Ibarat air yang jernih, belum tentu tak berbahaya.
Begitu pula rumah tangga.
Semakin kau menaiki anak tangga,
Maka semakin besar keberanian yang harus kau keluarkan
-----------------------
Rumah tanggaku tidak semulus jalan yang beraspal. Aku hidup dengan jalan yang berkerikil tajam, namun adapula batu besar yang menghadang di depannya. Selama pernikahan, cobaan demi cobaan sudah kami lalui, nikmatnya hidup pun, sudah kami rasakan.
Sampai akhirnya, aku merasakan nikmatnya kehamilan pertama. Semua kebutuhan untuk bayi dalam kandunganku terpenuhi. Masa mengidampun, sudah aku rasakan. Aku terus bekerja, agar kebutuhan terpenuhi.
Bersyukur pada kehamilan pertamaku, hanya pada semester pertama aku merasakan mual dan mabuk. Sampai mendekati cuti melahirkan, aku masih giat dalam pekerjaanku. Sampai akhirnya aku melahirkan, pikiranku menjadi terpecah. Antara rumah tangga, anak dan pekerjaan.
Pekerjaanku menjadi korban, hampir setiap hari aku terlambat bekerja, bukan tanpa alasan. Aku harus mengurus keperluan bayiku sebelum ku titipkan.
Sampai pada suatu hari, anakku yang masih bayi mengalami demam tinggi.
Aku mencoba fokus untuk memberinya obat demam dan melihat kondisinya sampai tiga hari. Namu pada hari ketiga, demamnya masih belum turun juga.
"Yah... Gimana ini? Si dede, panasnya belum turun juga," kataku pada Suami.
"Kita urut dulu gimana?" tanya suamiku yang masih ragu mengambil keputusan.
Dan aku bukan orang yang faham dengan kepercayaan dulu. Bagiku, anak demam tiga hari, artinya sudah ada sesuatu di dalam tubuhnya.
"Kita bawa ke dokter dulu," kataku pada suami.
Awalnya suamiku kurang setuju dengan pendapatku, dia takut anakku harus dirawat. Tapi aku takut jika anakku terlambat dalam perawatan, maka akan membahayakan kondisinya nanti. Kami lalu pergi ke praktik dokter anak, namun dokter spesialis yang aku cari, ternyata sedang pergi ke luar kota. Dan baru nanti malam akan tiba.
Akhirnya harus kuputuskan untuk membawa anakku ke rumah sakit. Cobaan yang ke sekian sudah aku lewati, namun cobaan tersebut tidak sampai disitu. Karena kondisi rumah tanggaku yang tidak stabil, akhirnya aku memilih untuk berhutang kepada teman, yang juga sebagai jasa peminjam uang berbunga. Pilihan itu tidak mudah aku lakukan begitu saja.
Apalagi, aku harus membayar biaya rumah sakit, karena ketika itu, anakku yang sempat terserang demam tinggi. Hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Akhirnya, aku harus merelakan setengah gajihku untuk potongan biaya perawatan.
Karena saat itu, walaupun aku memiliki kartu anggota jaminan kesehatan dari pemerintah, namun rumah sakit tempat anakku dirawat, tidak menyediakan layanan tersebut.
Gajihku seluruhnya habis untuk menutupi hutang dan biaya cicilan rumah sakit anakku. Untuk biaya kredit rumah, aku masih berharap dengan bantuan dari orang tuaku. Aku makin tidak karuan dengan kondisi saat itu.
Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk resign dari pekerjaan. Dan meninggalkan cicilan biaya rumah sakit yang masih belum mampu kulunasi hingga sekarang.
Mas Ali yang baru membuka toko kelontong, dengan terpaksa toko kelontong yang dijalankan oleh suami dan aku pun tidak mampu bertahan lama.
Sulitnya mendapat keuntungan, membuat kami tidak mampu memutar modal. Sedangkan rentenir hampir setiap merongrong, mendatangi toko kami. Sampai akhirnya kami memilih untuk gulung tikar permanen.