Bab 3


       Aku merasa tarikan jemari Dara di ujung hidung. Sementara jemariku sedikit diremas keras oleh tangannya yang satu lagi. 

"Ganjen!" bisiknya sambil mengeratkan ikatan penutup mata di belakang kepalaku. 

"Dara," panggilku.

"Apa?" Dia sedikit ketus.

"Umur berapa?" 

"Rahasia."

"Boleh nebak nggak?"

"Tebak aja."

"24."

Tak ada sahutan. Bahkan dia menarik kedua tangannya dari belakang kepalaku, ragu. Reaksi yang biasanya terlihat saat mendengar tebakan tidak terprediksi. Wajahnya memang terlihat seperti gadis berusia sekitar 20 tahunan, tapi aku cukup berpengalaman masalah menebak diri seseorang.

"Boleh tebak lagi?"

"Hmm ...."

"Sering maenin hati."

Dia terdiam lagi.

"Lagi?"

Tak terdengar jawabannya.

"Suka maen kasar." Aku menahan senyum. 

Kurasakan tamparan pelan. Lalu dia menyentak tubuh menjauh dari pangkuan. Terdengar pintu mobil ditutup. 

Suara-suara para gadis itu membicarakan sesuatu di dekat mobil. Ternyata mereka naik ke mobil yang berbeda.

Mesin mobil menyala. Lalu bergerak meluncur keluar halaman kafe.

Di sini, dengan mata tertutup kain, aku mulai memperhitungkan. Menghitung apa saja. Gerakan, suara, juga setiap menitnya. Butuh konsentrasi. Bagusnya si sopir menyalakan lagu yang aku hafal berapa menit waktu putarnya. Sengaja tidak menyandarkan punggung agar aku bisa merasakan berbelok ke arah mana. Kiri, atau kanan.

Di lagu ke lima, aku sudah tak mengenal lagi daerah yang kami tuju. Sudah keluar dari peta di benakku. Tapi terakhir yang aku tahu, kami meluncur ke arah daerah perbukitan. Aku tahu nama daerahnya, tapi sama sekali belum pernah ke sana.

Daerah yang dipenuhi pepohonan lebat, dengan air terjun di dalamnya. Kurang begitu menarik, karena itu tempat wisata ini kurang begitu terkenal walau harga masuk lumayan murah.

Terdengar suara gas mobil semakin berat, menandakan kami tengah dalam posisi menanjak jalan yang cukup terjal. 

Sesekali terdengar lenguh kerbau di pinggir jalan. Suara angsa, motor, dan mesin-mesin traktor. Tapi setelah beberapa lagu kemudian, jalanan benar-benar hening. 

Kicau burung hutan hanya satu-satunya suara yang kudengar selain musik dan deru mesin mobil.

Tak kudengar satu pesertapun yang berbicara. Sepertinya mereka juga tengah berkonsentrasi menebak arah tujuan kami.

Hingga akhirnya terasa mobil berbelok ke kiri. Tubuh kami melonjak-lonjak pelan, menandakan bahwa saat ini ban tengah beradu dengan hamparan batu. Khas pedesaan. 

Desa, yang sangat sunyi.

Mobil semakin melambat. Lalu akhirnya getaran mesin benar-benar berhenti. 

Kami sampai?

Kami masih diam. Suara tape mobil dimatikan, lalu suara sang sopir membuka pintu dan setengah membanting saat menutup lagi.

Suara mobil satu lagi menyusul. Berhenti tepat di sebelah mobil kami.

"Ah, kesemutan gue!" Terdengar keluhan. Suara pemuda, mungkin berusia sekitar 20 ke bawah. Gaya bahasanya menunjukkan gaya khas bocah. Bocah alay fesbuk. Mungkin penggila meme-meme unfaedah yang bertebaran di page-page ber-admin alay.

"Lama banget cewek-cewek itu!" Keluhan terdengar lagi dari posisi yang lain.

Suaranya terdengar lebih dewasa. Tapi menggambarkan sifat laki-laki yang mulutnya penuh dengan kata-kata sindiran dan cibiran. Biasanya suara dan nada suara yang seperti itu menandakan si pemilik suka melayani adu mulut dengan perempuan.

Terdengar suara pintu mobil dibuka oleh seseorang.

