7. Mas Jol Kembali

Malam itu, sepulang kerja, Andre kembali mendekatiku. Menawarkan tumpangan pulang. Aku putar otak, kembali mencari alasan. Gawat kalau Andre ke rumahku, bertemu Sashi dan Mak Nah.


"Ayo Nora bareng saya, kamu tinggal di Jakarta Timur kan? Saya arah ke sana."


"Saya naik angkot aja, enggak perlu repot…"


"Nggak repot kok."


"Sebenarnya orangtua saya galak. Mereka nggak tahu saya kerja. Jadi, mereka akan kaget kalau nanti lihat kamu ke rumah.


Bohong! Aku tidak terbiasa berbohong. Tapi ini harus. Andre belum boleh tahu statusku yang sudah menikah dan punya satu anak. Aku bahkan belum gajian. Akan sia-sia swmua 


"Katamu orangtuamu di Tangerang dan kamu kos dengan teman?"


Mampus! Dia ingat.


"Orangtua saya sering main ke kos. Nginap. Main dengan ponakan."


"Oh begitu.."


Ada ekspresi kecewa di wajah Andre. Ya maaf. Untunglah Andre lalu tak mendesak. Ia lalu meninggalkan toko lebih dulu dibanding aku dan Mbak Lina. 


"Mas Andre kayaknya ada hati sama kamu. Kamu pakai pelet apa?"


Mbak Lina tiba-tiba berkomentar aneh sambik menatapku dengan tajam. 


Pelet? Sial. Aku nggak percaya yang begituan. Aku juga nggak berharap Andre perhatian denganku karena itu akan menyulitkan.


"Nggak kok, Mbak. Andre baik ke semua pagawainya. Tadi Mbak Lina juga dibelikan banyak makanan."


"Halah! Aku tu ngerti Mas Andre. Aku sudah lima tahun kerja di sini."


Lima tahun? Lama juga


"Mbak Lina sudah menikah?" tanyaku spontan. Kalau melihat dari wajah dan penampilan, paling tidak Mbak Lina sudah usia tiga puluh tahun. Bisa saja sudah menikah.


"Ngapain tanya-tanya!" jawab Mbak Lina ketus sambil melotot dan memonyongkan bibir.


"Apa aku terlihat sudah tua di matamu? Aku masih muda masih single. Bukan karena aku nggak ada yang mau ya, lebih karena aku ounya kriteria tinggi untuk milih suami."


Mbak Lina kondisi emosinya mudah sekali berubah. Kadang judes, kadang baik. Meski seringnya judes sih. Seperti malam ini.


Kami lalu pulang. Aku menyempatkan diri mampir ke atm untuk mengecek isi saldo. Tak ada penambahan. Kalau sampai besok Mas Jol belum mentransfer uang, aku harus cari hutangan lagi. Di tanganku hanya ada lima puluh ribu terakhir.


Taoi berhutang ke siapa? Warung dekat rumah jelas sulit. Pemiliknya sudah marah-marah menagih hutanganku yang lain. Ke Mbak Lina? Kecil kemungkinan diberi. 


Aku pusing. Nggak enak banget nggak punya uang. Ya Allah aku pingin jadi orang kaya. Oh, nggak usah terlalu kaya, cukup untuk hidup aku dan Sashi. Aku tak ingin kekurangan uang. Kasihan Sashi kalau aku nggak bisa belikan dia makanan yang layak dan cukup. 


Aku menekan angka Mas Jol yang baru, tak tersambung. 


Tapi tak lama handphoneku berbunyi, dari Mak Nah. Jantungku berdetak kencang. Mak Nah jarang menelepon untuk sesuatu yang tidak penting. Apa sesuatu yang buruk terjadi?


"Halo, Mak. Ada apa?"


"Jol pulang. Dia di rumah."

"Hah! Yang benar, Mak?"

"Dia tanya kamu. Mak harus jawab apa?"


Kenapa Mas Jol tidak meneleponku langsung? Juga tidak mengabarkan akan kembali. Tapi yang terpenting Mas Jol kembali. Pasti dia bawa uang. Aku akan bisa membelikan Sashi makanan.

"Bilang saja, aku lagi di jalan mau pulang, Mak."


Aku berjalan cepat, mencari angkot untuk sampai di kontrakan. Sudah pukul sebelas ketika aku sampai.


Mas Jol menunggu dengan wajahnya yang terlihat tak senang.


"Kemana saja kamu?"

Dia menatap padaku dari atas hingga bawah. Dia melihat seragam yang aku pakai, dan wajahku yang full make-up.


"Kenapa kamu pakai pakaian begini dan dandan berlebihan begitu?"


"Aku kerja…." Aku belum menyelesaikan kalimatku, Mas Jol sudah bicara lagi.


"Kerja apa pulang malam begini. Kamu jual diri?"


Aku marah. Sangat marah. Mas Jol keterlaluan dengan menuduhku serendah itu.