Kemuning dan Elang, pulang tak melewati jalan yang dilalui saat mereka berangkat tadi. Keduanya berjalan agak memutar jauh,lewat padang stepa yang di tumbuhi ilalang perdu. Padang itu tak hanya ditumbuhi ilalang saja, ada juga bunga rumput bewarna kuning yang sedang bersemi yang mendominasi ladang. Mereka sengaja mengulur waktu umtuk menghabiskan makanan ringan yang dibeli Elng di warung.
"Aku baru melihat padang bunga seindah ini," ucap Elang sambil menghirup udara segar dari sekitarnya. Tanpa Kemuning tahu kalau sedari tadi laki-laki tampan ini tengah mengumpulkan bunga dan merangkainya menjadi satu. Sedang Kemunging sendiri memilih memejamkan mata meniup aroma bunga kuning yang ditanamnya dulu.
"Bunga nya cantik bukan? Aku yang menanamnya, meniupkan kemampuanku ke padang ini. Aku menyukai bunga, segala jenis bunga." Di mata Elang, Kemuning lebih cantik dari semua bunga yang ada di muka bumi. Jujur, Elang mengagumi kepolosan gadis ini namun untuk menaruh rasa suka ia merasa tak pantas. Kemuning bak air jernih yang di wadahi kendi kaca. Sungguh menyejukkan yang melihat namun juga rentan untuk pecah .
"Kemampuanmu pernahkah kamu gunakan untuk menolong orang?" Kemuning berhenti melangkah ia berbalik arah menatap Elang lekat-lekat.
"Pernah, waktu aku kecil aku sering melakukannya namun nenek tahu dan melarangku. Terakhir bukankah aku menolongmu?" tanya Kemuning balik, dan Elang tak akan melupakan jasa Kemuning yang telah menyelamatkan nyawanya. Gadis itu Cuma butuh waktu sekejab menutup luka tembakannya seperti sediakala. Walau anenya gadia itu malah pingsan.
"Terima kasih mau menolongku." Kemuning tersenyum, senyumnya begitu teduh mampu membuat waktu berhenti sejenak. Elang tak dapat memungkiri kalau gadis ini begitu menarik namun untuk dapat membawa Kemuning ke dunianya, rasanya mustahil. Dunia yang Elang tempati begitu pekat, minim cahaya sedang Kemuning dikelilingi oleh cahaya kehidupan yang begitu terang sinar pijarnya. "Untuk membalas rasa terima kasihku, maukah kamu ikut jalan-jalan ke pasar malam besok". Inilah hal terakhir yang hanya bisa Elang lakukan untuk membalas budi. Karena ia rasa setumpuk uang juga tak ada gunanya untuk gadis ini.
Mata Kemuning berbinar saat diajak oleh Elang ke pasar malam. Ia tadi sempat melihat kertas pengumuman yang di tempel di dekat warung. Apa Elang melihatnya? Melihat Kemuning ingin sekali pergi ke pasar malam. Terakhir ia melihat pasar malam ketika berusia 11 tahun dan itu pun melihat dari jarak yang luamayan jauh. Neneknya tak mengijinkannya untuk ke sana.
"Tapi nenek akan tahu."
"Tenanglah, kita perginya malam sehabis petang!!"
Pergi tidak, ya? Kemuning ingin sekali namun ia takut ketahuan. Tapi pasar malam hanya ada setiap 4 tahun sekali, itu pun berlangsung cuma 1 minggu. Kemuning menggigit bibir, karena ragu-ragu tapi bayangan aneka permainan dan makanan di pasar malam menari-nari di benaknya.
"Apa kamu tak ingin melihat-lihat pasar malam. Mencoba permainan di sana?"
"Baiklah, aku mau pergi." Tanpa diduga Elang memberi Kemuning sebuah mahkota bunga dan menghiasi kepala Kemuning dengan benda itu. Senyum di bibir Kemuning terbit kemudian. Hadiah ini benar-benar istimewa.
"Begini lebih cantik, kan?" Di puji seperti itu, pipi Kemuning bersemu merah. Ia tersipu malu-malu.
Respon alami Kemuning membuat Elang terkekeh sendiri. Begitu polosnya gadis ini. Karena terlalu malu, Kemuning sampai tak sadar kalau pergi cepat-cepat meninggalkan Elang yang berjalan di belakangnya.
“Besok aku akan menemuimu di pinggir hutan jam 7 malam.”
🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈🎈
Kemuning sebisa mungkin memakai pakaian terbaiknya. Malam ini ia akan berjalan-jalan dengan Elang. Sungguh bahagia sekali hatinya. Ia mengepang rambutnya menjadi satu, menempatkan sebuah pita cantik bewarna merah di ujung suraunya yang berwarna sepakat malam. Kemuning mengambil sepasang anting mutiara di kotak perhiasan. Anting ini begitu indah dan menambah kecantikannya. Anting ini peninggalan sang ibu, Kemuning tak berani sering memakainya karena takut akan hilang.
"Nona mau kemana? Ini sudah malam."
"Terus kenapa? Tak ada binatang yang akan berani mengigitku." Layon punya kekhawatiran lain yang akan ia sampaikan. Laki-laki asing yang berjalan bersama nona mudanya, auranya begitu abu-abu mengarah ke gelap. Mungkin dengan nona, ia tak punya niat jahat namun yang jelas asal muasal laki-laki itu tentu berbeda dengan mereka.
"Nona, akan pergi bersama pria muda yang berada di rumah nyonya Yatri?" tanyanya ingin tahu. Layon ingin memastikan kalau nonanya tak akan berbohong.
"Iya memang kenapa?"
"Sebaiknya nona tak mengepang rambut, rambut nona lebih indah jika digerai."
"Begitukah? "
"Heem mengepang rambut sudah ketinggalan jaman, mari saya bantu berdandan." Kemuning kira Layon akan melarang dan memberi banyak nasihat namun ternyata orang kepercayaan neneknya baik juga. Perempuan kerdil itu mencoba untuk memberi kepercayaan pada nonanya. Nanti ia akan tempatkan beberapa temannya untuk mengawasi Kemuning. Berjaga-jaga kalau pemuda bernama Elang itu berniat tak baik.
🍨🍨🍨🍨🍨🍨🍨🍨🍨🍨🍨🍨🍨
Elang menunggu Kemuning di pinggir hutan sambil memainkan tumbuhan ilalang yang tumbuh setinggi pinggang. Ia sebenarnya agak ngeri melihat hutan Ganpati yang gelap di telan malam. Hawa di sini begitu dingin menusuk tulang. Beberapa kali Elang mengeratkan pegangan pada kedua lengannya yang nampak kokoh namun harus tunduk dengan hawa dingin hutan Ganpati.
"Kamu kedinginan?" tanya Kemuning yang baru saja datang. Gadis itu terlihat sangat cantik walau wajahnya tak di poles make up sama sekali. Elang melihat kaki Kemuning yang beralaskan sendal kulit yang modelnya sederhana. Rambutnya tergerai rapi, tak dihiasi apa pun.
"Sedikit, kita berangkat sekarang?"
Ketika tangan Kemuning terulur untuk di gandeng. Elang dengan cuek berjalan. Kemuning kecewa, ia membolak-balikkan telapak tangan sambil memajukan bibirnya beberapa centi. Kemuning kesal, namun apa yang ia kesalkan? Mereka berjalan dalam keheningan malam. Elang merasa tangannya hampa namun ia tak punya keberanian menggandeng tangan Kemuning. Perjalanan mereka ke pasar malam hanya di selimuti kebisuan tanpa ada yang mau membuka suara atau memulai pembicaraan.
Sampai di sana, Kemuning takjub dengan keramaian suasana pasar malam. Ia seperti anak kecil yang pertama kali melihat pesawat terbang. Heran dan hampir berlari kalau saja tangan Elang tak buru-buru mencekalnya.
"Tenanglah, kita akan mencoba permainan satu-satu. Apa kau tak pernah main ke sini?"Kemuning menggeleng. "Seumur hidup? Sampai umurmu yang sekarang?" Kemuning menggeleng lagi. Sebenarnya kehidupan yang Kemuning jalani. Di dalam sangkar seperti manusia berpenyakit mematikan sehingga harus di karantina? Dia tak diperlakukan bagai putri, kemampuannya seperti penyakit tanpa obat sehingga harus disembunyikan rapat-rapat.
"Nenek selalu melarangku, katanya kemampuanku tak boleh ditunjukkan kepada siapa pun sebelum aku menjadi padma penjaga hutan selanjutnya."
"Aku lihat nenekmu seperti dukun,membantu orang yang melahirkan dan membuat ramuan obat untuk orang sakit." Kemuning menggigit bibir, Elang orang ke sekian yang mengatakan kalau neneknya itu seorang dukun. "Apakah nenekmu punya kemampuan seperti dirimu?"
"Tidak, nenek punya kemampuan membaca masa depan tapi setiap padma punya kemampuan berbicara dengan binatang dan juga tumbuhan. Begitu pun nenek." Kemuning merasa pertanyaan Elang begitu mengganggunya. "Apa kau akan bertanya lagi?"
