10
Kami duduk santai di balkon, menatap langit yang terang. Sesekali Ian bersiul. Aku sendiri sejak tadi hanya diam, begitu salah tingkah. Ingin memulai pembicaraan, tapi bingung mau mengatakan apa.

"Jangan diulangi lagi, Can." Ian akhirnya menoleh padaku, berkata dengan suara pelan.

Aku tersentak saat tangan Ian menyentuh pelan jemariku. Segera kutepis. 

"Aku kebingungan mencarimu ke mana-mana. Jika kamu hilang, pasti aku yang disalahkan."

Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Tentu saja Mas Aswin akan menyalahkannya. Mas Aswin pernah bilang, aku satu-satunya gadis yang membuatnya semangat menjalani hidup.

Hening. Entah mengapa jadi begini tak nyaman.

"Can ...."

Aku menoleh sekilas. "Ada apa?" Benar-benar tak nyaman. Bagaimana ini?

Ian tersenyum. Mencipta dekik indah di sepasang pipi mulusnya. Sepertinya, Ian juga sedang salah tingkah.

"Dari tadi diam aja, masih ngambek?" Ia terus menatap. Semakin membuatku malu saja.

Hening lagi. Benar-benar sudah tak bisa merasa nyaman. Lebih baik ke kamar saja. Baru akan beranjak, tiba-tiba Ian menarik tanganku, membuatku kembali terduduk. Dada berdebar hebat.

"Suami seperti apa yang kamu harapkan?" Ian tak melepaskan pandangan. Aku melirik tangannya yang terus menggenggam lenganku. Ian buru-buru melepasnya, wajahnya yang memerah langsung memandang ke arah lain. Kenapa sih dia? Aku mengernyit. Malam ini ia aneh sekali.

"Seperti Mas Aswin." Aku menyahut lirih.

"Kamu beneran gak ingin pulang? Aku mendapat kabar, orang tuamu sangat cemas. Dan orang kampung terus mengolok-olok ayah ibumu karena kamu kabur dengan lelaki."

Jantung menghentak kuat. Bagaikan terciprat minyak panas, kaget dan rasa sakitnya terus membekas. Umi ... Abaah. Maaf, jika anakmu ini membuat malu. Maaf, tak bisa pulang untuk sementara waktu. Aku menarik napas, tiba-tiba merasa sedih. Umi ... aku rindu.

Ian menyentuh jemariku lembut, menatap tepat ke manik mataku. "Jika ingin pulang, aku akan mengantarmu." Suaranya lirih. Aku memandang jalanan yang ramai.  

"Siapa tahu, pilihan orang tuamu adalah yang terbaik, Can. Mau pulang, gak?"

Kutepis tangan Ian, tapi Ian kembali menggenggamnya. Kali ini cengkeramannya lebih kuat. Aku terus memberontak minta dilepaskan.

"Kalau dia jahat bagaimana?" Kuberi Ian pandangan sewot. 

Ian menelan ludah. "Mungkin ... dia orang yang baik. Menurutmu, aku baik gak?"

Aku memerhatikan wajahnya, kami saling menatap dalam diam. "Lumayan."

"Menurutmu ... aku ganteng gak?" Ian mengerlingkan sebelah mata, tersenyum jail. Apa ia barusan menggodaku? Anehnya, wajah ini malah menghangat. Ada desir aneh merayap dari dada menuju perut.

"Kalau calon suamimu seperti aku ... bagaimana?" 

Tatapannya terus terpacak ke mataku, begitu lekat dan dalam. Malu. Gerah. Lebih baik aku berpaling saja, memandang bintang yang bersinar cemerlang.

"Can?"

Saat menoleh, aku refleks beringsut menjauh karena jarak Ian telah begitu dekat denganku. Angin malam menampar wajah. Jilbab panjangku berkibar ke sana-kemari.

"Sini, kubuka perbanmu." Ia meraih tangan kiriku. Aku memandang ke arah lain. Jarak yang begitu dekat, semakin menggulirkan perasaan tak tenteram. Dada berdebar keras. Jantung berdegup aneh. Kenapa bisa begini? Aku menyentak napas. Sadar, Lutfi. Kamu sudah punya Aswin. 

"Udah."

Lagi-lagi, tatapan kami bertabrakan. Aku buru-buru menunduk, memerhatikan pergelangan tangan. Luka sudah mulai mengering. Kulit yang mengelilingi bekas luka yang keputihan agak mengerut. Apakah ini akan membekas?

Menunduk terus, membuat leher terasa kaku. Sementara Ian sepertinya masih memandangku. Pelan, ia mulai bersenandung. Lalu bertepuk tangan kecil.

Pertama ku mengenalmu ...
Dan tahu siapa namamu ...
Saat ku lihat dirimu ...
Bersenandung rindu ...

