BAB 5 Selingkuh Pertama sesudah menikah

Hati itu, seperti kaca...
Jika kau lempar kaca itu, maka kaca itu akan pecah,
Porak poranda...

----------------------

Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana rapuhnya kondisiku saat itu. Saat awal kehamilan, Mas Ali memang jarang pulang, dia beralasan pergi ke luar kota karena diajak temannya berbisnis makanan ringan.
Aku yang bersyukur Mas Ali kembali mendapatkan pekerjaan, percaya saja dia pergi. Tapi, hati wanita memang lebih peka.

Kecurigaanku semakin menjadi, dikala Mas Ali selalu menerima telepon dari seseorang, yang dia katakan temannya. Ketika dia di rumah, dia selalu mengangkat telepon menjauh dariku. Dengan alasan, hilang sinyal.
Awal kecurigaanku semakin menjadi, ketika aku menerima telepon di hapenya. Nomor tersebut tidak Mas Ali simpan di nomor kontak. Tapi sering terlihat pada riwayat panggilan.

Ku terima nomor telepon tidak di kenal tersebut. Namun hanya diam yang aku terima. Orang di seberang sana tidak ada menyahut panggilanku. Saat aku tanya Mas Ali, 'itu dari siapa?' dan Mas Ali menjawab, itu teman bisnisnya.

Hatiku semakin curiga dengan gelagat dari suamiku. Sampai akhirnya, aku menemukan bukti, bahwa Mas Ali memang berselingkuh. Dari isi pesan-pesan orang tersebut pada Mas Ali.

Kucari pesan keluar di ponselnya, ternyata semua pesan sudah dihapus oleh Mas Ali. Rasanya, sulit untukku bernafas. Seolah aku berada di ruangan hampa udara.
Ada gemuruh di dalam dadaku, namun masih kuat untukku tahan. Harusnya kehamilanku membuat duniaku saat ini berbahagia, tapi malah sebaliknya. Tubuhku seperti dihantam godam besar.

Aku kembalikan posisi ponsel Mas Ali seperti sedia kala, agar dia tidak merasa curiga padaku. Saat itu Mas Ali sedang berada di kamar mandi. Sehingga membuatku leluasa membuka ponselnya.

"Kamu mau kemana Mas?" tanyaku sambil menyenderkan tubuh ke pinggir kasur.

"Mau pergi, teman ngajak aku buat nemani dia buat ngurus cafe. Katanya dia mau buka cafe..." jawabnya sambil berpakaian.

"Owh... Tadi ada yang telepon kamu," ucapku seperti cuek.

"Siapa?" tanya Mas Ali berbalik padaku.

"Nggak tau Mas, pas aku angkat nggak ada suaranya, terus nomornya juga ga dikenal," jawabku jujur. 

"Owh, paling teman aku, Mah, aku pergi dulu ya... Doain... Mudahan usahanya lancar," selalu Mas Ali mengatakan seperti itu padaku.

"Amiiin..." kujawab hanya dengan mengamini.

"Berangkat ya, Assalamualaikum...." sahutnya.

"Waalaikum salam...." jawabku dari kamar. Aku malas untuk mengantarnya keluar.

Apa yang sedang Mas Ali lakukan? Apa Mas Ali berbohong padaku? Aku mencoba bersabar menutupi semua. Sampai aku tau siapa perempuan mana yang sudah tertarik dengan Mas Ali.

Sebegitu terlalunya Mas Ali sudah menduakanku, disaat aku sedang berbadan dua. Kali ini aku mencoba tegar menghadapi tingkah laku Mas Ali yang tidak jera-jeranya bermain api dibelakangku.

Ini memang bukan pertama kalinya Mas Ali berselingkuh. Sebelum menikah, saat kami berbapacaranpun, Mas Ali juga pernah berselingkuh.
Entah berapa kali, terkadang aku menjadi muak dengan kelakuannya. Kupikir dia sudah jera dengan perselingkuhannya yang terakhir, seminggu sebelum akad pernikahan kami di gelar.

Atau memang aku yang terlalu bodoh, selalu memaafkan kesalahannya itu padaku. Aku hanya bisa meratapi nasib saat ini. Tidak mungkin bagiku mengajukan cerai tiba-tiba, ketika perutku sudah mulai membesar.

Aku hanya diam memandang televisi dihadapanku. Namun aku terbenam pada pikiran, bukan pada tayangan televisi.




Komentar

Login untuk melihat komentar!