"Ayo turun!" perintah seseorang, dari suaranya aku bisa menebak bahwa itu Renata.

"Buka dulu penutup matanya!" protes salah satu dari kami.

"Pusing gue merem melulu dari tadi!" Si alay menyahuti.

"Bisa dibuka sekarang nggak?" Satu lagi bertanya dengan suara cukup tenang.

"Jangan di sini! Masuk ke dalam dulu!" perintah Renata.

"Pliss deh, udah kaya tawanan!" celetuk si alay. Rupanya memang cerewet dia.

"Ini memang peraturannya!" sergah Renata kesal.

Seseorang membuka pintu tepat di samping tubuhku. Lalu sedikit menarik lengan jaketku keluar dari mobil. Tanpa mendengar suaranya pun aku tahu itu Dara.

Setelah aku berdiri di luar. Dia mengeluarkan para peserta yang lainnya. Hingga ke empat peserta sudah berjajar di dekat mobil.

Rasanya sedikit limbung karena terus menerus berada dalam kondisi mata tertutup rapat. 

"Sekarang, buka penutup matanya satu persatu!" perintah Renata entah pada siapa. 

Sebelum aku******belakang kepala, aku merasakan tangan halus seseorang membuka pengikatnya. 

Mataku sedikit menyipit, silau. Lalu mulai berkonsentrasi pada tempat di mana kami berada. Empat orang peserta lainnya terlihat melakukan sedikit peregangan otot. Akibat terlalu lama duduk diam di dalam mobil dengan posisi tidak sesantai biasanya. Beberapa peserta masih mengedip dan mengucek mata.

Jam di layar ponsel menunjukkan angka 15.45. Berarti waktu perjalanan tadi memakan waktu sekitar 2 jam. 

Kami berada tepat di halaman sebuah rumah besar berlantai dua. Rumah bercat abu-abu dengan lis hitam sebagian putih. Sepertinya bangunan baru. 

Sementara pagar tembok berukuran dua meter mengelilingi, dengan pintu gerbang besi tebal yang lebih tinggi. 

Tempat yang benar-benar tertutup. Mungkin jika tidak ada surat perjanjian bahwa keselamatan kami dipastikan aman oleh pihak penyelenggara, aku sudah berpikir tentang hal-hal yang mengerikan.

Lagipula terlihat satu orang berseragam polisi yang ikut berdiri menyaksikan kami saat ini.

Kami aman.

Hanya tinggal masalah game seperti apa yang akan dimainkan.

Terdengar suara berdehem.

Renata. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke wajah-wajah para peserta. Mengamati. Mengukur kemampuan mungkin. Lalu berhenti tepat ke mataku. 

Sesaat pandangan kami bertemu. Sama-sama tajam, tapi akhirnya dia mendengus dan berpaling setelah aku memajukan bibir seolah menciumnya.

"Aku rasa, nggak usah terlalu banyak basa-basi untuk permainan kita kali ini," ucap Renata dengan wajah tegas, "pertama yang ingin aku tanyakan adalah, apa di antara kalian ada yang berubah pikiran?"

Hening. Terlihat para peserta saling pandang satu sama lain. Kecuali aku. Pandanganku tetap ke arah wajah galak gadis di depan sana, tapi dalam hati menebak sesuatu.

"A ... aku!" Akhirnya terdengar suara. 

Semua pandangan menoleh ke arah suara terdengar. Terlihat seorang pemuda, berusia sekitar 23 tahun. Bertubuh kurus dengan wajah mulus terkesan anak mama. Tepat dugaanku.

Anak itu, mulai merasa cemas akan permainan ini.

Sebelah alis Renata terangkat saat menatapnya. Sebagai bahasa isyarat tengah menertawakan lemahnya nyali seseorang.

"Oke. Team kami akan mengantarmu pulang setelah ini!" Gadis itu mengangguk pasti, "silakan keluar dari barisan!" 

Pemuda berbaju putih itu melangkah keluar dari barisan peserta. Berdiri tak jauh dari Dara dan satu admin lagi yang aku lupa namanya. 

Sementara tak jauh dari Dara, terlihat dua orang berseragam khas kameramen sedang menyiapkan kamera.

