Siang itu, Haura tak banyak bicara. Ia membantu mama menyiapkan hidangan untuk makan siang. Menu hari ini adalah soto betawi favorit keluarga.
“Panggil suamimu untuk makan bersama,” titah mama.
“Apa, Ma?” Haura merasa sangat canggung mendengar mama menyebut suami.
“Panggil Banyu di kamar. Cepet sana.”
Dengan langkah gontai, Haura menaiki tangga menuju kamar. Ia memikirkan ucapan papa dan mamanya tadi pagi.
“Mama harap kamu mulai belajar menerima Banyu. Hormati dia sebagai suamimu. Lain kali kalau mau pergi, kamu harus minta izin dulu sama dia,” ucap mama lembut.
“Tapi, Ma—”
“Ucapan mamamu itu bener, Nduk. Ojo ngisin-ngisini. Kamu tuh saiki wis dadi istrine Banyu. Mbok yao ngerti batasan,” potong papa dengan suara tegas.
Papa, bagaimana bisa? Haura hanya bisa protes dalam hati.
“Coba buka hatimu sedikit saja untuk Banyu. Lihat kebaikannya,” ucap mama sambil mengelus punggung anak gadisnya.
“Kalau kamu beneran sayang papa mama, pasti kamu ndak akan berbuat hal yang membuat kami kecewa. Bener ‘kan, Nduk?” Suara papa terdengar bergetar. Haura segera memeluk papa dan mamanya. Terisak.
“Maafin Rara, Ma, Pa. Rara memang salah.” Gadis itu kembali meneteskan air mata.
“Minta maaf sama suamimu,” bisik mama lembut.
Kini Haura berusaha meredam rasa gengsi. Ia mengakui, semuanya memang tidak seperti dulu lagi.
Ketukan tiga kali di pintu membangunkan Banyu yang sedang tertidur. “Ya, masuk.”
“Ditunggu mama di bawah. Kita makan siang!” ajak Haura ketika pintu terbuka.
“Kamu duluan, nanti aku nyusul.” Banyu bangkit lalu duduk di tepi ranjang. Matanya menyipit melihat Haura berjalan mendekatinya.
“A—aku ... minta maaf. Tadi pagi gak izin dulu. Aku pergi karena harus bicara sama Ardi.”
“Cuma itu?” tanya Banyu sambil berjalan mendekat.
“Tadi aku ... aku ....” Haura tergagap, tidak sanggup melanjutkan.
“Lain kali kalo begitu lagi, aku gak akan menahan diri untuk menghajar dia,” bisik Banyu sambil mencondongkan wajahnya ke dekat telinga Haura.
Napas hangat yang menerpa membuat Haura merinding. Ia merasa tubuh dan pikirannya tidak lagi sinkron saat berdekatan dengan Banyu. Senyum Banyu tersungging saat melihatnya gugup.
“A—aku gak akan begitu lagi. Tapi, ada syaratnya.” Haura mundur menjauhi Banyu. Ia berusaha melepaskan diri dari dominasi suaminya.
“Apa? Syarat?” Banyu terkekeh.
“Ya, syarat agar kita bisa menjalani ini semua dengan damai.”
“Kalau aku gak mau?”
“Terus terang, aku setuju menikah denganmu hanya karena papa mama. Demi nama baik keluarga. Sama sekali gak mikir soal perasaan. Tapi, bukan berarti aku menerimamu begitu saja.”
“Oke, terus?”
“Kalau kakak pulang, gimana? Apa kalian bakal ... maksudku, kenapa harus aku?” Haura menggigit bibirnya sendiri.
“Haura Pramitha. Nama itu yang aku sebut waktu akad. Itu artinya, kamulah istriku, bukan kakakmu. Ikrar itu atas nama Tuhan, jadi bukan main-main.”
Banyu memandangi Haura yang membuang muka saat tatap mata mereka bertemu.
“Aku ngerti, mungkin kamu belum bisa terima. Kamu pikir cuma dirimu yang punya masalah?”
Ucapan Banyu membuat Haura tertegun dan mendesah. Sepertinya tidak akan mudah untuk menjalankan rencananya. Ia pikir Banyu akan mengerti kondisi dirinya.
“Baiklah, katakan apa yang ada di pikiranmu?” Banyu mengikuti Haura yang kini berdiri dekat jendela.
“Kita jalani semua ini selama setahun ... ah tidak! Enam bulan saja. Tanpa ada kontak fisik, kamu pasti tahu ... apa maksudku.” Haura menunduk.
