11
Aku terkikik geli saat mendapati Ian di ruang makan. Ia duduk dengan lutut disilangkan di lutut satunya, mengenakan tangtop dan jins pendek pudar di bawah lutut, topi lebar dengan hiasan bunga warna pink, dan kaca mata hitam besar. Persis seperti anak ABG. Sungguh alay, membuatku jadi ingat dengan penampilan Aldrian.

"KTP udah dibawa belum?" Ia menoleh saat menyadari kehadiranku. Segera kepala mengangguk. KTP adalah benda wajib yang harus dibawa ke mana saja. 

"Ayo." Ian berdiri. Topi lebar ia lepas, lalu memakaikannya ke kepalaku. Aku tertegun memandangnya. Ian mengangguk kecil, tersenyum, lalu mengacungkan ibu jari tepat di depan wajahku.

"Cocok buatmu. Terlihat begitu cantik."

Aku tersipu.

Ian merogoh saku lalu meletakkan beberapa kartu di atas meja. Salah satunya kartu ATM.

"Kenapa ditinggal?" Aku mengerutkan kening.

"Udah bawa lumayan banyak di dompet. Ini inisiatif biar aku gak kalap beli ini itu yang gak penting, Can. Kita kan gak tau gimana hidup ke depannya. Aku udah bawa banyak uang tunai, kok."

"Ayo!" ajaknya, lalu melangkah mendahului.

Sambil terus berjalan, sesekali aku meliriknya, simpati atas perbuatannya tadi yang memikirkan hidup dalam jangka panjang, juga karena geli. Cobalah lihat, rambut keritingnya digel, berdiri ke atas. Kalung rantai berbandul burung rajawali menghiasi leher. Beberapa gelang warna-warni turut meramaikan tangan kiri. Sungguh kekanakan sekali. Aku terus menahan diri agar tak tertawa. Pasti, tak akan ada yang percaya kalau ia adalah dokter. Dokter Alay. Haha.

Seolah mengerti sedang diperhatikan, Ian menoleh. Tersenyum miring. "Kenapa? Seolah baru melihat cowok ganteng aja." Tawanya berderai.

Tawa yang sejak tadi kutahan akhirnya lepas, menggema di dalam ruangan ajaib. Ian mencibir.

"Begini-begini, banyak pelangganku yang mengungkapkan cinta."

Aku semakin tergelak, sedikit berjongkok memegangi perut. "Pasien, ka-li."

"Yaa sama aja-laaah." Ian ikut terbahak. Tiba-tiba, ia mendekat, lalu menangkup wajahku dengan kedua tangan dan menunduk, menatap mataku dalam-diam.

Jantungku menghentak kuat. Mau apa dia? 

Ian menatapku dengan wajah sungguh-sungguh. "Nyaris semua pasien perempuan menyukaiku, Can. Menyatakan cinta padaku tanpa malu-malu. Kalau kamu, bagaimana?" Wajahnya kian dekat. Dadaku semakin bergemuruh.

"Aku? Kenapa denganku?" Sungguh, sikapnya membuatku salah tingkah.

"Menyukaiku gak? Kalau jodohmu seperti aku, kamu bakal menolaknya atau gak?"

Mata sendu Ian semakin terlihat dekat. Kata Umi, kalau ada cowok hendak macam-macam, maka tendang saja 'belalai'nya. Sigap, lututku bergerak cepat menendang ke arah selangkangannya, tepat mengenai 'belalai'nya.

"Asta-gaa, apa yang kamu lakukan?! Sakit, Caan!"

"Siapa suruh mau macam-macam padaku!"

"Sudah kubilang kamu bukan tipeku!" Ian mendengus, lalu menyentuh mulutnya dengan tangan kiri. Aku segera menyentuh mulutku.

"Jorok. Sudah besar makan masih belepotan."

Wajah terasa menghangat. Sungguh, aku malu sekali ... apa 'belalai' Ian terasa sakit? Aku menatap Ian, merasa tak enak hati.

***

Ramai sekali. Aku duduk di bawah pohon rindang, terus memerhatikan Ian yang tengah berdiri di belakang seorang ibu, dua orang dari loket. Di belakang Ian yang terus mengusap peluh, antrean mengular panjang. Begitu berisik dan terlihat tak sabar. Wajar, karena panas begitu menyengat. Aku langsung menatap ke arah lain saat tiba-tiba Ian menoleh dan melambaikan tangan.

"Caan, Siniii!"

Tangannya terus melambai. Mau tak mau aku menuju ke arahnya. Ian langsung mundur, memberi ruang di depannya. Ragu, aku masuk ke dalam antrean.

"Di sana sendirian seperti orang hilang," ujarnya.

Tetapi di sini nggak nyaman, aku menjawab dalam hati. Apa Ian sedang memperhatikanku dari belakang? Aku merasakan ujung jilbab ditarik-tarik. Segera saja berbalik dan langsung mendelik saat mendapati serangaian lebar Ian. Dasar iseng. Apa jangan-jangan dia ....

Aku memerhatikan wajah Ian cukup lama. Apa Ian adalah Al? Tingkahnya mirip sekali dengan Al, suka menarik hidung dan ujung jilbab. Juga suka menjitak. Dan foto remaja tanggung di kamarnya ... Mungkinkah ... aku menggeleng pelan. Entahlah. Hanya saja merasa heran, bagaimana bisa cara Ian berpakaian, juga tingkah lakunya begitu mirip dengan Al?

