Jatah Ibuku Dan Mertuaku.
Bab 6
"Sudah selesai bu?" tanyaku setelah kami semua sudah mengemasi barang-barang yang akan kami bawa.
Ibu dan Mitha mengikutiku, berjalan kearah mobil yang sengaja kupinjam dari Andre.
Andre, entah kenapa pria itu selalu saja membantuku, selalu mengetahui masalah apa yang sedang kuhadapi.
Aku memilih duduk di samping supir, sementara ibu dan Mitha duduk dikursi tengah, sedangkan barang bawaan kami, sengaja diletakkan bagian paling belakang.
"Sudah tidak ada lagi yang ketinggalan, mbak?" tanya Aldi, yang merupakan orang kepercayaannya Andre sekaligus supir pribadinya.
"Sudah mas" ujarku sedikit sungkan, karena sempat merepotkannya.
"Untuk barang-barang yang berat, biar saja yang mengurusnya mbak, tadi pak Andre sudah berpesan pada saya" ujarnya terdengar ramah.
Aku hanya tersenyum lalu mengangguk.
Sementara ibu dan Mitha lebih memilih untuk tidak bersuara.
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, akhirnya kami tiba disebuah rumah yang berukuran sedang, namun memiliki halaman yang cukup luas, ada beberapa pohon rindang, yang berdiri tegak, menghiasi halaman rumah tersebut.
Aku tersenyum, Andre tahu rumah seperti apa yang aku inginkan, sebuah rumah yang terletak di area yang masih ada persawahannya.
ibuku memandang takjub area sekitaran rumah, beliau terlihat begitu senang, mungkin tempat ini mengingatkannya pada kampung halaman kami.
"Ibu suka?" tanyaku yang dijawabnya dengan anggukan.
Sementara Mitha tidak mengeluarkan pendapatnya, gadis itu memilih untuk masuk kerumah, mungkin dia ingin memilih kamar yang akan ditempatinya.
"Terima kasih ya Nak, kamu sudah mengajak ibu untuk tinggal bersamamu" ujarnya yang mulai terlihat ceria.
Melihat kebahagian yang terpancar diwajah ibu, hatiku seakan merasa tenang, aku tidak perlu lagi mengkhawatirkannya, karena sudah kuputuskan, aku akan tinggal dengannya.
Aku dan ibupun menyusul Mitha ke rumah, lalu memasuki setiap ruangan yang terdapat di dalamnya.
"Mbak, aku pilih kamar yang ini ya?" tunjuknya pada ruangan yang terdapat di tengah.
Aku mengangguk, mengizinkannya untuk menempati kamar itu.
Tersisa dua kamar tidur, yang terdapat didepan dan belakang, aku putuskan untuk memilih kamar yang dibelakang, sementara ibu menempati kamar yang didepan.
Baru saja melangkahkan kakiku ke kamar yang akan aku tempati, mobil pick-up yang membawa barang-barang milik ibu sudah datang, bergegas aku keluar, namun lagi-lagi Andre sudah mengirim orang-orangnya untuk membantuku berbenah.
Andre, kenapa kamu begitu baik terhadapku?
💞💞💞💞💞
Pov Ferdy.
Ibu terkejut menyadari kedatanganku, apalagi sambil membawa beberapa barang pribadi milikku, serta membawa bibi Dar dan juga Lina.
"Apa-apaan ini, Ferdy! Kenapa kamu membawa mereka berdua kesini?!" ujar ibuku sambil berkacak pinggang.
"Ferdy sudah keluar dari rumah itu, soalnya Rahma telah menjualnya" ucapku dengan tampang memelas, berharap ibu akan jatuh iba padaku, dan mengizinkanku untuk tinggal sementara di sini.
"A-apa, Rahma mengusirmu?" ujar ibuku sambil memegang dadanya, lalu tiba-tiba ambruk begitu saja.
Aku yang melihat hal itupun langsung panik, lalu berusaha menyadarkan ibuku.
"Bu, bu, bangun"!ujarku sambil menepuk-nepuk pipinya, berharap beliau bangun lalu membantu permasalahanku"
"Bagaimana ini mas, kok ibumu malah pingsan?" protes Lina seraya cemberut.
"Mas juga nggak tahu, kenapa ibu bisa pingsan mendadak"
Bibi Dar lalu mengeluarkan botol minyak angin lalu diarahkan pada hidung ibuku, agar beliau bisa menghirupnya.
"Bu, Ferdy mohon bangun bu" ucapku yang merasa gelisah.
Aku tidak mau ibu sakit, jika itu terjadi pada siapa lagi aku bergantung?
"Seharusnya, waktu itu bibi udah curiga dengan kepergian bu Rahma, seandainya bibi berinisiatif untuk menghubungimu, mungkin Rahma masih ada di sini"
"Makanya bu, kalau mbak Rahma melakukan hal yang mencurigakan, langsung lapor pada mas Ferdy, jadi kita tidak kehilangan jejaknya" ujar Lina terlihat kesal.
Jangankan dia, aku saja sebagai suaminya merasa muak melihat kelakuan istriku.
Untuk apa coba dia menghilang seperti ini, bikin urusan makin susah.
Mana si Lina meminta untuk ikut tinggal bersamaku, yang tentu saja membawa ibunya serta.
Saat aku sedang merenungi perbuatan istriku, ibuku akhirnya sadar, namun ekspresinya masih terlihat sangat pucat, apa mungkin beliau sedang memikirkan menantunya itu, dasar Rahma istri tidak tahu diuntung.
"Fer, ibu sedang bermimpi kan, Rahma tidak benar-benar pergi dari sini?" ujarnya sambil memegang pelipisnya.
"Tidak bu, ini bukan mimpi, tapi kenyataan" ujarku sedikit lirih.
"Pasti ini semua karena ulahmu, kamu diam-diam memberitahu Rahma, perselingkuhanmu dengan Ferdy?" tuduh ibuku sambil menunjuk Lina.
"Bukan ma, ini semua tidak ada kaitannya dengan Lina, dasar Rahma saja istri durhaka, pergi tanpa pamit, tidak kasih kabar sedikitpun"
Tiba-tiba ibu meraung keras, lalu menyalahkanku dengan segala umpatan, membuat telingaku sakit mendengar omelannya.
"Ferdy, kenapa kamu jadi suami yang bod*h, istri minggat masa kamu tidak tahu" ujarnya sambil menangis.
"Bu, ibu jangan menyalahkan Ferdy, salahkan Rahma yang pergi diam-diam, kalau seperti ini, bagaimana kita membayar cicilan mobil, belum lagi kebutuhan sehari-hari kita, dari mana kita uang bu?"
"Makanya kamu kerja Ferdy, jika sudah seperti ini, siapa lagi yang bisa diharapkan kecuali kamu?"
"Waktu itu Ferdy tidak berpikir sejauh ini bu, untuk apa kerja jika memiliki istri yang pendapatannya besar, makanya Ferdy memutuskan untuk mengundurkan diri"
"Sekarang kamu lihat akibatnya, Rahma pergi meninggalkanmu, sementara cicilan mobil belum berjalan sekalipun"
"Ini semua gara-gara Rahma bu, Ferdy pasti akan mencarinya bu, kalau perlu menyeretnya kehadapan ibu, lalu menyuruhnya membayar semua hutang kita" ujarku berapi-api.