***
Suara adzan saling bersahutan, menggema memecah keheningan pagi.
Disusul suara ayam jago tetangga yang ramai berkokok.
Suara alarm dari ponsel ketiga anak Emak beserta menantunya terdengar nyaring seakan beramai-ramai ingin membangunkan mereka.
Waktu menunjukkan pukul setengah lima pagi. Emak masih duduk bersimpuh dengan mengenakan mukenah, diusap wajah berkerutnya dengan kedua telapak tangan setelah menjawab adzan, beliau baru saja menyelesaikan ibadah sholat tahajud, berlanjut mengaji, hingga adzan shubuh berkumandang. Hal itu adalah kebiasaan Emak sejak sekian lama, beliau istiqomah berdoa di sepertiga malam untuk mendoakan kebaikan seluruh anggota keluarganya. Doa utama dalam tangisnya adalah mendoakan supaya sang kekasih yang telah berpulang mendapatkan kemuliaan di alam barzah.
Sementara ketiga anak Emak masih di kamarnya.
Saidah terbangun mendengar suara alarm dan adzan yang menggema. Semalam, ia tidur di kamar bersama Amelia-- putri keduanya--yang beranjak remaja, kini Amel berusia 14 tahun. Sedangkan Rozak, tidur di ruang tamu bersama Alfan Alaika Rahman-- putra sulungnya-- yang kini duduk di bangku perkuliahan semester akhir. Selain Rozak ... Hamdan, dan Abdul Malik pun tidur bersama putranya di ruang mbale(ruang tamu) rumah Emak yang luas digelari karpet tebal. Semua kursi, telah ditaruh di luar untuk keperluan acara selamatan kemarin.
Sementara Halimah, masih di kamar bersama Fahira Jihan--putri tunggalnya-- yang seumuran dengan Amel.
Rumah Emak bangunan joglo yang amat luas, orang menyebut rumah Emak adalah Omahe Wong Sugih jaman biyen(rumah orang berada jaman dulu). Ruang tamunya hampir setengah dari luas bangungan, bisa dibilang, ruang tamu ini lebih luas dari bangunan rumah tipe 36. Karena orang jaman dulu menjadikan ruang mbale sebagian ruang berkumpul anggota keluarga, sedang sebagian lagi tanpa sekat apapun dijadikan lumbung padi, dan jagung hasil panen. Lantai rumah Emak bukanlah lantai mengkilat ala keramik kekinian, melainkan tekel berukuran kecil, yang lapisan bawahnya semen.
Kamar rumah emak ada empat, dua kamar di sisi kanan, dua kamar di sisi kiri sedang di tengahnya ada ruang tengah sekaligus sebagai jalan menuju dapur dan kamar mandi.
Emak berniat membangunkan ketiga anaknya. Namun, ternyata ketiga putrinya telah bangun dan mereka gegas menuju mbale untuk membangunkan suami beserta putranyanya masing-masing. Mereka berniat menunaikan sholat shubuh berjamaah di ruang mbale.
**
Sementara Shofiyah, dan Jamal pun tak jauh berbeda. Dia telah terbangun mendengar suara adzan, dan gagas membangunkan suaminya. Mereka tak ikut sholat berjamaah di rumah Emak, melainkan sholat jamaah berdua di rumah. Setelah selesai sholat mereka berdoa untuk bapak.
Sesuai kesepakatan semalam, pagi ini mereka akan mengaji bersama di rumah Emak. Ngaji al-qur'an simak'an(ngaji berurutan ayat dan suratnya, dilantunkan secara bergiliran).
Shofiyah dan Jamal, menuju ke rumah Emak untuk bergabung mengaji bersama ketiga kakaknya. Kedua putra kecilnya yang masih lelap di kasur, ia tinggal ke rumah Emak bersama suami. Toh nanti jika si bocil bangun, dan melihat ibunya tak ada di rumah, bocil itu sudah paham jika ibunya berada di kediaman Si Mbah.
**
Kini, kesemua anggota keluarga berkumpul, anak, menantu beserta cucu Emak berkumpul memenuhi seisi Mbale sembari memegang kitab suci dengan bermukenah lengkap, sedang menantu dan cucu lelakinya memakai baju taqwa serta sarung. Lagi-lagi, Emak menitikkan air mata haru, terenyuh akan keadaan. Dalam hatinya berkata, "andai bapak masih ada, seisi ruangan ini akan terasa jauh lebih lengkap."
***
Setelah selesai mengaji, para wanita biasa berjibaku di dapur Emak nan luas beralaskan tanah liat. Namun, bersih dan rata.
Di dapur Emak, masih ada pawon semen, untuk memasak dengan kayu bakar. Hal itu membuat aroma masakan terasa lain dari yang lain. Aroma utama berasal dari sedapnya masakan, aroma kedua berasal dari sentuhan cinta tiada tara dari seorang ibu.
Keempat putri Emak sibuk berjibaku di pawon dengan tugas masing-masing, ada yang membuat pisang goreng. Ada beberapa tundun pisang di dapur, berasal dari sanak kerabat kemarin. Selain membuat gorengan, ada pula yang bersiap merebus air untuk membuat wedang kopi, jahe, serta teh. Emak tak diperkenankan******pawon. Keempat putrinya melarang hal itu. Emak duduk di teras saja. Sembari bercengkerama dengan cucu-cucunya.
Amel memijit punggung Si Mbah, sedangkan Jihan memijat betis dan telapak kaki beliau. Suasana pagi yang syahdu dan tentram. Sama ramainya dengan suasana hari raya, hanya saja kali ini keriuhan dan keceriaan ini, masih berselimut duka.
***
Setelah masakannya siap, mereka menyantap hidangan pagi itu sembari ngobrol ngalor-ngidul. Tak menyia-nyiakan moment langka ini untuk saling berbagi kebahagiaan.
"Nduk, Sopiyah! Beras-beras di mbale itu, 'kan ada buwanyak. Tolong nanti kamu wadahi sama Jamal. Dibagi wadah dua puluh lima kilo an. Nanti dapat berapa ... dibagi rata dengan semua dulurmu!" ucap Emak pada Shofiyah.
Beras hasil dari pelayat jumlahnya cukup banyak. Meski sudah dipakai berkatn. Namun, di mbale masih ada beberapa karung beras. Ditambah lagi, dengan beberapa karung yang berisi gula.
Di desa ini, pelayat biasa membawa beras ataupun gula untuk orang yang berduka. Semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin banyak pula beras yang dibawa. Ada yang biasa membawa sebatok, sebutan untuk berasa sekitar 1 kilogram. Ada yang membawa beras seter, hampir setara dengan dua kilogram beras, ada pula yang membawa segantang, setara dengan empat kilogram beras.
"Mboten usah, Mak! Berasnya buat di rumah, buat kebutuhan Emak saja," balas Saidah.
"Nduk, Mak pengen ngasih ke anak-anak Emak. Anggaplah beras itu doa dari Emak. Doa itu ndak boleh ditolak, Nduk!"
***