3. Siapa Wanita Itu?

Di rumah aku memandangi seragam warna pink-ungu itu. Ada emblem bertulis Rose Emerald di bagian dada kanan dan gambar mawar kecil di bawahnya. Mawar putih adalah lambang bagi toko ini.


Aku lalu mencobanya dan mematut diri di cermin. Yang terlihat di cermin seperti bukan aku. 


Mak Nah masuk. Ia kaget melihatku.


"Ya ampun  kamu kayak belum punya anak. Kayak gadis aja pakai baju begitu."

Memang aku masih gadis. Dalam seragam toko ini, aku harus menjadi gadis. Demi gaji tiga juta.


"Cakep nggak Mak?"

"Kayak pramugari."

"Ini seragam toko, Mak. Aku malas pakai sebenarnya, tapi ini sudah jadi aturannya."


"Pakai saja."


"Andai Mas Jol di sini, aku tak perlu kerja."


"Halah! Nggak usah harapin laki kayak Jol itu. Dia kabur. Ngapain ditunggu?"


"Mas Jol bukan kabur, Mak …"


"Terus apa? Nggak kasih uang, nggak ngasih kabar … ngilang. Itu bukan kelakuan suami yang baik… bukan ayah yang bertanggungjawab."


"Dia akan kembali. Aku tahu. Aku dan Sashi hanya perlu bertahan."


"Kalau Mak jadi kamu, Mak nggak akan berharap. Jol itu genit dan suka gombal. Kamu kok ya nggak sadar-sadar."


Mak Nah serupa Mama, sering sekali menjelekkan Mas Jol.


"Mak tahu kelakuan Jol sejak sebelum kawin sama kamu. Jol itu anak tetangga Mak. Mak tahu cewek mana aja yang digombalin sama dia. Aneh aja bisa kawin sama kamu yang nggak cuma cantik tapi juga baik. Sekaramg kamu ditinggal. Buruk banget nasibmu."



Aku terpengaruh omongan Mak Nah. Kembali mengambil hp. Menelepon Mas Jol. Berharap apa yang Mak Nah katakan tidak benar. Tumben, dering masuk. Aku berharap. Aku menggigil. Menunggu Mas Jol mengangkat teleponku. Tapi hingga dering kesekian teleponku tak diangkat. Kutelepon lagi dan lagi dan lagi … Kalau perlu sampai pagi. Sampai ratusan kali.


"Halo."


Suara perempuan. Kok bisa? Kulihat layar hp memastikan aku tak salah tekan nomor. Benar. Nama Mas Jol terpampang di layar dengan sederet angka yang telah kuhafal.


"Halo," ulang wanita di seberang telepon.


"Halo. Ini siapa?" Tanyaku. Aku mulai ragu. Apa mungkin semua kabar miring itu benar?


"Aku Maria. Ini dengan siapa?"

"Mas Jol yang punya nomor ini mana?" Tanyaku mulai marah.


Di seberang sana tak ada jawaban. Beberapa detik.


"Saya mau bicara dengan Mas Jol." Ulangku dengan suara keras. 


"Ada perlu apa malam begini? Kamu siapanya Mas Jol?"


Siapanya Mas Jol? Cara dia mengucapkan Mas Jol membuat aku terbakar. Nadanya terdengar manja. 

"Saya istrinya. Kamu siapa?"


Aku lalu mendengar suara yang lain. Kupaatikan itu suara Mas Jol. Lalu suara keduanya bercakap-cakap. Sial, aku tak bisa mendengar jelas.


"Halo.. Mas… Mas Jol…" aku berteriak berharap laki-laki itu menjawab telepon, bicara padaku, memberi alasan masuk akal untuk semua yang terjadi. 


"Mas ini aku istrimu… Mas bicara!"


Lalu telepon ditutup. Sial! Apa itu tadi? Kenapa Mas Jol tak mau bicara denganku? Aku gelisah. Kutelepon lagi nomor itu, sudah tidak tersambung. Menyebalkan. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Kejadian malam ini sungguh mencurigakan. Jika benar seperti yang dikatakan orang-orang kalau Mas Jol kabur dengan perempuan lain, perempuan yang baru saja menjawab teleponku, aku harus melakukan sesuatu. Aku tak akan tinggal diam. Aku bukan wanita lemah untuk diabaikan dan dipermainkan seperti ini.


Aku harus bikin perhitungan. Sakit sekali hatiku.


Tapi hal yang paling penting sekarang adalah bekerja dan mendapatkan uang. Sebanyak yang kubisa. Aku dan Sashi tak boleh dikasihani. Aku bisa menafkahi Sashi tanoa suami terkutuk itu. Lihat saja jika laki-laki itu pulang akan kulempar batu dan kuusir.


Aku tidur malam itu dengan hati gelisah. Sekuat tenaga kutahan tangis. Kupeluk Sashi yang sudah tertidur erat.


"Tenang saja, Nak. Kita akan bertahan. Kita akan baik-baik saja tanpa ayah jelekmu itu."