Permintaan Terakhir Istriku
Part6
Berulang kali aku berusaha untuk membuka ponsel yang belum kuketahui siapa pemilik sesungguhnya.
Aku mencoba membuka dengan tanggal pernikahan, hingga tanggal lahir suamiku, masih juga belum bisa terbuka.
Lalu aku mencoba membuka kembali dengan tanggal lahir anakku, tetap saja tidak bisa.
Akhirnya aku hanya bisa menangis, rasa sesak di hati yang tidak bisa kutahan lagi, terlebih rasa curiga kini merasuki semakin dalam semakin sakit.
Aku bergegas menuju rumah sakit, dengan membawa ponsel itu. Aku berjalan sangat cepat ketika sampai di halaman rumah sakit.
Aku berlari kecil, untuk menjemput suamiku pulang hari ini, pintu kamar rawat suamiku terlihat terbuka sedikit.
Terdengar perbincangan dari dalam, aku memelankan langkah kaki yang menuju dekat pintu kamar tersebut.
"Mas, aku sudah menikah! Berusahalah untuk mencintai Istri kamu, dia wanita yang baik, pilihan orang tua kamu!" seru wanita itu terdengar lumayan jelas di telingaku.
"Susan, meskipun aku mencintainya, itu karena dia Ibu dari anakku. Ragaku boleh saja bersamanya, tapi hatiku, hatiku hanya milikmu!" lirih Suamiku, membuat sesak dihati kian bertambah, aku merasakan duniaku seketika hancur lebur. Suamiku, ternyata dia tidak pernah mencintaiku, selama ini hanya aku yang mencintainya.
"Jangan begitu, cerita kita sudah lama usai, fokuslah, Mas. Pada kehidupan kamu dan Mala, kamu tidak boleh memperlakukan nya seperti ini," tutur wanita yang bernama Susan itu.
Sekarang aku mulai memahaminya, sepertinya mereka adalah sepasang kekasih di masa lalu yang gagal dalam jodoh.
Lalu, kenapa aku yang harus menjadi korban semua ini.
Aku menjauh dari ruangan itu, aku duduk di ujung koridor rumah sakit, pikiranku semakin melayang tidak karuan.
Haruskah aku hancurkan hati anakku, dengan berpisah dengan Ayahnya. Suamiku, mengapa kamu tega membuat luka sedalam ini pada hubungan kita.
Aku kembali teringat kemasa saat aku bertemu denganmu, aku begitu mencintai kamu Mas, alangkah hebatnya jodoh itu. Aku yang hanya bisa ber-angan, nyatanya Allah menjodohkan kita menjadi sepasang suami-istri.
Lalu haruskah aku bercerai denganmu? Ketika aku mengetahui kebenaran selama sepuluh tahun pernikahan kita, ternyata kamu tidak mencintaiku sama sekali.
Batinku terkoyak, hatiku pilu membayangkannya runtuhnya rumah tangga yang sudah sepuluh tahun ini mewarnai kehidupan kita..
Tapi aku tak boleh lemah, aku akan berusaha mendapatkan hatimu, Mas.
Demi anak kita, ia tidak pantas menerima ini semua, aku akan berusaha keras, meski harus melewati Susan, wanita yang begitu kamu cintai.
Setelah mengusap air mata, aku bangkit dari dudukku, lalu berjalan kembali menuju kamar rawat suamiku.
Saat aku ingin mengucap salam membuka pelan pintu kamar, aku tersentak kaget melihat pemandangan yang mengejutkan.
"Astaghfirullah," ucapku seketika. Suamiku dan wanita itu pun tak kalah terkejutnya dengan kehadiranku.
Suamiku, ia langsung berdiri tegak.
Sakit sekali rasanya, melihat suamiku berlutut di depan wanita itu. Entah apa maksud semua itu aku pun tidak tahu, yang jelas, pemandangan seperti tadi berhasil meluluh lantakkan semangat di dalam diri untuk bertahan.
"Mala, maaf-- ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" ucap Susan yang nampak gugup melihatku.
Aku tetap terdiam, sama hal nya suamiku, ia pun hanya terdiam tanpa suara.
Sebaliknya, malah Susan-lah yang seakan gelisah terhadap kejadian tadi.
"Apa yang terjadi?" Aku hanya bertanya singkat, sebiasa mungkin kutahan emosi yang meluap-luap.
"Sudahlah, tak perlu di bahas! Ayo kita pulang." Mas Mario menjawab dengan dingin, tanpa berniat menjelaskan kepadaku. Ia memang selalu bersikap begitu acuh, seakan semuanya tidak perlu untuk di bahas.
"Berhenti..! Jangan menyentuhku, kalian bermain? Kalian menipuku? Kalian bahagia dengan cara seperti ini," aku mulai terbawa suasana, hatiku sesak, sakit dan kecewa kepada laki-laki yang selama sepuluh tahun ini menjadi suamiku.
Mendengar penuturanku, Mas Mario nampak menegang, menatapku dalam.
"Jangan salah paham, itu tidak benar!" kilah Susan seraya mendekatiku.
"Lalu? Jelaskan! Agar aku paham," ujarku lagi dengan suara dan tubuh bergetar, rasanya kini pijakanku mulai memelamah.
Susan terdiam sambil menundukkan wajahnya.
"Kenapa..., kenapa tidak ada satupun diantar kalian yang bisa menjawab pertanyaanku? Kenapa?" Aku mulai berteriak hingga badanku meluruh di lantai, aku menangis tersedu-sedu.
'Ya Allah, ini sakit sekali, lebih sakit dari melahirkan, lebih sakit dari sebuah pukulan.'
"Sudahlah, jangan ribut disini, malu. Ini rumah sakit!" ucap Mas Mario masih dengan dingin. Aku tak menyahut, aku juga tak menggubris perkataannya.