Perlahan aku mulai menatapnya. Ya ampuun, cara matanya melirik, senyum yang tersungging indah di bibir, dekik kecil yang membuat ia tampak manis, rambut yang berkibar ringan mengikuti arus angin ... Sungguh, tak kuasa aku berlama-lama menatap Ian. Ada yang mulai tak beres di dalam sini. Berdebar ... dan berdetak aneh.

Tak tahu apa sebabnya ...
Hatiku telah kau curi ...
Mungkinkah ini terjadi ...
Kau sambut cintaku ...

Entah mengapa, aku merasa lagu yang ia nyanyikan dengan wajah begitu menghayati untukku. Menggeleng, aku menepis rasa tak benar ini. Ingat, Lutfi. Kamu pacar Aswin, yang sedang berjuang agar bisa menikahimu.

Bahagia hati ini ...
Bila dapat berdua denganmu ...
Kuterbuai angan-angan ...
Lihatlah bintang yg disana ...

Tangan Ian menunjuk ke udara. Pada langit yang terang bertabur bintang. Tatapannya menerawang.

"Pasti lagu barusan untuk pacar atau istrimu, kan?"

"Buatmu."

"Buatku?"

"Iya."

Ah, Ian lagi-lagi sengaja menggoda. Aku mencoba bersikap normal, mengacuhkan dada yang terus berdebar aneh.

"Apa anak kecil itu ....” Aku ragu-ragu. “Anak kalian?” tanyaku dengan suara nyaris berbisik. “Dia istrimu, ‘kan?"

Ian membisu. Semilir angin membuat rambutnya berantakan. Rahangnya mengeras. Dalam hati berdoa, semoga Ian tak marah lagi.

"Atau ... Apa dia pacarmu?" Pasti, Ian mengira aku lancang. Ah, biarlah. Dia dulu yang mengorek kehidupan pribadiku dengan terus membujuk pulang.

Ian tiba-tiba tergelak. Matanya sedikit menyipit, terlihat sedang meremehkanku. "Apa kamu masih berpikir aku cowok murahan, Can? Astagaa, Caan. Aku gak bakal mau menanggung dosa hanya untuk kenikmatan sesaat. Aku gak sehina itu." Tangannya bergerak cepat menjitak kepalaku. Lalu menarik hidungku.

Aku tertegun memandangnya. Sungguh tingkahnya barusan sangat mirip dengan Al. Seperti kebiasaan Al padaku dulu.

Ian menunjuk kepalanya dengan jari telunjuk. "Di sini, masih ada akal sehat."

Kok, seolah jadi aku yang bersalah. Ya sudahlah, lebih baik mengangguk, biar ia puas.

"Dia pacarku. Itu anaknya dengan suaminya yang sudah meninggal."

Aku menghela napas. Ooh, jadi hanya pacar? "Di mana dia sekarang?" Aku semakin penasaran. Apa kamu adalah Al, Ian?

"Aku gak tau ke mana dia pergi. Yang jelas, dia memilih meninggalkanku karena orang tuaku gak merestui kami. Jadi, aku bisa apa? Memperjuangkannya? Tak mungkin bisa, jika salah satunya tak mau."

Aku mengangguk-angguk. Ian jadi terlihat sangat sedih, aku jadi tak enak hati. Ingin menghibur, tapi bingung cara melakukannya. Kalau sesama perempuan enak, tinggal peluk sambil usap-usap pelan rambutnya. Kalau cowok ... tentu bukan mahram, dosa. Tiba-tiba dada terasa sesak saat ingat pernah mencoba bunuh diri. Di pesantren bertahun-tahun, tapi dengan mudah tergoda bujuk rayu setan. Kalau sampai mati, pasti aku takkan pernah mencium bau surga. Gusti Allah, ampuni hambamu ini.

Ian menoleh. "Setiap Minggu aku libur. Mau kuajak ke Ragunan, gak, besok?"

"Naik mobil?" 

Ian menggeleng. "Motor."

"Apa mobil di bawah hanya untuk pajangan?"

Ian tergelak. Tangannya serta-merta menarik hidungku. Langsung kutepis dan melotot. Dulu, Al sangat senang menggodaku dengan iseng menarik hidung jika aku sedang cemberut, menarik ujung jilbab, menepuk jidatku. Kenapa tabiat Ian sangat mirip dengannya? Ah, mungkin memang hanya kebetulan mirip. 

"Gak buat pajangan, kok. Hanya saat libur atau keluar kota saja aku menggunakannya. Aku gak suka macet. Lebih baik naik motor atau kendaraan umum, santai dan bebas mau ngapain aja."

"Yakin itu alasannya? Jangan-jangan ... kamu gak bisa mengendarai mobil," sahutku tak percaya.

"Mobil itu yang membawamu dari kampung ke sini, Can. Siapa lagi yang menyetir jika bukan aku? Yang benar aja." Ia menatapku sambil cemberut. Aku tak kuasa untuk tak tertawa. Dasar dokter suka merajuk. Duh, lucu sekali ekspresinya.