4. Hari Pertama

Aku bangun subuh dengan kepala berat. Jelas tidurku tak lelap. Tapi ini hari pertama aku bekerja. Tak boleh terlambat. Jadi aku bangun subuh untuk lalu mengambil seragam itu. Aku harus melakukan sesuatu agar seragam ini tak terlalu sempit. Kubuka keliman bawahnya untuk lalu kujahit lagi dengan lipatan bawahan yang lebih kecil. Baju itu juga harus kulonggarkan dengan membuka kopnatnya agar tak terlalu sempit dan membentuk badan. Memang baju dan rok itu menjadi lebih panjang dan longgar setelahnya. Lebih baik begini. 


Mall buka pukul sepuluh, tapi karyawan toko harus sudah datang tiga puluh menit sebelumnya.  Aku berangkat ke toko, setelah pamit dengan Sashi dan Mak Nah.


Aku naik angkot sekali. Rasanya beberapa mata menatap padaku. Aku menyadari kebodohanku. Harusnya aku pakai jaket untuk menutupi seragam ini. Atau aku bisa pakai baju biasa dan bertukar baju di toko. Tapi sudah terjadi. Kuabaikan mata-mata yang melihat tak sopan. Lagi pula  aku harus terbiasa. Aku harus bekerja dan dapat uang. 


Ketika aku sampai, Andre sudah di toko dengan senyumnya yang lebar.


"Pagi …. Kamu terlihat lebih cantik pagi ini."


Aku membalas semyum itu. Tapi tak tertarik dengan pujiannya. Andre jelas akan memuji semua karyawannya. 


Mbak Lina sudah duduk di belakang meja dengan dandana full make-up. Mbak Lina cantik. Wajah dan tubuhnya tampak terawat, tapi dia rasanya bukan pribadi yang menyenangkan dijadikan teman. Senyumku saja yak dibalas.


"Kamu kerja di toko kosmetik, tapi wajahmu polos begitu? Dekil lagi. Aneh sih kenapa kamu diterima kerja di sini." Kalimat Mbak Lina blak-blakan. 


Aku melihat wajahku ke cermin bulat di atas nakas. Cermin yang bisa dipakai calon pembeli untuk mematut diri ketika mencoba produk.


Wajahku memang polos. Aku hanya memakai bedak tipis, lipstik warna merah muda yang tadi kucongkel-congkel karena sudah mau habis. Dan pinsil alis yang pudar. 


"Aku nggak punya peralatan kosmetik lengkap, Mbak," ujarku dengan suara lemah.


"Aku jelek banget ya?" Tanyaku lagi. Apa karena aku jelek Mas Jol pergi?


Saat mengatakan itu, Andre melintas dan sepertinya ia mendengar kalimatku karena ia lalu menuju etalase yang berkunci, lalu mengambil satu set peralatan make-up


"Ini untuk kamu."


Aku kaget. Itu adalah make over kotak besar. Di dalamnya ada lipstik dengan tiga warna berbeda, palet-palet untuk blush on dan eye shadow. Juga ada bedak padat dan foundation.


"Apa gajiku akan dipotong untuk membayar ini?" Tanyaku memastikan. 


Andre tertawa.


"Tidak. Tenang saja."


Aku melihat harga yang tertera di kotak besar itu. Empat ratus ribu rupiah. Mahal. Aku tak akan sudi membeli ini. Mending uangnya untuk susu Sashi atau beli ayam KFC kesukaan Sashi atau beli beras, daging atau ayam. Sudah lama Sashi tak makan daging. 


"Anggap saja ini fasilitas toko. Tak perlu bayar."


Aku mengambil itu. Mbak Lina di sebelahku menatap tajam.


"Fasilitas toko? Kok saya nggak pernah dapat. Mas Andre pilih kasih ihh!"


Mbak Lina protes. Caranya memanggil Andre dengan Mas sangat centil. Jangan-jangan mereka punya hubungan khusus? Ah sepertinya tidak.


