5. Cantik Tapi Bego?

Aku tak percaya kalimat Mas Jol. Ia kecopetan dan hand phonenya hilang? Yang benar saja. Aku nggak bego! Kenapa setelah lima bulan mengabarkannya? Tapi Mas Jol tak boleh tahu aku curiga. Jadi kutahan emosi.


"Oh pantas saja," Ujarku pelan.

"Pantas apa?" tanyanya pura-pura bodoh.

"Aku telepon bolak-balik nggak masuk, sekalinya masuk malah yang angkat orang lain. Pasti itu malingnya atau orang lain pemilik nomor yang baru."

"Iya, pasti begitu."

"Lalu Mas kemana? Kenapa nggak pulang?"


"Maaf aku pergi lama."


Bukan lama. Tapi lama sekali. Lima bulan!


Suami macam apa yang bisa pergi selama itu tanpa memberi kabar? Suami macam Mas Jol. 


"Sashi apa kabar?"


Oh ingat juga dia pada anak permepuan satu-satunya.


"Sashi kelaparan. Kami nggak punya uang."


"Oh!"


"Kasihan Sashi. Setiap malam dia mengigau manggil-manggil ayahnya. Dia rindu banget."


"Sampai ngigau manggil aku?"


"Iya. Sashi makin hari makin kurus. Dia banyak melamun."


Aku keterusan berbohong. Ingin membuat Mas Jol merasa bersalah. Itu pun kalau dia masih bisa memikirkan anaknya. Mungkin dia tak peduli perasaanku, tapi paling nggak harusnya hati seorang ayahnya akan terusik kan?


"Aku tak bisa beli makanan yang Sashi minta. Mas bisa transfer uang sekarang?"


Dia diam sebentar.


"Aku akan pulang bawa uang. Tapi belum bisa hari ini."


"Transfer saja!" Aku mendesak.


"Aku akan transfer secepat aku bisa." janjinya terdengar meyakinkan.


"Kapan Mas akan pulang?" Tanyaku lagi.


"Belum tahu. Mas dapat kerjaan di sini."


Mas Jol supir bus antar kota. Sekarang dapat kerjaan apa lagi?


"Kirim uang yang banyak ya Mas. Aku sudah berhutang di warung."


Aku berbohong. Tapi dia harus transfer. Itu kewajibannya.


"Iya."

Lalu telepon ditutup. Aku diam sebentar.


"Siapa itu?"

Mbak Lina bertanya dengan tatapan curiga.


"Masku. Kakak laki-lakiku yang di Malaysia. TKI di sana," jawabku cepat. Dan tampaknya Mbak Lina percaya kalimatku.


"Siapa Sashi?"


Ya Tuhan aku tak ingin berbohong. Tak ingin tak mengakui kalau Sashi anakku. Tapi ini darurat. 


"Sashi anak Masku itu. Dititip di rumahku."


Tak sepenuhnya bohong kan?


Setelah toko tutup, dalam perjalanan pulang aku singgah ke atm dekat parkiran mall. Tak ada uang masuk. Bodohnya aku yang percaya dengan omongan lelaki itu.


Aku berjalan lemah. Sebuah mobil fortuner menepi, lalu jendela kacanya turun, memperlihatkan wajah ganteng milik bos-ku, Andre.


"Nora, ayo aku antar! Naik"


"Eh, saya naik angkot saja."


"Aku antar."


Gawat kalau Andre mengantarku ke rumah. Andre bisa bertemu Sashi dan akan curiga kalau aku bukan single. Aku harus cari ide secepatnya. Aku bahkan belum terima gaji bulan pertama. Belum boleh ketahuan. 

 

"Ayo!" Andre terdengar mendesak.


"Aduh saya lupa. Ada barang tertinggal di toko. Kamu duluan saja."


Aku tak menunggu jawaban, segera balik badan, kembali masuk ke mall. Melalui jendela kaca aku lihat Andre lalu melajukan mobilnya kembali setelah mobil di belakangnya meng-klakson tak sabar. Aku selamat untuk kali ini. Sepertinya aku akan terus berbohong dan itu membuatku merasa bersalah.


Aku sampai di rumah. Melepas sepatu hak tinggiku. Mak Nah melihat wajahku dengan mata melotot.


"Kamu apakan wajahmu? Jadi mirip Krisdayanti begitu."


Aku tertawa keras, mengganggap itu pujian. Wajahku masih dengan dandanan dari tadi. Meski sudah berwudu, riasannya tak luntur.


"Aku memang cantik Mak. Tambah dandan gini memang kayak artis… andai aku terlahir di keluarga kaya raya, atau anak sultan, atau anak pejabat, beeuuuhhh akan banyak yang ngejar-ngejar aku."


"Halah cantik tapi bego. Bisa ditipu laki."


Aku tak membalas omongan keras Mak Nah karena Sashi lalu datang.


"Mama! Sashi tunggu mama pulang dari tadi."


Aku sedih melihat Sashi. Ia terbiasa denganku. Meski ada Mak Nah, pasti ia kesulitan dan kesepian.


"Maaf Nak. Mama kerja. Kamu sudah makan? Tadi susumu kamu habiskan?"

Dia mengangguk. Sashi anak yang manis. Tega sekali ayahnya mengabaikannya begini.


Mak Nah muncul dengan nasi panas yang ia letakkan di meja makan.


"Makan dulu. Kamu pasti lapar."


"Tadi Mas Jol telepon." ujarku sambil menggendong Sashi dan masuk rumah.


"Terus?"


"Dia bilang dia akan pulang."


"Halah! PHP. Harapan palsu."


Mak Nah tahu juga istilah PHP.


"Dia janji kirim uang untuk Sashi."


"Semoga saja dia tidak bohong lagi …"


Aku membaringkan sashi di sofa lalu duduk di menghadap meja makan. Ada tempe dan sayur dengan kuah bening. Aku makan banyak dan lahap. Habis satu piring, tanganku bergerak menyendok nasi lagi. Lapar sekali rasanya. Lapar. Capek. Sakit hati.


"Awas hati-hati kancing bajumu lepas…."


Mak Nah tertawa. Aku tertawa sambil menitikkan air mata. 


"Kamu nangis?"


"Nggak. Ini gara-gara kepedesan Mak." Ujarku cepat. Mak Nah menepuk-nepuk pundakku.


"Jangan bohong. Sambal Mak Nah memang pedas sejak dulu. Kenapa hanya malam ini bisa bikin kamu nangis?"


Aku melihat ke Sashi. Mak Nah ikut melihat. Ia lalu mengerti arti tatapanku. Aku tak ingin kami membahas kelakuan Mas Jol di depan sashi. Sashi tak boleh tahu kesulitan hidupku. Ia tahu ayahnya pergi untuk bekerja dan akan kembali membawa uang. Serupa dulu.


Tidak apa aku menahan rasa sakit hati. Sashi tak boleh merasa dirinya diabaikan. Aku akan berjuang untuk sashi. Meski harus berbohong dan berpura-pura gadis.