"Ada apa?"

Aku menggeleng. Tapi entah mengapa begitu penasaran. "Apa ... kamu sebenarnya Aldrian? Kamu Al, kan?"

Ian tersentak kaget. Buru-buru ia menggeleng. "Al? Bu-bukan, kok!"

Tapi kenapa foto remaja tanggung di kamarnya begitu mirip Al? Sikap Ian, juga sangat mirip Al. 

"Aku ... bukan Al."

Meski tak sepenuhnya percaya, tapi aku mengangguk. Mungkin hanya kebetulan mirip, atau Ian merasa malu karena dulu sangat alay. Bibirku melekuk senyum saat tiba-tiba teringat kekonyolan Al, dengan pengeras suara berteriak lantang memberi tahu semua siswa bahwa aku pacarnya yang akan selalu ia cintai. Al yang terlihat begitu tabah saat mendengar gadis yang dicintainya pacaran dengan sahabatnya. Aku, Al, Mas Aswin, Deni kemudian menjadi dekat saat masuk SMA.

"Apa jangan-jangan kamu mulai menyukaiku karena aku mirip ... siapa tadi, namanya?" Ian mengerling, memandangku tanpa kedip.

Aku mengusap keringat di wajah. Aneh. Wajahku cepat sekali memanas saat bertatapan dengan Ian. 

Ian keluar dari antrean lalu mengangsurkan kartu hitam bergambar burung merak pada petugas loket. Beberapa saat kemudian menarik tanganku masuk ke dalam. Sungguh ramai sekali. Udaranya begitu sejuk dan teduh karena banyak sekali tumbuhan besar yang ditanam di kanan kiri jalan, juga meneduhi kandang-kandang hewan. Puluhan pengunjung terlihat menyebar ke berbagai arah. Ada yang datang bergerombol, mendorong kereta bayi, menggendong anak sambil menunjuk-nunjuk, muda-mudi, semua orang terlihat riang. Berjalan sambil memotret dan berbincang. Bahkan ada anak kecil yang berteriak-teriak heboh.

Ian mengajakku mendekat ke kandang rusa. Wah, cantik sekali. Seumur hidup, aku hanya pernah melihat hewan ini di buku sekolah. Ian menjulurkan tangan melewati celah kawat, perlahan mengusap lembut kepala si rusa yang nampak jinak. Aku mengikuti, mengusap bulunya. Beberapa ekor rusa bertanduk indah mendekat. 

Setelah itu, kami menuju kandang gajah, lalu ke aneka jenis burung, kemudian menuju kandang berbagai jenis monyet tapi mempunyai nama sendiri-sendiri. Ada orang utan, lutung, monyet hidung pesek, hidung panjang, dan banyak lagi.

"Foto dulu, yuk, Can." Ian mengeluarkan HP. Lalu tangannya bergerak cepat merangkulku.

"Senyum," bisiknya.

Aku tersenyum lebar.

Cekrek! Selesai. Ian kembali memasukkannya ke saku.

"Ian, tolong telpon kan Mas Aswin."

Ian membisu.

"Tolong telpon kan Mas Aswin, Ian. Aku ingin dengar suaranya."

Ian menarik napas panjang, berkata pelan. "Kamu benar-benar mencintainya?"

"Tentu saja!" sahutku cepat. "Memangnya ... buat apa aku kabur jika bukan untuk memperjuangkan cinta kami?"

Ian tertegun. Mungkin aku salah, tapi, aku melihat ia terlihat begitu kecewa.

"Besok, ya?"

"Kenapa?" Aku memandangnya penuh rasa ingin tahu.

"Banyak pesan yang belum kuhapus, takut kamu membacanya," sahutnya sambil memajukan tubuh, tangannya menyentuh keterangan dengan foto mirip seekor monyet yang kini diperhatikannya.

"Bekantan," kata Ian saat matanya tertuju pada foto monyet berhidung panjang dengan rambut coklat kemerahan. Oh, jadi monyet-monyet itu namanya bekantan? 

Ian meraih makanan yang tadi dibeli di pintu masuk Ragunan, lalu mengulurkan ke arah bekantan yang bergelayutan di terali besi. Satu tangan menggelayut di terali besi, satunya lagi terulur ke arah Ian, dengan cepat menyambar makanan yang disodorkan.

"Bukannya nggak boleh kasih makanan?"

Ian menoleh. "Gak ketahuan."

"Ii-aan."

Ian tertawa kecil. Masih sambil bergelayutan, si bekantan mengunyah makanannya. Begitu habis, tangannya langsung terjulur keluar kandang, Ian kembali mengulurkan makanan. Si bekantan segera memberikannya pada bekantan lebih kecil yang bergelayutan di sampingnya lalu tangannya kembali terulur. Lucu sekali. Aku tersenyum senang.

Berbeda denganku yang begitu girang, Ian malah sebaliknya. Wajahnya nampak sedih dan tersiksa. Tangannya bergerak cepat mengusap sudut mata. Kuperhatikan ia lekat-lekat. Apa yang membuat Ian begitu terpukul? 

Tatapanku berganti-ganti pada Ian dan bekantan yang kini nampak begitu akrab. Ian memberi, si bekantan segera menerima dengan tak sabar.

"Kamu nggak papa?"

Ian mengusap matanya. "Ah, enggak. Yuk, ke sana." Ian melingkarkan tangan ke bahuku. Ingin segera menepis, tapi tak tega. Ian sepertinya sedang sangat sedih.