SIM, kan?”
“Kutinggalkan di apartemen!” sahutku cuek. Sedikit tak tega karena telah membohonginya dengan mengatakan memiliki SIM. Ian tampak lelah. Jadi, tak masalah kan berbohong dengan niat menolong?
“Astagaaa, Can!” Ian mengembuskan napas keras, wajahnya nampak kesal. Ian kembali mendekat ke arah sang polisi. Ada apa sih dengan polisi itu? Mataku refleks membelalak saat melihat Ian mengeluarkan dompet. Waah, ada yang tidak beres nih. Pasti Ian dirampok, atau ... dihipnotis?
Serta-merta aku mendekat lalu menyambar dompet Ian.
“Bapak mau ngerampok?”
Polisi di hadapanku tersentak kaget. Begitu pun dengan Ian. Parah, ini tak boleh dibiarkan.
“Ian, sadar. Kamu dihipnotis!”
“Can, kamu melanggar lampu merah. Diam, ya?”
“Memangnya kenapa?” Aku menatap pak polisi dengan wajah tak terima. “Kan, hanya melewatinya saja.”
“Tidak boleh! Yang Anda lakukan bisa mencelakai pengendara lain!” jawab sang polisi tegas. Dih, wajahnya galak sekali. Sepertinya tersinggung, deh, dia.
“Tapi kan kenyataannya nggak terjadi apa-apa, Pak? Terus apa hubungannya dengan bapak meminta uang? Mau memeras?”
Ian tiba-tiba membekap mulutku, tangannya sigap mengangsurkan uang pada sang polisi.
“Maaf ya, Pak, istri saya sedang hamil muda. Emosinya sedang tidak labil. Dimaklumi saja.”
Mataku melebar. Apa? Istri? Yang benar saja. Kutepis tangan Ian. Baru saja hendak meralat, Ian langsung menyambar tanganku, menyuruh naik. Aku duduk di boncengan dengan wajah ditekuk.
“Kalau gak mau pulang ke Mesuji, setidaknya jangan ngambek begitu. Membahayakan nyawa, dan akhirnya kena tilang.”
“Salahmu, kenapa dikasih uangnya?!”
“Karena kita salah, Can!” Balasnya tak terima. Aku bersunggut-sunggut, memandang gedung-gedung tinggi yang kami lewati. Lampu jalan mulai menyala remang.
“Yaa seharusnya jangan dikasih. Ternyata masih enak di Mesuji, yaa, naik motor bebas nggak pernah macet, nggak ada polisi dan gak ada tulang-tulangan.”
“Tilang, Can, tilang.” Ian meralat, wajahnya nampak gemas.
“Terserahlah.” Aku mengembuskan napas. “Dan ... aku bukan istrimu.” Aku terus menatapnya dari spions.
“Mungkin saja kamu akan menjadi istriku.”
Aku menyentak napas. “Nggak lucu. Jangan menggajakku bergurau.”
“Bagaimana kalau takdir menjadikanmu istriku?” Ian menoleh, mengerling menggoda.
“Ogah.”
Dari spion kulihat Ian tersenyum kecil. “Bukannya aku ganteng?” Ian kembali mengerling, mengedip-ngedipkan mata dengan menyebalkan. Alay sekali. Anehnya, dadaku malah berdebar keras.
“Can ....”
“Iya?”
“Aku suka kamu.”
“Apa? Enggak denger!” seruku. Bajaj lewat di samping kami.
“Kamu ingin makan apa?”
“Sepertinya, tadi kamu nggak bilang be—Ian, Ian, berhenti dulu! Berhenti, Ian!”
“Ada apa?”
“Aku seperti melihat Mas Aswin. Berhenti! Berhenti dulu!”
“Jangan mengigau, Can. Gak mungkin Aswin ada di sini.” Lalu, ia menambah kecepatan. Motor melesat melalui beberapa kendaraan.
Aku terus menoleh ke belakang. Sungguh, yang sedang duduk di depan gerobak menikmati es cincau tadi amat mirip dengan Mas Aswin. Kenapa ada orang yang begitu mirip? Aku menarik napas, berusaha berpikir rasional. Mungkin benar yang dikatakan Ian, Mas Aswin tak mungkin di sini. Aku menarik napas panjang, memejamkan mata, membuang mood yang tiba-tiba menjadi buruk.
Kini, motor melaju pelan masuk ke dalam gedung. Ratusan motor berjajar rapi. Hanya menyisakan sedikit ruang untuk lewat.
Kami lekas turun, berjalan sebentar, lalu masuk ke ruangan ajaib. Begitu keluar telah berada di ruang besar berisi pakaian, boneka, aksesoris, sepatu, dan banyak lagi. Saat mendongak, langsung terlihat lantai-lantai di atasnya dengan pengaman dari kaca transparan sebatas dada. Tampak beberapa orang sedang menaiki tangga jalan, ada juga yang turun sambil berbincang dengan banyak belanjaan di tangan.
“Ingin makan apa?” Ian menoleh. Aku terus menatap ke sana kemari dengan takjub. Sungguh begitu besar, bertolak belakang sekali dengan di desa.
Ian menggapai tanganku, menariknya menuju tangga berwarna hitam dengan kaca bening di samping kiri-kanan tangga. Aku berhenti mendadak.
“Nggak mau! Takut jatuh!”
Ian terkekeh kecil. “Gak bakal jatuh, Can. Tenang, ada aku di dekatmu.”
Tatapanku lekat pada tangga yang bergerak naik. Sungguh terlihat mengerikan. Kalau jatuh bagaimana?
“Nggak mau!”
