Bab 5 Pitnah itu

Aku menepuk jidat sendiri setelah Aldebaran pergi. Semoga dia tidak menyadari kekonyolanku. Efek nonton film romantis, ketika seorang cowok mengantar kekasihnya pulang--ada satu kecupan mendarat di kening.

Bahuku terkulai lemah, berjalan masuk ke dalam rumah.

"Duh, yang gagal di cium," ledek Mak Sally tertawa terpingkal.

Nenek juga ikut cekikikan kayak hantu. Mereka berdua mengamati aku dan Aldebaran dari balik kaca jendela.

"Kenapa nggak kamu aja yang nyosor," celetuk Nenek tambah berderai tawanya. "Alfo nggak bakalan nolak."

"Pada senang ya ... melihatku menderita. Hih." Aku mendelik kesal.

"Lucu, sih," sahut Nenek.

"Apanya yang lucu?!" protesku tambah sewot dan malu.

"Ya, Mbak Karin yang lucu," sahut Mak Sally.

Aku segera masuk ke kamar. Menghempaskan tubuh di kasur. Melihat galeri foto di ponsel. Foto-foto kami berdua. Aldebaran sering merangkul bahuku. Tidak lebih dari itu.

Hari ini cukup melelahkan sekaligus menyenangkan. Baru sepuluh menit berlalu, aku sudah kangen.

Aku kangen, Dok ....

Apaan sih ... lebay banget.

***

Tiga hari berturut-turut, setiap berangkat dan pulang kerja Aldebaran bersedia jadi tukang ojek. Otomatis harus memandangi punggungnya. Ingin memeluk atau sekadar menempelkan wajah. Sungguh menyiksa.

"Kalau pegangan yang benar," ujar Aldebaran.

"Ini sudah pegangan."

Haish, dia tidak tahu aku selalu pegangan pada kursi belakang motor.

Aldebaran menoleh lewat bahunya, meraih tanganku. "Ini yang benar," katanya sambil melingkarkan kedua tanganku di pinggang miliknya.

"Boleh ya?"

Sedetik kemudian aku menyadari pertanyaanku yang konyol.

"Aku tahu dari kemarin kamu ingin memelukku," sahut Aldebaran nyengir.

"Bukannya kita harus jaga jarak ya? Kan sedang pandemi." Aku Pura-pura jaim.

"Kalaupun sakit, kita sakit bersama," tukas Aldebaran.

Asyik.

"Tapi, aku belum ingin mati," ucapku.

"Ya, udah lepas tanganmu. Bener ya, cewek itu makhluk paling antik," sungut Aldebaran, menyalakan mesin motor.

Tentu saja aku tidak melepas tanganku dari pinggangnya, tidak terlalu rapat dan erat kok pembaca. Swear, deh.

Hubungan kami berdua sedang hangat-hangatnya jadi perbincangan di rumah sakit.

Apa nggak salah tuh, Dokter Aldebaran suka sama Karin?

Duh, jangan-jangan di pelet sama Karin.

Atau.

Mungkin mata Dokter Aldebaran rabun ya? Karin nggak cantik-cantik amat.

Kan? Kan?

Aku yang jadi sasaran, padahal Aldebaran yang mepet terus. Aku yang dipepet ya mau saja, dari kecebur got. Lebih baik menerima uluran tangan Aldebaran.

"Kita mau ke mana?!" Aldebaran berseru mencoba mengalahkan deru dan bisingnya kendaraan.

"Beli pizza dan es krim." Kepalaku agak condong ke depan.

"Lemak semua!"

"Ga osah protes! Kemarin kamu ngajak muterin pasar barang antik, aku nggak protes!"

"Ya, ampun, baru jadi pacar galaknya bukan main. Apalagi jadi bini, semprot terus tiap hari!"

Aku mencoel pipi Aldebaran. Ternyata ada yang memperhatikan tingkah kami di perhentian lampu lalu lintas. Buru-buru aku menjauhkan tubuh.

Kami sampai di kedai pizza. Mengambil tempat duduk di dekat jendela. Aldebaran duduk di sebelahku. Kami memesan satu loyang pizza, satu es krim cokelat dan jus mangga.

"Besok keluargaku datang jam sepuluh." Aldebaran memakan pizza dengan rakus.

Besok hari Sabtu, keluarga Aldebaran akan datang melamarku.

"Dari kemarin kamu sudah memberitahu," sahutku.

