"Karin, kamu libur?" tanya Nenek yang sedang duduk di halaman rumah. Menikmati sinar mentari pagi.
"Iya. Kan hari Sabtu," jawabku yang sedang memeras pakaian basah lalu menjepitnya di jemuran. Pengering mesin cuci ngambek, walhasil aku harus mengeluarkan tenaga ekstra.
"Nanti tolong kembalikan majalah dan novel, sekalian pinjem lagi ya ...." pinta Nenek.
"Novel yang kayak gimana, Nek?" Aku mengusap peluh di dahi.
"Harry Potter seri keempat, kalau bisa pinjam sampai seri ketujuh," sahut Nenek.
Ya, ampun, Nenekku menyukai buku Harry Potter. Padahal bukunya tebal, apa sanggup membacanya?
"Ya, baiklah." Aku menyanggupinya tanpa protes.
Nenekku hobi membaca, di rumah ada satu lemari khusus menyimpan buku-buku koleksinya. Hampir satu bulan ini Nenek kembali keranjingan membaca, gara-gara Pak Edhie mempersilakan meminjam koleksi buku pribadinya.
"Sekalian belikan jeruk, yang manis. Cicip dulu biar nggak terjebak."
"Ada lagi?"
"Nggak ada."
Aku membuang sisa air cucian ke tanah, menciptakan cipratan warna coklat yang membasahi daun bunga mawar. "Nanti siang aku ke rumah Pak Edhie," ujarku.
"Sekarang. Nenek sudah bilang sama Pak Edhie kalau kamu mau datang," sahut Nenek agak ngegas.
"Oke, oke ...." Lebih baik mengalah daripada berperang melawan Nenek.
***
Rumah milik Pak Edhie agak unik terkesan klasik. Sulur bunga kuku macan atau lebih dikenal anggrek cantik dari Irian menghiasi pergola. Warna bunganya yang merah menyala kontras dengan daun hijau. Jari telunjukku menekan bel satu kali.
"Hei, Karin ... masuk." Bu Patmi--istri Pak Edhie--tersenyum ramah.
"Maaf, saya datang di pagi hari," ucapku.
"Nggak apa-apa, asal jangan datang di tengah malam." Bu Patmi terkekeh. "Aku sedang memasak, kamu masuk saja sendiri ya? Suamiku sedang ada tamu, jadi jangan merasa sungkan."
Aku mengangguk samar, melangkahkan kaki menuju ruang perpustakaan pribadi Pak Edhie yang tidak luas. Kukuak pintu yang lumayan berat, kemudian terlihat deretan ratusan buku yang tertata rapi. Kata Nenek bagai berada di surga dunia.
Sebelum mencari buku yang sesuai keinginan Nenek, aku berjalan mengitari ruangan. Hidungku bisa membaui aroma khas buku yang sudah tersimpan lama. Berhenti di depan jendela, nampak Pak Edhie sedang berbincang dengan seseorang. Aku tidak bisa melihat wajahnya, karena terhalang pohon nangka. Aku kembali berjalan ke arah rak buku fiksi, jadi, aku harus memulai mencari darimana?
"H, Harry Potter ... H ...." Aku melafalkan huruf H sambil merunuti satu per satu buku.
"Cari judul apa?"
Tanpa menoleh, aku tahu itu suara milik Pak Edhie. "Nenek mau pinjam buku Harry Potter."
"Ada di urutan bawah, pas di depan lututmu." Pak Edhie memberitahu. "Kamu atau Nenekmu yang baca?"
Aku berjongkok sambil menyahut, "Neneklah ... kan kemarin pinjem buku Mbak Rowling. Jadi ngefen, deh."
"Kirain kamu mau belajar sulap," imbuh Pak Edhie.
"Ha ha ha pingin tanya sama Dumbledore bagaimana menyihir Dokter ganteng," kelakarku.
"Kamu naksir Dokter?"
"Nggak, sih. Tapi Dokternya memang cakep banget." Aku membolak-balik buku Harry Potter di tangan. Seri kelima.
"Namanya siapa?" Pak Edhie penasaran.
"Al. Aldebaran," jawabku. Berdiri dengan tiga buku di tangan.
"Namanya sama dengan tokoh di sinetron yang digandrungi istriku. Apa orangnya seganteng itu?"
"Lebih ganteng Dok ...." Ucapanku bergantungan di kipas yang berputar begitu melihat sosok yang berdiri di samping Pak Edhie.
Dokter Aldebaran tersenyum-senyum melihatku. Entah apa yang ada dipikirannya.
Mati aku, Mak ....
Aku jadi tidak bisa bergerak seolah membatu. Muka serasa kaku sekali. Dokter Aldebaran mendengar ocehanku tentang Dumbledore.
"Apa yang kamu maksud Dokter Aldebaran yang cakep pake banget itu aku?" tanya Dokter Aldebaran pasang muka serius.
"Ng. Anu ... saya ...." Aku menarik nafas, menetralisir rasa grogi. "Pak Edhie saya pinjam buku Harry Potter seri keempat sampai enam. Buku yang kemarin saya taruh di meja. Saya permisi dulu," pamitku bergegas keluar dari ruang perpustakaan.
"Karin tergesa sekali, kita minum teh dulu," tawar Bu Patmi yang membawa baki berisi empat cangkir teh dan satu piring pisang goreng.
"Saya harus segera pulang," tolakku. "Maaf ...."
Aku tidak mungkin berlama-lama. Apalagi dengan adanya Dokter Aldebaran. Walaupun pisang gorengnya terlihat sangat menggiurkan.
