Bab 2
.
Baru keluar dari kamar mandi, saat terdengar suara denting pesan masuk. Sambil mengacak rambut yang masih basah, aku meraih hape di atas ranjang.
WA dari Darra. Dia menyebutkan nama alamat di sebuah kota. Lumayan. Jarak sekitar dua jam dari sini. Setelah kutelusuri di google ternyata itu alamat sebuah kafe.
Hmm, di kafe? Mataku menyipit.
[Dateng ya, Bang?] Bahkan dia memakai emoticon kiss di akhir chat-nya.
Aku mengulum tersenyum.
[Dara di sana juga nggak?] Balasku sambil menyelipkan emot keluar air liur.
[Dih, emotnya. ]
Aku tertawa. [Belum dijawab pertanyaannya]
[Iya. Sama temen-temen Dara yang jadi admin di page itu.]
[Temennya cewek semua?]
[Enggaklah, cowok semua]
[Ah, males]
[Dasar ganjen, iya iya cewek semua]
[Nah gitu dong, kan jadi semangat. Jam berapa?]
[Jam 1 siang diharap udah pada ngumpul sih. Kalo bisa bawa baju ganti. Bakal nginep beberapa hari.]
[Wow. Nginep di mana?]
[Ada deh. Dateng aja dulu. Nanti dibahas sampe jelas sejelas-jelasnya.]
[Bagusan nginep di hotel. Game-nya dikurung berdua sama admin semaleman.]
[Ih, Bang! Dasar jones]
Aku tertawa lagi. Lalu melempar hape kembali ke ranjang. Melangkah ke arah jendela, menatap pemandangan di luar sana. Di mana terlihat barisan mobil merayap pelan di jalan raya sementara para pejalan kaki berjalan beriringan di tepi trotoar.
Sesaat hanya menikmati suasana pagi sampai akhirnya terdengar lenguhan halus seseorang.
"Mmm ... udah mandi ya, Bang?
***
Sekitar jam 10 siang aku keluar. Mengenakan kemeja hitam dibalut jaket dan celana jeans belel. Membawa ransel berisi beberapa pakaian dan hal-hal yang kurasa penting.
Lalu meluncur di tengah keramaian jalan raya.
Kota tempat pertemuan kami bukanlah kota besar tapi lumayan cantik. Kota yang cocok untuk liburan dan bersenang-senang. Banyak hotel murah, juga penginapan-penginapan yang berada di pinggiran kota yang berupa perbukitan. Beberapa kali aku datang ke sana. Kadang bersama seseorang, kadang bersama beberapa teman. Jadi bisa dibilang, aku sudah cukup hafal jalanan di sana.
Cuaca terik cukup mengganggu. Aku benci gerah. Beberapa kali berhenti di tepian jalan untuk melepas lelah dan minum-minuman segar.
Hampir jam dua aku tiba di tempat perjanjian.
Kafe kecil yang tidak terlalu ramai. Berornamen minimalis dengan dinding berbentuk jajaran bata merah. Musik bernuansa lembut langsung menyapa telinga.
Di sebelah sana, terlihat sekitar 7 orang berkumpul. Seperti yang admin itu bilang, bahwa tiga orang dari admin yang datang akan mengenakan bandana berwarna merah. Salah satunya adalah wajah yang cukup kukenal.
Dara.
Aku melangkah mendekat. Beberapa dari mereka menoleh, menyadari ada seseorang yang datang.
"Maaf, telat!" Aku tersenyum.
"Aah, Bang Petra ya?" Dara sedikit melebarkan mata.
"Ya," jawabku.
"Silahkan duduk!"
Aku mengambil tempat yang tersisa.
Dari sini bisa kulihat wajah-wajah baru yang sama sekali belum kukenal selain Dara. Para admin yang semuanya perempuan itu memperkenalkan diri. Pertama Dara, gadis berdarah timur tengah dengan ukuran sangat pas. Lalu Maya, gadis berambut keriting sebahu, berwajah serba mungil dengan kulit seputih susu. Ukuran tubuhnya tidak terlalu enak dilihat. Serba kecil. Terakhir, Renata. Gadis berwajah tegas dengan rahang persegi. Mata menyorot tajam menunjukkan kecerdasan tinggi. Sama sekali bukan tipeku, karena biasanya gadis seperti itu lumayan pembangkang dan keras kepala.
Ketiganya punya wajah di atas rata-rata.
Sementara 4 pemuda duduk di sisi sofa yang berbeda dengan usia rata-rata 20-25. Ada yang bertampang anak mama, tapi ada juga yang terlihat sangat arogan.
Renata berdehem, baru akan membuka suara saat salah satu dari kami mengangkat tangan tanda interupsi.
Gadis bertampang judes itu menoleh kesal. "Ada apa?"
"Kenapa cuma ada 5 orang? Pas inbox bilang ada 10, lima cewek lima cowok makanya gue tertarik. Kalo kaya gini sih ... gue ogah!"
Alay!
"Lima cewe ketemu di tempat yang berbeda," sahut Renata.
"Yaah ...!"
"Bisa diterusin nggak?" Si jutek jadi tambah kesal.
Karena yang lain hanya diam, jadi dia kembali meneruskan penjelasan.
Kulihat, Dara berkali melirik ke arahku. Lalu cepat memalingkan wajah saat melihatku mengangkat alis, menggoda.
Hingga pada ujung kalimat Renata, akhirnya mereka menyebutkan nama tempat lagi. Kami akan dibawa ke sana dengan sebuah mobil. Sementara motor akan dibawa oleh team mereka dengan perjanjian sebelumnya.
Cara mereka cukup meyakinkan dan bisa dipercaya. Cukup menarik. Tapi entah nanti bagaimana game-nya. Semenarik para adminnya, atau ... datar.
Renata terlihat beberapa kali melirik. Aku tahu arti tatapan itu. Tatapan mencoba mengukur otak lawan. Kemudian dia mendengus saat aku mengedipkan mata padanya.
Sekitar setengah jam kemudian kami digiring keluar.
Menuju sebuah mini van berwarna hitam. Saat masuk ke dalam dan sudah siap di bangku masing-masing. Dara dan dua adminnya mendekati para gamer satu persatu. Sambil membawa tali serupa bandana di tangan mereka.
"Ngapain?" Aku menahan tangannya saat dia bersiap mengikat menutup mataku.
"Nggak boleh ngintip perjalanannya ke arah mana." Dia berbisik, hembusan napasnya menerpa sebagian telinga.
"Kek narapidana mau dihukum mati." Aku tersenyum miring, "mati enak."
"Memang cowok-cowok piktor kaya kamu seharusnya cepet dieksekusi." Dia melotot.
"Eksekusinya bawa ke pelaminan."
Mata lentik Dara semakin melebar, tapi bibirnya mengulum senyum.
"Dara, cepetan!" Seru Renata dari balik pintu.
"Iya, Kak!" Dara segera sadar.
Lalu dia segera melingkarkan tali kain di tangannya melingkari kepalaku. Kini gelap. Tapi masih bisa kurasakan dengus napasnya.
"Gelap. Boleh pegangan nggak?" Aku bertanya.
"Pegangan aja," jawab Dara sambil mengikatkan tali di belakang kepala.
Lalu aku memegangnya.
"Bang Petra!!"
.
Nxt