.
Malam menjelang larut.
Suasana rumah sepi. Sebagian lampu ruangan sudah dimatikan. Admin dan para team sudah tidur di kamar atas. Mereka terpaksa menginap, karena ban mobil yang tak juga ditemukan. Kasian.
Randy, cabe dan alay sibuk melakukan sesuatu secara diam-diam. Sementara aku berdiri bersandar di pintu kamar. Memperhatikan mereka.
"Bang, bisa gerak, kan?" Alay menoleh menatapku. Menyindir. Menyuruhku ikut membantu rencana mereka.
Dikerjai balas mengerjai. Itu prinsip mereka tadi. Jadi sekarang tiga orang itu sibuk mempersiapkan jebakan-jebakan konyol untuk para admin dan team yang bekerja.
"Mereka udah kelewatan. Nggak ada gunanya di sini kalo cuma jadi bahan tertawaan di FB." Si alay, yang dari awal terlihat paling dendam, kasih pendapat saat kami briefing tadi.
Dari hape-ku yang tak ikut tersita memang akhirnya kami tahu. Bahwa foto-foto kami jadi bulan-bulanan para pengguna medsos di luar sana. Foto Rendy dan si alay yang paling parah. Mereka berdua bahkan sudah jadi meme dengan berbagai caption lucu dan menggelikan.
Sesuai memang, dengan ekspresi mereka tadi.
Aku balas menatap pemuda itu saja. Tak juga beranjak dari pintu kamar. Si alay mendengkus kesal, tapi tak berani bicara macam-macam, lalu akhirnya memilih meneruskan kegiatannya.
Cabe paling gesit. Mengatur arah tali dan memastikan di mana tali-tali itu bisa terpasang sesuai rencana. Persis seperti sedang berencana menjebak binatang buruan.
Setidaknya aku sudah membantu menghalangi gerak cctv, jadi pergerakan kami malam ini, aman.
"Dah siap, semua," bisik Cabe dengan suara setengah berbisik, sambil matanya sebentar-sebentar menatap ke arah lantai dua. Takut ada yang terbangun.
Alay mengacungkan jempol ke arah pemuda itu. Sementara Rendy tersenyum licik, mungkin sedang membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
"Nah, lo sendiri dah siap belum?" Cabe menoleh ke arahku.
Aku menoleh. Lalu menunjukkan hape di tangan yang sudah siap merekam. Rekaman yang nantinya akan di-share ke FB juga sebagai balasan.
"Oke, sip! Siap semua, ya?" Cabe kasih aba-aba.
"Sip!" Alay mengacungkan tangan.
Aku mengangkat jempol, lalu kembali sigap mengarahkan kamera ke arah jebakan.
"Sebentar," sahut Randy. Laki-laki itu balik ke kamar. Kupikir mau melakukan apa, ternyata naik ke atas ranjang.
Okelah, paham jalan pemikirannya. Kalau misal jebakan kami berefek sebuah kemarahan, dia akan jadi terlihat si innocent yang tak tahu apa-apa. Well- keren juga nyalinya.
Selanjutnya, Cabe dan Alay mulai melakukan drama.
***
Suara ribut tepat di bawah tangga memecah keheningan malam. Cabe dan Alay saling dorong. Hingga menabrak beberapa perabotan rumah dan menimbulkan suara gaduh.
Sesuai perkiraan, mereka para admin dan team mulai muncul satu persatu.
Lampu dinyalakan. Suasana jadi terang benderang. Ruangan terlihat berantakan akibat perkelahian Cabe dan Alay. Pura-pura baku hantam.
Maya dan Dara menjerit kaget, apalagi saat Cabe meraih kerah baju Alay dan bersiap meninjunya.
Tiba-tiba saja si kameramen bertepuk tangan. Sementara Renata tertawa mengejek.
"Mau balas dendam, ya?" sinis Renata.
Ya, ya, aku tahu dia sepintar itu.
"Aktingnya kurang total, bodoh." Dia melanjutkan ucapan. Lalu saling pandang dengan kameramen. Kemudian sama-sama tertawa menghina.
Cabe melepaskan cengkeramannya di kerah Alay. Lalu mereka berdua mendongak dan tersenyum sinis.
"Memang tujuannya cuma mancing kalian keluar aja." Cabe membalas. "Karena jebakan sesungguhnya ada di atas kalian!"
Mereka mendelik, lalu secara refleks mendongak dan ....
Byurrrr!
Basah kuyub semua.
I love it.
.
Belum juga reda gelak tawa bercampur kemarahan, setelah para admin diguyur dan dikerjai habis-habisan, saat tiba-tiba Dara menjerit tertahan. Kali ini bukan karena jemariku.
Gadis itu tanpa sadar merangkul Renata yang kaget karena tingkahnya.
"Kenapa, Ra?" tanya gadis jutek itu heran.
Dara menatap kami satu per satu. Dadanya mulai turun naik. Wajahnya tegang.
"Kalian dengar, nggak?"
"Apa, sih?" Maya ikut mendekat, keliatannya mulai takut juga dia.
"Ada apa?" Kameramen ikut penasaran.
"Ada suara gebrakan di pintu gerbang." Dara menatap teman-temannya, serius.
Mereka saling berpandangan.
"Ah, drama lagi ini pasti! Gak bakal ketipu lagi gue. Dah males," ejek Alay.
"Terserah lo mau ngomong apa, tapi gue serius!" Dara mendelik. Merasa dianggap remeh.
"Mungkin salah denger," ucap Cabe. "Atau suara binatang liar sekitar sini."
"Bisa jadi," sahut Renata.
"Yaelah, penting gak sih, cuma masalah gebrakan doang. Yang mungkin juga itu karena halu?" Rendy menimpali dengan tampang malas.
"Udahlah, kita tidur aja. Udah jam dua malam, nih. Besok kan kita harus buat game lagi." Kameramen akhirnya memutuskan. "Dan gua harap rekaman sialan tadi udah lo hapus. Jangan sampai nyebar di FB atau kalian tau akibatnya." Lelaki berbadan tegap itu menatapku penuh ancaman.
Aku mengangkat alis. Lalu tersenyum miring. "Ngancam?"
Dia menatap tajam, tapi sadar bahwa yang sedang dia ancam mungkin tak terprediksi otaknya.
"Harusnya lo paham gimana aturannya," ucapnya kemudian, dengan intonasi lebih enak didengar.
Baru saja kami akan berbalik ke kamar masing-masing, saat tiba-tiba gebrakan itu terdengar lagi.
Dara dan Maya berteriak, antara kaget dan takut. Sementara wajah Renata langsung tegang.
Cabe dan si kameraman saling bertatapan. Seolah lagi cari jawaban di mata masing-masing. Alay dan Rendy saling pegang. Cocok memang.
Sementara aku melangkah menuju jendela. Lalu menyibak tirainya lebar-lebar.
Di depan sana, gelap. Tapi sepi. Cuma ada pepohonan besar yang menyerupai bentuk raksasa-raksasa hitam. Selebihnya hanya beberapa hewan liar seperti tikus atau musang yang berlari terbirit-birit saat melintas halaman.
"Nggak ada siapa-siapa." Aku menoleh.
Saat itulah terdengar gebrakan selanjutnya. Jauh lebih keras. Sampai pintu gerbangnya terhempas.
Oh shit! Aku menutup tirai, saat apa yang barusan membuat gerbang itu terhempas hebat.
***