Pertemuan Dua Lelaki


"Siapa laki-laki itu? Ada hubungan apa kalian sampai mobilnya pun kau bawa ke rumah ini? Oh, atau dia selingkuhanmu juga saat kita belum bercerai?"

"Itu bukan urusanmu."

Laki-laki itu tersenyum sinis.

"Lho, bisa jadi kan? Sebenarnya kamu juga selingkuh dariku? Apalagi awal kita menikah, bahkan kau tak mencintaiku, bukan?" Ia melangkah masuk, lalu duduk tanpa kupersilakan. 

Aku sudah malas menanggapi kata-katanya. Cukuplah setahun kemarin ia meyiramkan garam di atas lukaku. 

"Sudah ... berapa lama, Mas? tanyaku dengan mata yang memanas. Hari itu, saat kuputuskan untuk membuat dia tahu bahwa aku sudah mengetahui perbuatannya. 

Mas Zaid menunduk. Ia membisu.

"Jawab, Mas! Aku sudah tahu semuanya, dan kau tidak bisa mengelak!"

Sebenarnya dadaku sesak melihatnya saat itu. Namun, aku tak mau terlihat lemah di depannya. 

"Belum ... lama ...," lirihnya, hampir tak terdengar. Bahkan ia tak berani menatapku.

Aku semakin jijik melihatnya. Masih terbayang bagaimana Mas Zaid bercumbu dengan Asih dalam video itu. Tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh mereka. Wajah keduanya terekam jelas, dengan ekspresi yang menjijikkan. Melihatnya, aku hancur. Hatiku terkoyak. Perihnya seperti disayat sembilu.

"Asih yang menggodamu?"

Samar kulihat Mas Zaid mengangguk. 

"Kapan awalnya?" tanyaku lagi.

"Saat kamu fashion show di Bali."

Ya, Allah. Itu sudah lama sekali. Delapan bulan yang lalu. Kutarik napas sejenak untuk menguatkan diri mendengar fakta selanjutnya.

"Ternyata kau selemah itu, Mas. Bagaimana pun besarnya godaan, jika imanmu kuat, tentu tak akan membuat berpaling."

Mas Zaid mendongak. Menatapku dengan pancaran mata yang aneh.

"Bagaimana aku tidak tergoda, Zee? Setiap ke butikmu, dia selalu menonjolkan kemolekan tubuhnya padaku. Bahkan dengan sengaja menyentuhkan tubuh seksinya saat kami bicara. Jujur, sejak itu, aku sering membayangkan wajah, bibir, dan juga ...."

"Cukup, Mas. Tak perlu kau puji badan perempuan murahan itu di depanku!"

"Jangan sebut dia murahan, Zee! Dia bisa memberikan warna lain untukku. Ditambah lagi, belakangan kau semakin sibuk mengurus bisnis."

"Oh, jadi sekarang kau menyalahkanku yang sibuk, untuk menutupi kebejatan kalian berdua, hah? Perempuan apa namanya yang dengan sengaja menggoda suami orang?"

"Aku akan menghalalkannya, Zee ...."

Bagai tersambar petir aku mendengar ucapan laki-laki itu. Mas Zaid benar-benar tega. Entah karena dorongan apa, aku justru tertawa. Benar-benar terbahak. 

"Hahaha ..., setelah delapan bulan lamanya kalian bergumul dalam dosa, sekarang kamu akan menghalalkannya, Mas? Atau jangan-jangan, dia sudah hamil? Anakmu?"

Laki-laki itu diam saja. Aku bangkit dari duduk, sambil bertepuk tangan. Berjalan mendekatinya. Sedetik kemudian kutepuk bahunya. 

"Silakan! Aku sudah tidak peduli. Ceraikan aku!"

"Sampai kapan pun, aku nggak akan menceraikan kamu!"

"Kalau begitu, aku yang akan mengajukan gugatan," tegasku. 

"Silakan, tapi kamu nggak akan mendapat hak perwalian atas Ziva, dan Zelda." Mas Zaid memandangku tajam. 

"Mas mengancamku? Silakan saja, toh aku sudah mengantongi semua bukti perselingkuhan Mas dengan perempuan laknat itu. Sampai jumpa di pengadilan," sahutku sambil keluar ruangan. Masuk ke kamar anak-anak, dan menangis di sana.