Wow, ternyata mereka akan menampilkan acara ini secara live. 

"Dengar, kalian akan menginap selama tiga hari di sini. Dalam tiga hari itu, kalian akan diberi berbagai macam permainan. Bukan tantangan yang terlalu susah, hanya membutuhkan otak dan keberanian. Setiap tantangan akan menyisihkan satu orang yang kalah. Jadi semakin lama, jumlah peserta akan semakin sedikit. Hingga akhirnya kalian hanya tinggal dua orang. Salah satu dari antara dua orang itu yang akan pulang membawa hadiah sebagai pemenang. Sampai di sini, kalian mengerti?"

Renata mengedarkan pandangan lagi. Mencoba mencari tahu jika ada yang belum memahami kalimatnya.

Tak ada tanggapan. Semua diam.

"Apa permainannya?" Tiba-tiba terdengar suara.

Kami menoleh ke asal suara. Rupanya pria berwajah dewasa dengan badan tinggi besar dengan lengan berotot. Dari sorot tajamnya terlihat betapa dia tipe orang yang menyukai tantangan. 

Renata tersenyum, bukan senyum manis, cuma senyum sekedarnya.

"Tidak akan diberitahu apa permainannya. Cukup kalian jalani saja apa yang akan terjadi di dalam sana!" 

"Nggak adil!" celetuk si alay. 

"Itu terserah kamu kalau memang ingin mundur sekarang!" sahut Renata tajam.

"Oke, oke. Gue ikut aja!" Si alay mengangkat bahu dengan gaya khas bocah.

"Sampai di sini ada yang keberatan?!" Suara Renata tiba-tiba menyentak.

"Yaelah, rombongan ceweknya manaaaa ...?" Si alay lagi-lagi buka suara.

Tak ada jawaban. Lalu gadis itu menghela napas. 

"Baiklah, kalian boleh masuk ke rumah dan memilih kamar. Ada tiga kamar yang tersedia di sana, karena kalian berjumlah empat orang, kalian bisa membagi kamar dengan ada satu kamar dipakai bersama! Kami menyediakan waktu istirahat sampai menjelang malam. Setelah makan malam, grup cewek datang dan permainan dimulai!" Dia menepuk tangannya untuk beberapa kali, sebagai tanda briefing kami sudah selesai.

"Min!" Aku berseru menahan saat melihat gadis itu akan melangkah.

Dia berhenti.

"Para admin juga di sini?"

"Yang di sini cuma kalian para gamers. Bukannya udah bagus ada empat cowok dan lima cewek? Jadi si piktor bisa dapet dua cewek sekaligus!" sindir Renata tajam.

Sialan. 

"Kami akan datang di setiap jam 12 siang, untuk bertanya jika ada yang berniat mengundurkan diri!"

"Ayo kita pulang!" Renata memanggil Dara dan admin satunya untuk memasuki mobil. "Kamu, yang mengundurkan diri tadi, ayo ikut!" Panggilnya pada pemuda tadi.

Aku menahan lengan Dara saat dia akan melewatiku. Gadis itu setengah menyentakkan lengan sambil membulatkan mata ke arahku.

"Apaan sih?" Kesalnya.

"Temenin."

"Dasar genit!"

"Cuma sama kamu."

"Halah, sama banyak cewek!"

Aku mengangkat alis.

"Setiap bikin status yang komen cewek melulu! Genit!"

Aku tertawa. Sambil melepaskan cekalan di lengan halusnya. Membiarkan gadis berwajah ketimuran itu memasuki mobil khusus para admin yang disetir oleh Renata.

Pintu gerbang dibuka oleh pria berusia lumayan tua. Berambut memutih dengan tubuh berotot khas petani desa. Sepertinya dia salah satu pesuruh rumah ini. Entahlah.

Di luar sana, suasana benar-benar sepi. Jalanan hanya berupa jalan setapak yang dipenuhi rumput ilalang. Terlihat pepohonan besar, tak terlihat satu rumah pun di sekitar sini.

Pintu gerbang ditutup. Aku mengedarkan pandangan kembali ke rumah besar itu.

Ada yang berdesir di dalam sini. Terasa seperti sebuah firasat.

Firasat buruk.

.

Nxt

Komentar

Login untuk melihat komentar!