Ian menggelengkan kepala, nampak begitu gemas. “Aku lapar, Can. Kamu gak lapar? Sebentar lagi magrib, shalat di sini lalu pulang.” Ian menarik tanganku yang segera kutepis kuat lalu memandangnya dengan wajah jengkel.
“Apa kamu takut ulat bulu? Jika iya, ibaratkan saja tangga mengerikan itu adalah ulat bulu, Ian. Atau ular yang sangat besar!”
Ian menarik napas. “Baiklah, tutup matamu. Nanti ... tahu-tahu sudah sampai di atas.”
Aku memandangnya sungguh-sungguh. Benarkah? Masa, sih?
“Kuhitung, ya? Satu ... dua ....”
Perlahan, kukatupkan mata. Apa iya nanti tahu-tahu sampai di atas? Mataku refleks membelalak saat merasakan tubuh seperti diangkat. Wajah Ian begitu dekat dengan wajahku. Dadaku berdebar keras.
“Ii-aan! Turunkan!”
“Udah kubilang jangan buka mata.”
Aku langsung diam saat menatap ke bawah. Tangganya sedang jalan. Lebih baik tenang dulu, kalau jatuh bisa mati. Umi dan Abah pasti akan sangat sedih. Tapi berdiam diri seperti ini ... aku memandang Ian. Ian balas memandang. Napasnya yang hangat menerpa wajahku. Rasanya tidak nyaman. Rasanya ... duh. Cepatlah sampai atas. Cepatlah.
Ian menurunkanku setibanya di atas, menatapku sambil tersenyum kecil. Beberapa orang berseragam menghampiri kami dengan daftar menu yang sudah dilaminating.
Usai makan, Ian mengajak berkeliling. Plastik kecil berisi sepatu untukku sudah ada di tangan.
“Kita bisa pulang sekarang, nggak? Aku ingin ke kamar mandi,” kataku saat Ian melangkah mendahului menuju ruangan ajaib.
Ian tergelak. “Di sini ada toilet, Can. Banyak toilet.”
“Tapi nggak ada airnya. Toiletnya juga tinggi. Aku nggak mungkin, kan, jongkok di atasnya? Pasti nyiprat, deh, kalau e-ek.”
Ian memandangku, kembali tergelak sambil memegangi perut. Entah apa yang dipikirkannya.
“Itu namanya toilet duduk, Can. Kamu tinggal duduk.”
“Nggak, ah, di apartemen aja.”
Ian menggapai tanganku. “Ayo pulang. Aku juga gak nyaman pakai toilet duduk. Jadi kamu beruntung di tempatku tinggal jongkok.” Ia mengerling. Aku langsung mencubit lengannya. “Iii-aan!”
“Hahaha.”
“Iii-aaan!”
“Hahaha."
Sudah hampir magrib saat sepeda motor mendekati apartemen. Sayangnya, jalanan malah macet total. Mobil dan kendaraan roda dua terus saling mengklakson, dan nampak puluhan orang berkerumun di pinggir jalan, menatap ke atas sambil memotret dan merekam. Sebagian penghuni apartemen juga ada di jalanan, memandang ke arah apartemen dengan wajah sedih.
Aku mendongak, terlihat nyala api dan asap hitam membumbung tinggi di udara. Bukankah itu ....
Ian menoleh ke belakang, wajahnya pucat. Tak jauh dari kami, beberapa orang berbincang dengan suara keras penuh penekanan. Terkesan sedang menyalahkan seseorang.
“Bukan salah anaknya! Tapi salah ibunya! Anak kelas satu SD kok ditinggal sendirian!”
“Memang apa yang terjadi?” Seseorang menimpali.
“Tidak tahu! Tadi terdengar ledakan gas! Aku dan semua penghuni lantai dua langsung berlarian karena mencium bau hangus. Semua penghuni apartemen berbondong-bondong keluar karena ketakutan!” jelasnya berapi-api. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah apartemen, di mana asap pekat membumbung tinggi. Terlihat beberapa mobil pemadam kebakaran di sekitar.
“Lalu bagaimana nasib anaknya?” Perempuan lain bertanya dengan wajah penasaran. Aku terus memerhatikan mereka.
“Tidak tahu! Ibunya pingsan karena anaknya terjebak api. Mungkin sudah ... Si Reka memang bodoh! Sering tinggalkan anak sendirian! Ke warung, ke pasar, anak ditinggal sendiri! Kebiasaan dia!” Ibu itu mengembuskan napas. Nampak begitu geram.
Lalu imbuhnya, “Harusnya ke mana-mana anak sebaiknya diajak. Atau dititipkan tetangganya. Anak kecil kan tak tahu barang yang boleh disentuh atau tidak ....”
Aku memandang Ian. “Kamu nggak papa?”
“Menurutmu?”
“Kamu pasti sangat sedih.”
Ian tak menyahut. Aku menatapnya tak tega.
“Makan malam, kita beli di luar ya, Can?”
Temaan, cerita ini akan segera dikunci, yaa. Kalian bisa membukanya pakai koin. Isi yang 25 ribu cukup untuk membaca cerita ini sampai tamat. Klik koin di pojok kanan atas halaman depan KBM App, lalu tinggal pilih mau bayar pakai apa. Yang bingung, silakan WA. 0812-1029-4355
Cerita ini juga tersedia versi novel. Hanya tinggal beberapa jadi yang cepat dia yang dapat. Gak perlu nunggu PO. Langsung kirim. Judul di novel 'Destiny of Love. Harga 80.000 belum sama ongkir. Wa saja 0812-1029-4355