Subscribe dulu, yuk
Biar dapat info saat cerita ini di-update
______________________
Aku tahu kini, siapa perempuan simpanan Mas Zaid. Wajahnya jelas terlihat di video berdurasi dua puluh lima detik itu. Video laknat penghancur rumah tanggaku.
Pantas saja belakangan Mas Zaid sering pulang malam. Aku percaya saja saat dia mengatakan banyak pekerjaan di kantor yang harus segera diselesaikan. Ternyata tugas dari perempuan jalang untuk memuaskan hasratnya.
Hingga malam itu aku terbangun di tengah malam. Kudengar suara Mas Zaid sedang mandi. Kebiasaan baru yang dulu tak pernah dilakukannya.
Aku segera pura-pura memejamkan mata saat dia masuk ke kamar kami. Kemudian kudengar suara lemari dibuka, juga langkah kakinya yang seperti ditahan. Sepertinya dia takut aku terbangun.
Beberapa menit kemudian hening. Hanya terdengar bunyi napasnya yang teratur tanda Mas Zaid sudah terlelap. Perlahan aku bangkit dan menoleh ke arah punggungnya. Dia membelakangiku. Tampak rambutnya basah. Suamiku baru saja berbuat apa hingga harus keramas tengah malam? Sekelebat pikiran buruk menghantuiku.
Tidak mungkin ....
Mas Zaid yang kukenal tak mungkin seperti itu. Tak mungkin dia mengkhianati cinta yang diperjuangkannya sejak semester pertama di bangku kuliah.
Aku masih ingat bagaimana Mas Zaid dengan gigih berupaya mendapatkan cinta seorang Zianka. Hampir setiap tahun, dia menyatakan cintanya tepat di hari kelahiranku. Empat kali berusaha meyakinkanku akan ketulusan cintanya, sebanyak itu pula aku menolak.
Hingga hari itu, di hari kami wisuda, Mas Zaid tak lagi hanya menyatakan cinta. Dia melamar di depan seluruh keluargaku yang ikut hadir di Balairung UI. Di depan kedua orang tuaku.
Entah mengapa, saat itu aku merasa menjadi perempuan paling beruntung sedunia. Menjadi yakin bahwa lebih baik dicintai walau tak mencintai, daripada sebaliknya. Hingga kuanggukkan kepala sebagai tanda menerima lamarannya.
Ayah dan ibu juga setuju. Mereka mengenal Mas Zaid dari ceritaku. Selalu kukabarkan pada ibu, setiap kali laki-laki itu menyatakan cinta. Juga tentang siapa dia di kampus.
Siapa yang tak kenal Mas Zaid? Ketua BEM yang prestasinya selalu gemilang. Aktif di berbagai organisasi. Peraih banyak beasiswa. Saat wisuda, dia juga berhasil menyabet gelar mahasiswa teladan dengan IPK tertinggi. 3,9. Nyaris sempurna.
Ayah dan ibuku yakin, Mas Zaid orang baik. Dia layak untuk menjadi pendamping dan imamku. Selang dua bulan kemudian, kami pun menikah.
Pernikahan kami baik-baik saja. Bahkan sampai Zelda lahir. Bahkan teman-teman Mas Zaid selalu mengatakan bahwa kami adalah role model keluarga harmonis. Hingga pesan dari kontak bernama Roy itu kubaca. Menghancurkan mimpiku, untuk menua bersama laki-laki yang untuknya sudah tumbuh cinta di hati ini.
Roy yang ternyata adalah Marina. Perempuan yang selama ini menjadi tangan kananku mengurus salah satu butik di Bintaro. Asih Marina yang bertubuh aduhai, ternyata mampu memalingkan cinta Mas Zaid. Cinta yang kutahu dulu begitu besar.
Sikap manis Asih selama ini ternyata palsu belaka. Perempuan yang kusangka baik itu ternyata menusuk dari belakang.
Kepalaku pening mengingat kembali peristiwa itu. Hingga tiba-tiba kudengar suara keras dari bawah mobil. Bunyi seperti ledakan kecil itu membuyarkan lamunanku. Setelahnya kurasakan mobil limbung ke kiri.
Apakah bannya bocor? Segera kutepikan mobil kemudian melihat ke sekeliling. Ternyata di kiri kanan jalan hanya persawahan. Sama sekali belum masuk wilayah Pringsurat. Rumah orangtuaku masih cukup jauh.
Kubuka pintu mobil dan memeriksa ban. Benar saja. Ban depan sebelah kiri sudah kempes. Apa yang bisa kulakukan di tempat sepi seperti ini?