Laki-laki itu tak pernah berusaha menarikku kembali. Bahkan sejak hari itu, ia jarang pulang. Mungkin sudah asik bercumbu mesra dengan Asih. Perempuan itu bahkan tak menunjukkan rasa bersalahnya saat kami bertemu terakhir kali di butik.

Hari itu ia kupecat dengan tidak hormat. Namun, aku tetap profesional. Asih masih kuberikan hak gaji terakhirnya, juga sedikit pesangon. Aku tak mau dituding sebagai atasan yang tidak bertanggung jawab kepada karyawannya. 

Proses gugatan ternyata berjalan lancar. Mas Zaid tak pernah datang ke pengadilan. Ia selalu diwakili kuasa hukumnya. Termasuk ketika akhirnya hak perwalian anak-anak jatuh ke tanganku, laki-laki itu tidak protes. 

Ia pulang ke rumah hanya untuk mengambil pakaian yang sudah kumasukkan dalam koper besar. Juga barang-barang miliknya yang sudah rapi dalam kardus. 

Tak ada sapa darinya untukku. Tak jua bertanya kabar atau mencari tahu, apa yang akan kulakukan untuk menjalani hari-hari selanjutnya. Hatinya seperti sudah tertutup oleh bahagia bersama wanita itu.

Ziva dan Zelda yang akhirnya membuat Mas Zaid bersuara. 

"Ayah mau kemana? Aku ikut ...," rengek Ziva yang memang sangat dekat dengan ayahnya.

"Ayah mau kerja dulu, Sayang. Nanti kita main lagi kalau kerjaan Ayah sudah beres, ya?" 

Ziva hanya mengangguk manja. Sementara Zelda yang belum bisa bicara, hanya mengulurkan tangan minta digendong. 

Aku diam menyaksikan pemandangan itu. Membayangkan hati mereka pasti patah jika tahu bahwa ayah dan ibunya sudah tidak bisa bersama lagi. Maafkan Bunda, Nak. 

Laki-laki itu akhirnya pergi diiringi tangisan kedua buah hatiku. Namun, setelah hari itu ia tak pernah muncul. Bahkan tak pernah menghubungiku untuk sekadar bertanya kabar Ziva dan Zelda. Tak pernah juga mengirimkan nafkah untuk anak-anak yang jelas masih menjadi tanggung jawabnya. 

Pernah satu kali aku mengingatkan keputusan pengadilan padanya, tentang nominal yang harus ia berikan untuk anak-anak. Namun, Mas Zaid tak pernah menjawab pesanku. 

Sebenarnya tak masalah bagiku, jika ia tak memberikan nafkah untuk anak-anak. Penghasilanku sangat lebih dari cukup untuk menghidupi kami bertiga. Namun, Mas Zaid harus diingatkan. Bahwa dalam Islam, nafkah anak-anak adalah tanggung jawab ayahnya, bahkan saat kedua orang tua sudah bercerai.

Satu dua kali mengingatkan, tapi ia hanya membaca pesan-pesanku. Akhirnya kuputuskan untuk berhenti mengirim pesan. Mungkin sudah seperti ini takdir yang harus diterima Ziva dan Zelda.

Lima bulan kemudian, aku dengar Mas Zaid menikahi Asih. Mereka menggelar pesta meriah di kampung halaman perempuan itu. Asih bahkan menayangkan secara live di akun Instagram miliknya yang segera ku-unfollow. Begitu pula akun Mas Zaid.

Biarlah mereka bahagia tanpa pernah aku tahu. Bagaimana pun sakit itu masih terasa, tapi aku harus kuat. Kembali menata hidup. Mengembangkan bisnis sebagai persiapan untuk hari depan bersama Ziva dan Zelda. 

Kalau akhirnya kuputuskan untuk pulang ke kempung halaman, maka itu adalah semata karena ayah dan ibu. Keduanya memintaku tinggal kembali bersama mereka. Meniatkan itu sebagai bentuk bakti pada orang tua, tak salah bukan?

Namun, setelah sekian lama laki-laki itu tak ada kabar berita, kenapa ia muncul sekarang? Kedatangannya bahkan menyulut kemarahanku, dengan kata-kata yang tak berperasaan. 

