"Ma. Hapus air matamu, sekarang pandanglah aku dan adik. Kita lanjutkan hidup, kita bertiga bersatu memperjuangkan harapan dam masa depan. Biarlah Bapak beristirahat dengan tenang."
*****
Bertiga bergandengan tangan, dengan langkah yang tak pasti. Pikiran galau, hati masgul. Tak satupun harapan bahagia tersisa. Hancur tak berwarna.
Saat Mama mendapat kabar, bahwa Bapak dilarikan kerumah sakit, dia langsung berkemas, aku berdiri menatapnya dengan linangan air mata, demikian juga dengan adikku. Aku tahu apa artinya bila Bapak sakit, apalagi sampai dirawat dirumah sakit, duniaku menjadi gelap.
"Kalian tunggu dirumah saja...." Mama memandangku yang berdiri mematung di pintu kamar. Aku mengangguk." Tapi... bagaimana bila Mama nanti hingga malam ?" Mama berdiri, memandang aku dan Dinda bergantian, ada keraguan dimatanya saat harus meninggalkanku berdua dengan Dinda.
Sejujurnya aku sendiri juga ragu, akan keberanianku, tinggal dirumah hanya berdua dengan Dinda.
"Baiklah, kita kerumah sakit bersama, Putri, kau bungkus nasi dan sayur yang ada, buat kalian makan disana. Dinda...ayo bantu kakakmu berkemas." Perintah Mama.
Kami bertiga, Mama, aku, anak sulungnya. dan adikku, Dinda. Segera pergi menyusul Bapak, diantar pak de Asip dan dan mas Yuda, teman Bapak.
Namun terlambat, saat kami sampai di UGD, tubuh Bapak sudah terbujur kaku, Mama berdiri disampingnya, tanpa kata. Demikian juga dengan aku dan Dinda. Bibirku tak mampu mengucap sepatah kata, kami sama-sama terpaku dalam diam.
"Inna lillahi wainna ilaihi rojiun, Bapak, secepat ini engkau pergi meninggalkan kami, mengapa begitu singkat waktu yang tersedia untuk membersamai kami, begitu singkat kebahagiaan yang engkau berikan, engkau tentulah mati sahid, karena engkau meninggal saat berjuang mencari nafkah untuk keluargamu, selamat jalan, Bapak. Kembalilah kepada Tuhan dengan hati yang rida dan diridai." Gumam Mama lirih, namun jelas, dia mencium pipi Bapak, kening Bapak dan mengusap kepalanya. Kemudian bergantian mengelus kepala kami berdua bergantian.
"Pandanglah wajah Bapakmu, sepuas yang kau mau karena besok kalian sudah tidak lagi bisa memandangnya, namun jangan tangisi kepergiannya. Karena Bapakmu berpulang ke haribaan Tuhannya, Allah azza wa jalla."
Mama mundur memberi tempat kepada kami mendekat pada jasat Bapak. Aku dan Dinda mengikuti jejak Mama. Mencium, mengusap wajahnya dan kemudian mundur selangkah, memberi jalan pada petugas pemulasaraan jenasah yang hendak mengangkat Bapak.
Kami keluar dari ruang UGD, tiba-tiba kami menghambur kepelukan mama, kenapa aku dilarang menangis, padahal kami kehilangan?
Sebentar kemudian, saat mobil ambulan sudah disiapkan, dan jenasah Bapak sudah siap dibawa pulang,
"Duduklah didepan, biar mama dibelakang menjaga jenasah."
"Kita dibelakang semua, Ma. Karena ini adalah kesempatan terakhir kita naik mobil bersama Bapak."
Hingga sampai dirumah, kami bertiga bersama-sama melantunkan surat yasin, yang kami hidiyahkan pada Almarhum.
Tak ada tangis, tak ada air mata, kami ikhlas melepas kepergiannya.
*****
Baru satu minggu Bapak meninggal. Dirumah petak tempat keluarga kecil kami tinggal masih tersisa duka, bahkan mata Mama masih sembab, dibawah matanya dinaungi garis hitam. Nenekku juga belum banyak kata, biasanya beliau suka menceriterakan masa kecil Mama, tapi kedatangannya di rumah ini sejak satu minggu yang lalu, tak pernah ada lengkung bibir menghias wajah keriputnya, kehadirannya kali ini selalu dihabiskan untuk berkutat dengan pekerjaan, mempersiapkan makan kami sekeluarga, sebab sepertinya Mama lebih banyak termenung dari pada memikirkan makan anak-anak dan orang tuanya.
Sekali-sekali, Mama menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan.
Aku mengerti betapa berat beban yang mesti ditanggung mama. Setelah bapak meninggal, Mama menyandang status janda, tak bisa kubayangkan, betapa gerah status itu melekat padanya. Bukan hanya masalah mencukupi kebutuhan keluarga. Saat bapak masih ada, saat kedua orang tuaku bekerja apa saja yang bisa mereka kerjakan, hidup kami tidaklah terbilang berkecukupan. Kini setelah semuanya berubah, semoga jalan riski terbuka untuk keluarga kami.
Bapakku punya titel sarjana, tapi apalah artinya titel bila untuk mendapat pekerjaan yang layak dengan gaji yang cukup harus punya koneksi. Dan jaringan koneksi itu tidak ada di keluarga Bapak ataupun Mama.
Akhirnya, Bapak menjadi bekerja serabutan, apa saja yang penting menghasilkan uang halal, untuk keluarga kecilnya.
Ibuku, Sarjana Pendidikan.
Dan akhirnya menjadi guru untuk dua orang anaknya. Disamping menerima loundry dari tetangga, untuk sedikit mengurangi beban yang bapak tanggung.
Hingga akhirnya, belum selesai Bapak mengasuh aku yang masih kelas 7 SMP dan adik kelas 5 SD bapak berpulang. Inna lillahi wainna ilaihi rojiun.
Bapak meninggal karena kecelakaan kerja, beliau jatuh dari atap rumah orang yang hari itu diperbaiki.
"Baiklah ma, sekarang kita lanjutkan hidup, kita bertiga bersatu memperjuangkan harapan dan masa depan. Biarlah Bapak beristirahat dengan tenang."
*****