Kuambil handphone dari dalam tas sambil berpikir hendak mencari bantuan. Ah, ternyata benda pipih itu mati. Aku lupa mengisi baterainya saat di hotel. Sibuk melepaskan rindu pada sahabat, hingga melupakan hal kecil yang penting seperti ini.
Beberapa saat aku hanya menatap ban mobil yang bocor itu. Kemudian memilih bersandar di dahan sebuah pohon kapuk yang ada di dekat mobilku.
Jalanan cukup lengang. Hanya beberapa motor yang lewat. Beda jauh dengan Jakarta yang di jam seperti ini pasti masih macet. Apakah tidak sebaiknya aku menyetop salah satu kendaraan saja untuk meminta bantuan?
Aku belum mengambil keputusan saat sebuah mobil berhenti persis di belakang kendaraanku. Seorang laki-laki turun dari sisi kanan. Sosoknya yang mendekat membuat mataku terbelalak.
Handi? Kenapa dia lewat sini? Bukankah dia tinggal di Kranggan? Itu artinya dia harus belok kiri di perempatan sebelum jalan ini.
"Zee? Kenapa mobilnya?"
"Eh, itu ... kempes bannya."
Handi mengernyitkan dahi. Dia berjalan mengelilingi mobilku, lalu berhenti di dekat ban yang bocor. Laki-laki itu berjongkok sejenak. Tak lama dia bangkit mendekatiku.
"Parah bocornya Zee. Harus diganti ban. Bengkel masih jauh dari sini. Kalau nggak salah ada di dekat jembatan timbang, tapi itu sudah dekat rumahmu, kan? Masih jauh dari sini."
Aku terdiam. Menatap wajah lelaki di depanku yang entah kenapa tampak semakin menawan. Apa yang harus kulakukan? Handi saja yang laki-laki tampaknya masih berpikir mencari solusi untuk masalah ini.
"Begini saja," ujarnya lagi. "Kamu pakai mobilku sampai ke rumah. Biar mobilmu aku yang urus," dia berkata sambil mengulurkan kunci mobilnya.
"Nanti ... bagaimana denganmu, Han?" tanyaku gugup.
"Jangan khawatir. Temanku banyak di sekitar sini. Mereka bisa dimintai tolong dengan cepat. Nanti kuantar mobilmu saat sudah beres."
"Aku ... aku nggak enak, lho. Jadi ngerepotin kamu, padahal kita baru kenal."
Handi tersenyum. Manis.
"Mungkin ini cara Tuhan untuk membuat kita berdua semakin mengenal," ujarnya dengan senyum yang berubah jahil. Tiba-tiba badanku terasa ringan. Mungkinkah aku terpesona?
"Hmm ... tapi, kenapa kamu lewat sini? Kranggan kan, di sana?" Aku menunjuk arah jalan yang seharusnya Handi tempuh. Mata laki-laki itu sejenak membulat. Kemudian dia tertawa.
"Oh, itu. Aku mau ke rumah kakaknya ibu. Dia tinggal di Ambarawa. Jadi aku lewat sini."
Aku hanya mengangguk. Menerima kunci mobil Handi yang kutukar dengan milikku.
"Terima kasih banyak, ya. Maaf, aku jadi merepotkanmu."
"Tenang, ini nggak gratis," ujarnya lagi sambil tertawa. Aku mengerutkan dahi.
"Ada imbalannya," dia melanjutkan. "Kau harus mau kuajak jalan lain kali."
Aku menghela napas lega. Kalau hanya itu saja, tentunya bisa kusanggupi.
Aku berjalan ke arah mobil Handi. Laki-laki itu bergegas mendahului dan membukakan pintunya.
"Jangan lupa shareloc saat sudah sampai rumah, ya?" Handi berpesan dengan lembut. Hatiku meleleh dibuatnya.
Suara bariton itu masih terngiang bahkan saat aku sudah meluncur di jalan. Meninggalkannya yang masih melambaikan tangan. Handi Aditya. Akankah dia menjadi episode baru dalam hidupku? Apakah tidak terlalu cepat?
***
Aku baru saja masuk ke dalam rumah saat mendengar deru mobil lain yang memasuki pekarangan. Sebuah kendaraan yang aku tahu siapa pemiliknya, tampak sedang diparkir di sebelah mobil Handi.
Laki-laki itu turun, kemudian membanting pintu mobilnya. Dia menatap tajam ke arah mobil Handi, lalu berjalan ke teras rumah. Sampai di pintu, dia berhenti dan menatapku tajam.
"Siapa laki-laki itu? Ada hubungan apa kalian sampai mobilnya pun kau bawa ke rumah ini? Oh, atau dia selingkuhanmu juga saat kita belum bercerai?"
***
Bersambung