Aku baru hendak meninggalkannya sendiri di ruang tamu, saat ia bersuara.

"Barusan aku mampir ke bank. Sudah kutransfer seratus juta untuk kalian bertiga."

Aku diam saja, walau dalam hati sedikit terkejut. Setelah sekian lama pesanku hanya centang biru tanpa balasan, kenapa tiba-tiba ia mengirimkan apa yang menjadi hak anak-anak? Benarkah apa yang diucapkannya? Biarlah, akan aku cek nanti saat baterai ponselku sudah terisi. 

"Maafkan, baru sekarang kuberikan hak anak-anak. Aku ...."

Ucapan Mas Zaid tiba-tiba terhenti.

"Ayah!" Ziva muncul di pintu. Wajahnya berkeringat. Sepertinya ia baru selesai bermain. Tampak bapak dan Zelda menyusul di belakangnya. 

Mas Zaid meraih Ziva ke atas pangkuannya. Menciumi kedua pipi anak itu. 

"Ayah ke mana aja? Kok baru ke sini? Tadi aku main di sungai sama Akung."

"Ayah kan kerja cari uang, Nak. Buat sekolahnya Ziva dan Adik Zelda." Mas Zaid masih menciumi anak itu. Kulihat binar kerinduan di matanya.

"Bunda juga kerja cari uang, tapi nggak pergi lama. Uang Bunda udah banyak, kok ...."

Mas Zaid menghentikan aktivitasnya menciumi Ziva. Ia mendongak, menatapku tajam. Kualihkan pandangan untuk menghindari tatapannya.

Tampak Bapak yang menggendong Zelda di punggungnya sedang memasuki halaman. Sekilas lelaki pertama dalam hidupku itu melirik dua mobil yang diparkir berdekatan. 

"Assalamualaikum," Bapak mengucap salam sambil menurunkan Zelda dari punggungnya. Bocah tiga tahun itu langsung tertawa. Ia menoleh ke arah sang kakak yang sedang duduk di pangkuan ayahnya. Tak mau kalah, gadis kecil itu berlari menghambur ke arah keduanya. 

"Waalaikumussalam," ucapku dan Mas Zaid kompak. Mantan suamiku itu langsung berdiri sambil tetap merengkuh Ziva dan Zelda. Ia mendekati bapak dan mencium tangannya takzim.

"Pak, sehat nggih?"

Bapak hanya berdeham, tak menjawab pertanyaan mantan menantunya. Sejenak menatapku lalu masuk ke ruang tengah. Meninggalkan kami yang mungkin dianggapnya butuh waktu tanpa kehadiran siapa pun. 

Wajar saja jika bapak masih dingin terhadap Mas Zaid. Laki-laki itulah yang paling terluka saat tahu anak perempuannya disakiti. Diduakan dengan cara yang nista. 

"Zee itu anak perempuan Bapak satu-satunya. Saat dia sakit, Bapak yang mengobati. Ketika jatuh, Bapak yang menolongnya. Kuikhlaskan dia menikah denganmu, yang Bapak pikir akan menggantikan posisi sebagai pelindungnya. Lalu apa? Kamu dengan tega mengiris hatinya. Benar-benar laki-laki biadab," ucap bapak sesaat sebelum memukuli Mas Zaid. Itu adalah hari saat hakim mengetuk palu untuk perceraian kami. 

Bapak memang orang paling terakhir yang kukabari tentang prahara rumah tangga ini. Tak tega rasanya menorehkan perih juga di hati bapak. Setiap ayah pasti terluka jika anak perempuannya disakiti.

"Bunda, besok kita jadi ke Bandungan?" pertanyaan Ziva menyadarkanku dari lamunan. 

"Ayah ikut, ya?" tanyanya kemudian pada Mas Zaid. Mantan suamiku itu tersenyum, tapi tak memberikan jawaban. 

Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki halaman. Mobilku. Cepat sekali Handi mengurusnya. Aku baru hendak bangkit dari duduk saat kulihat wajah Mas Zaid menegang. Rahangnya mengeras. Ia menatap ke arah mobil yang pintunya kini terbuka. 
***

Bersambung