"Kamu kan sudah punya." Jawab Andre santai yang membuat Mbak Lina menatapku dengan ekspresi jutek. Aku memperlihatkan raut tak bersalah. Memberi cengiran lebar. Tapi lalu mencoba memoles wajahku dengan  hadiah itu.


"Kamu makainya salah." Protes Mbak Lina cepat. 


"Bersihkan dulu wajahmu dengan tisu basah."


Meski jutek, tampaknya Mbak Lina peduli. Ia lalu malah membantu mendandani wajahku  bahkan membentuk alis dan garis bawahan mata. Begitu aku melihat cermin, aku sendiri kaget. Sosok itu seperti bukan aku.


"Terima kasih banyak, Mbak," ucapku hampir menangis.


"Nggak perlu. Aku nggak tega kalau kosmetik mahal sia-sia di tangan amatir sepertimu."


Apapun lah Mbak. Sak karepmu! Yang penting kamu udah bikin aku lebih cantik hingga hari ini aku akan lebih percaya diri bekerja.


Tapi ternyata bekerja di hari pertama tak semudah kupikir. Hari pertama terasa berat. Aku masih canggung dan lelet melayani pembeli. Mbak Lina sering memarahiku. Andre sudah menghilang. Meninggalkan aku dan Mbak Lina berdua.


Meski judul nya kasir, tetap saja aku harus jadi sales juga. Mbak Lina suka menyuruhku ini dan itu, dia seperti benar-benar memanfaatkanku. 


Beberapa pembeli banyak bertanya.


"Mbak untuk kulit kayak saya pakai lipstik warna ini cocok nggak ya?"


"Mbak untuk kulit berminyak pembersih yang bagus apa ya?"


"Foundation yang nggak bikin kulit kering yang merek apa mbak?"


Dan banyak pertanyaan lainnya.


Aku pusimg menjawab itu semua, karena aku juga nggak tahu. Tapi aku tak boleh menyesatkan pembeli dengan info yang salah. Jadi******cepat pembungkus setiap produk, mencoba menjelaskannya dengan perlahan. 


Tapi namanya amatiran, ketahuan juga kalau aku nggak paham.


"Mbaknya gimana sih, jualan tapi nggak ngerti…" protes seorang pembeli.


"Mbaknya jualan tapi kulitnya sendiri kusam begini."


Aduh ini penghinaan. Aku kusam karena nggak pernah perawatan. Perawatan mahal. Uang dari mana? Mas Jol dulu pun ngasih uang pas-pasan. 


Jam dua belas siang, aku rasamya lapar sekali. 


Aku nggak bawa bekal. Mbak Lina memesan mie ayam dari cafe di food court lantai empat. Aku hanya melihat.


"Kamu nggak makan?"


Akhirnya dia bertanya. Aku menggeleng.


"Kenapa? Nanti uang maman dikasih setiap akhir bulan. Gunakan untuk makan."


Oh iya. Aku lupa kalau pegawai juga dapat uang makan. Aku intip domoet, ada dua lembar uang dua puluh ribu. Aku bisa beli makanan termurah di lantai empat.


"Kalau mau makan, ke lantai empat aja, mumpung belum ada pembeli." Ujar Mbak Lina lagi.


Aku pikir, Mbak Lina sebenarnya baik, meski cerewet dan blak-blakan. Kami bisa berteman. Kami harus berteman agar aku bisa betah bekerja di toko ini.


"Makasih banyak Mbak."


Pukul sembilan malam, satu jam lagi toko akan tutup, tubuhku sudah sangat lelah. Hpku berbunyi. Nomor asing. Aku malas mengangkat. Paling sales asuransi atau penipuan. Tapi dering itu terus berulang, membuat Mbak Lina melihat dengan tampang merasa terganggu.


"Halo."

"Halo… Nora?"

"Mas Jol?"

"Maaf aku ganti nomor hp. Hp ku hilang. Aku kecopetan…"