“Hmm ... kontak fisik?” Alis Banyu terangkat sebelah.
“Seperti ini?”
Tiba-tiba Banyu mendorong pelan bahu Haura hingga punggungnya menempel di tembok.
Wajah Haura seketika merona saat kedua tangan Banyu mengepung dirinya. Saat lelaki itu mendekatkan wajah, ia menoleh ke samping sambil memejamkan mata rapat-rapat, menahan napas dan gemuruh di dadanya. Haura tidak habis pikir dengan reaksi tubuhnya setiap kali berdekatan dengan Banyu, selalu saja bergetar dan terpaku. Antara takut dan penasaran bercampur jadu satu.
Banyu tersenyum geli melihat reaksi Haura. Di antara kedua tangannya, ia memandang wajah cantik yang tampak sangat menggemaskan.
Duh, mau ngapain coba? Ya Tuhan, jangan-jangan dia mau menci—
Haura menahan napas.
Tiba-tiba jemari Banyu memijit hidung Haura. Sontak gadis itu membuka mata dan mulutnya megap-megap.
Banyu tertawa, sedangkan Haura berusaha melepaskan diri dengan memukul-mukul lengan Banyu sambil mengomel tidak jelas. Di antara tawanya, Banyu memiliki firasat bahwa ini semua akan menjadi sangat menarik.
Di ruang makan, mama dan papa tersenyum mendengar gelak tawa Banyu dan teriakan Haura di kamar.
Makan siang hari itu sangat berkesan untuk Banyu. Ia sangat menikmati hidangan yang baginya sangat istimewa. Di atas semua itu, ia telah mendapatkan sesuatu yang berharga. Sebuah keluarga.
Untuk itu, ia sangat bersyukur, meskipun belum mendapatkan cinta Haura. Tanpa segan, Banyu membereskan peralatan makan yang kotor dan membawanya ke wastafel.
“Biar aku saja,” cegah Haura sambil merebut sabun dan spons pembersih dari tangan Banyu.
“Baiklah. Biar aku yang membilasnya.”
Haura hanya bisa melotot, tidak mungkin berdebat dengan sang suami. Ia membiarkan Banyu membantu, sambil melirik seolah meragukan niat baik Banyu.
Dari kursi kayu di ruang makan, mama memperhatikan tingkah mereka sambil tersenyum dan berdoa.
Semoga anugerah cinta dan kebahagiaan, Tuhan berikan pada mereka berdua.
***
“Semalam, aku pinjam bukumu,” ucap Banyu kala sore hari di taman belakang rumah. Ia mengacungkan sebuah buku, lalu membuka halaman yang telah ditandai.
Banyu melirik sang istri yang cuek dan tidak memedulikannya. Malah sesekali terdengar gadis itu cekikikan sendiri. Lelaki beralis tebal itu membuka dua kancing atas kemejanya. Bayangan Ardi saat memeluk Haura membuat ia tiba-tiba merasa gerah.
“Ra, aku haus.”
“Hmm ....”
“Ambilin air minum, dong,” pinta Banyu.
“Ambil aja sendiri,” Haura menjawab singkat. Ia masih saja asyik dengan ponsel, membalas chat dari teman-teman kantor yang mempertanyakan keberadaannya beberapa hari ini.
“Ra?” panggil Banyu lagi. Haura masih saja diam. Ia sengaja mengabaikan Banyu.
Tiba-tiba Banyu menyentakkan tangan Haura, hingga ponselnya terjatuh di kursi. Tangan kekar itu menangkup wajahnya hingga berhadapan.
“Apa-apaan kamu?” Haura mendelik.
Sejenak Banyu terdiam, menahan emosi yang merasuk di dada. Sedetik kemudian, ia melepaskan tangannya bersamaan dengan dengkusan napas.
“Siapin barangmu. Besok kamu pindah ke rumahku, diantar sama papa mama,” tegas Banyu. Tanpa menunggu persetujuan sang istri, ia melenggang begitu saja, meninggalkan Haura yang memukul-mukul bantal dengan bibir mengerucut dua senti.
Keputusan Banyu membuat Haura uring-uringan di dalam kamar. Ingin membantah dan menolak, tetapi takut pada papa dan mama. Akhirnya, dengan terpaksa ia berkemas membawa beberapa baju dan perlengkapan lain yang perlu-perlu saja. Gadis itu sengaja tidak membawa banyak barang, agar ada alasan untuk bisa sering-sering pulang ke rumahnya.
“Lihat saja nanti, Banyu. Aku akan bikin kamu pusing di sana.”
***