"Siapa tahu kamu lupa."

"Nggak mungkin aku lupa tentang kamu." Aku mengulas senyum menggoda.

"Aku juga nggak mungkin lupa kalau ada kamu di hatiku," kata Aldebaran.

Lupa. Atau dilupakan. Kami berdua tidak akan saling melupakan.

***

Aih, dia tambah cakep dengan kemeja batik, celana hitam dan sepatu model derby. Senyum simpul tercetak di bibirnya saat mata kami bertautan.

Prosesi lamaran berlangsung sederhana, hanya dihadiri keluarga dan teman terdekat.

"Kamu cantik hari ini," bisik Aldebaran di telingaku.

Aku mengulum senyum malu. Lelaki di sampingku selalu dan selalu membuat jatuh cinta berkali-kali. Apa pun yang terjadi di balik tembok pernikahan, aku siap dengan segala resikonya. Karena aku sudah yakin dengan pilihanku.

Rencana pernikahan kami sudah di tentukan satu bulan kemudian. Aku sempat ingin memprotes, menyiapkan pernikahan cuma dalam kurun waktu satu bulan, rasanya kok nanti bisa ambyar.

Tapi, Nenek--seperti biasa--selalu jadi penentu. No debat. No protes.

"Besok aku akan bersepeda dengan teman-teman. Kamu mau ikut?" tanya Aldebaran.

"Aku nggak mau mengganggu kegiatanmu dengan para lelaki," tolakku. Bersepeda di perbukitan, menyusuri jalan setapak yang sempit. Aku tidak tertarik.

"Seharian kita nggak ketemu, apa kamu nggak kangen?" Alis Aldebaran terangkat satu.

"Bosen ketemu mulu," ucapku.

"Bohong itu, Pak Dokter," sambar Mak Sally ternyata mendengar obrolan kami. "Tiap hari Mbak Karin selalu mantengin foto Pak Dokter."

"Mak Saliyem ...." desisku jengkel.

"Pokonya Mbak Karin tuh cinta mati. Oh ya, Mbak Karin ingin dicium oleh Pak Dokter lho ...." lanjut Mak Sally.

Apa-apaan, nih ... hadeh.

"Iya kan, Mbak Karin?" goda Mak Sally sebelum berlalu.

Aldebaran memandangiku. "Kamu ingin dicium?"

"Nggak ...."

"Sabar, ya ... kalau sudah halal nanti aku cium ribuan kali."

Byuh.

Mak Sally membuatku salah tingkah dihadapan Aldebaran.

Topeng? Mana topeng? Aku ingin memakai topeng untuk menutupi semburat merah di pipi.

***

"Tumben tunanganmu nggak ngekorin kamu?" Meta mengunyah kerupuk dengan berlebihan. Sehingga terdengar ngilu di telinga.

"Emangnya aku terus yang diurusin, banyak pasien," sahutku agak sewot.

"Seminggu pacaran, dua hari yang lalu sudah dilamar. Sebulan lagi menikah. Sumpah, aku ngiri sama kamu," ucap Meta. "Pacarku anyep-anyep saja, padahal udah dua tahun pacaran.

Aku tidak menanggapi omongan Meta. Lebih menikmati nasi pecel.

"Bagaimana rasanya punya kekasih ganteng dan keren?"

Ingin kujawab sangat bahagia. Bukan karena gantengnya, karena aku mencintainya.

"Biasa saja," jawabku tidak ingin membuat Meta tambah iri.

"Masak?" Meta menyipitkan matanya.

"Aku bahagia karena kami saling mencintai."

"Dokter Aldebaran ganteng banget, lho, Karin."

Ganteng terus yang diucapkan Meta. Dia tidak sadar tengah memuji-muji tunanganku. Agak mendidih hati ini.

"Orang ganteng kentutnya juga bau, kamu harus tahu itu," kelakarku.

"Berarti kentut Dokter Aldebaran juga bau?" Meta terpingkal.

Jitakan agak keras mendarat di kepalaku. "Siap yang bau?"

Aldebaran berdiri dengan muka masam.

"Kentutmu bau kan? Nggak mungkin wangi." Aku nyengir.

"Walaupun aku sedang kentut dan menimbulkan aroma nggak sedap, kamu tetep ngusel terus," ceplos Aldebaran.

What?

Ngusel?

Aku? Pitnah itu.


Komentar

Login untuk melihat komentar!