Bagaimana akan kuhadapi hari esok?
***
Aku masuk ke kamar Nenek, beliau tidur dengan kacamata masih bertengger di hidung. Perlahan aku melepaskan kacamatanya, kemudian membenahkan selimut.
Kerut yang semakin menjadi terlukis di wajah Nenek. Sama dengan perasaanku yang semakin sedih karena takut akan kehilangan satu-satunya tempatku bernaung. Aku sudah kehilangan kedua orang tua sejak usia 9 tahun meninggal karena kecelakaan.
Nenek bekerja keras mencukupi kehidupanku, membiayai kebutuhan sekolah sampai jenjang perguruan tinggi. Walaupun kadang kami sering berselisih pendapat, walaupun sikapnya kadang menjengkelkan dan konyol, walaupun kecerewetannya bikin telinga pecah ... aku mencintai Nenekku.
Aku mengelus tangannya, tetap bersamaku, Nek ....
"Belum tidur? Ngapain pegang-pegang tanganku?" Nenek terjaga dari tidurnya.
"Tangan Nenek perlu dikasih pelembab, biar licin kayak belut," sahutku menyeringai.
"Sudah sana tidur, besok kamu kerja," suruh Nenek seraya memiringkan badan.
"Sweet dream, Nek ...."
"Sudah tua kagak ada mimpi-mimpi manis," ujar Nenek jutek seperti biasanya.
Aku sudah hendak beranjak dari kamar tidur ketika Nenek mengatakan, "i love you my cucu. Besok pagi tolong belikan kue nagasari dan buatkan teh tanpa gula."
"Siap Nenekku tersayang."
Apa pun yang Nenek minta, aku usahakan bisa terealisasi. Karena tanda baktiku tidak dapat melampaui kasih sayangnya padaku.
***
"Aku duluan, ya ... Romeo-ku sudah menunggu," kata Meta. Dia memasukan ponsel dan sisa cemilan ke dalam tas hitam miliknya.
"Nggak bosen ketemu terus?"
"Nggaklah." Hidung Meta mengerut. "Sampai ketemu besok," ujarnya kemudian berjalan ke luar poli kesehatan anak.
Aku bekerja di bagian staf administrasi rumah sakit. Aku dan Meta bekerja di loket pendaftaran poli kesehatan anak. Senyum ramah dan tutur bahasa yang sopan harus aku kuasai, karena setiap hari aku bertemu calon pasien.
"Terima kasih, Tuhan, Kau mengabulkan permintaanku ...," gumamku sendiri saat melangkah menyusuri lorong rumah sakit menuju tempat parkir.
Sedari pagi aku berdoa supaya tidak bertemu Dokter Aldebaran. Dan aku bisa menarik nafas lega karena bayangannya pun tidak terlihat.
"Kamu masih ingin menyihirku?"
Baru saja aku bersyukur, tetiba sang Dokter sudah menyamai langkahku. Ah, kebat-kebit rasanya jantung ini.
"Iya ...," jawabku ngawur. "Kira-kira mempan nggak ya?"
"Coba saja," sahut Dokter Aldebaran membuat nafasku tambah kembang kempis.
"Bukannya parkiran mobil berada di sebelah barat, Dok?" tanyaku untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku naik motor."
"Oh."
Duh, kenapa dia terus berjalan di sampingku? Menjauhlah ....
"Ini motormu?" Dokter Aldebaran bertanya, jarinya menunjuk motor matic.
"He he, iya."
"Kita kayaknya berjodoh, motor kita terparkir berdampingan," ucapnya.
Aku hanya mampu tersenyum garing mendengar ucapan Dokter Aldebaran. Mataku melihat tas ranselnya tidak tertutup.
"Maaf, Dok, tas ranselnya terbuka lebar."
Dokter Aldebaran memindahkan tas ranselnya ke atas motor. Tapi karena tangan satunya sibuk memegang helm, tas ransel itu jatuh. Beberapa barang berserak di atas paving block. Aku ikut membantu memunguti.
"Ya, Tuhan ...," desisku tidak percaya. Satu kotak berukuran sedang berisi k*nd*m berada di tanganku yang gemetaran.
Dokter Aldebaran yang ganteng ternyata mempunyai gaya hidup yang bebas. Aku tidak bisa mempercayai ini.
"Sini." Dokter Aldebaran mengambilnya dengan cepat.
Aku masih berdiri pucat, memandangi Dokter Aldebaran dengan penuh pertanyaan.
"Apa?"
"Kok Dokter bawa barang begituan."
Dokter Aldebaran mengesah. Dia membuka kembali jaketnya. "Lihat ini."
Mata ini mengikuti jari telunjuknya yang menunjuk bagian kanan dada atas. Di baju warna biru tua itu, tertulis dr. Aldebaran Prasetyo, SpOG.
"Aku mengumpulkan banyak berbagai jenis alat kontrasepsi, di ruang praktikku komplit, pikiranmu saja yang omes," gerutunya.
Ternyata dia Dokter kandungan.
"Aku dan beberapa teman kemarin melakukan penyuluhan gratis di perkampungan pinggir kota, tentang kesehatan ibu hamil dan pentingnya menjaga jarak kelahiran," lanjut Dokter Aldebaran memakai helm. "Kayak aku dan kamu harus jaga jarak biar nggak berkembang biak sebelum waktunya."
"Dokter!" Mataku membulat.
Login untuk melihat komentar!