Elang lupa ia mengajak Kemuning ke sini untuk bersenang-senang. "Ayo kita naiki semua wahana yang kamu inginkan.
Hal yang di nantikan Kemuning akhirnya tiba. Elang menggenggam tangannya, mengajaknya bermain di beberapa wahana. Ekspektasi Kemuning, permainan-permainan itu sangat menyenangkan namun ternyata tak sesuai harapan. Perutnya terasa teraduk-aduk dan kepalanya pening saat menaiki komidi putar. Elang yang melihatnya, berusaha untuk tak tertawa.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Aku tak mau naik wahana lagi."
"Sebaiknya kita beli minum dan cemilan untuk mengganjal perut." Mereka berjalan menuju stan makanan. Kemuning tak peduli Elang akan memberinya makan apa. Perutnya kini tak bisa diajak kerjasama.
"Minumlah ini!!" Elang menyodorkan se cup teh manis hangat dan juga jagung manis bakar. Kemuning menyeruput teh hangat itu pelan-pelan. Jagung bakarnya hanya ia pegang, tak niat dimakan.
"Apa kau tak mau naik lagi? Kita bisa jalan-jalan saja menikmati pasar malam ini." Kemuning menarik nafas sebentar, ia butuh ancang-ancang untuk melangkahkan kaki.
"Kita jalan-jalan saja." Elang menggenggam tangan Kemuning erat. Tak tahukah genggaman tangan Elang mampu membuat hati Kemuning melompat kegirangan. Jantungnya berdetak sangat cepat, ia senang diperlakukan begini namun Kemuning tak bisa memelihara perasaan aneh yang ia rasakan. Elang dan ia punya perbedaan yang sangat kental. Kemuning hanyalah gadis kampung penjaga hutan sedang Elang, dia pemuda kota yang tak mungkin Kemuning gapai. Kebahagiaan yang ia cecap saat ini akan jadi kenangan manis yang akan selalu Kemuning ingat.
Saat tangan Elang menggenggam tangan Kemuning. Pemuda itu hanya merasa kalau gadis polos ini harus dilindungi dari kejamnya dunia. Jiwanya begitu murni, tak boleh dinodai. Tiba-tiba langkahnya berhenti di stan penjual aksesoris wanita. Elang mengambil jepit bermotif bunga anggrek, memasangkannya pada rambut Kemuning. Lihatlah betapa manisnya reaksi Kemuning. Pipinya bersemu merah, kontras sekali dengan warna kulitnya yang putih.
"Kamu terlihat manis saat memakai ini."
Senyum Kemuning seketika mengembang dalam hati ia ingin melompat-lompat dan berteriak menyatakan senang. Ini pertama kalinya ia mendapat sebuah hadiah dari seorang laki-laki.
"Jepitnya bagus." Tanpa menunda lagi, Elang membayar jepit rambut itu.
Hari sudah semakin larut mereka bergegas pulang. Kemuning senang sekali hari ini, tangan Elang selalu menggenggam tangannya. Bolehkah berharap kalau waktu akan berhenti, ia memimpikan bisa bahagia selamanya dengan pasangan seperti Elang namun Kemuning sadar. Mungkin saat Elang kembali ke kota. Laki-laki itu akan melupakan kenangan mereka. Kemuning mungkin cuma salah satu gadis yang Elang kenal dan akan dilupakan cepat oleh pria itu setelah kembali ke tempatnya berasal. Dada kemuning terserang nyeri. Perasaaan ini sungguh tak enak tapi Kemuning juga tak paham namanya.
Duarr
Kembang api dari pasar malam sudah dinyalakan. Cahayanya menghias langit yang begitu gelap. Kemuning dan Elang masih bisa melihatnya dalam perjalanan mereka pulang. Kemabng api yang cantik
"Dulu Aku hanya bisa melihat kembang api tanpa pernah mengunjungi pasar malam, terima kasih untuk hari ini," ucap Kemuning sambil menundukkan wajah. Ia senang sekaligus sedih.
Duarr
Kembang api kedua dinyalakan namun mereka tak melihat pijarnya di angkasa. Dahi Kemuning berkerut bingung namun Elang seperti menyadari sesuatu. Pegangan tangannya pada Kemuning ia lepas. Elang tiba-tiba berlari dengan sangat cepat, diikuti oleh Kemuning dari belakang walau lari gadis itu kalah cepat. Elang tahu bunyi suara itu berasal dari senjata api yang ditembakkan ke udara. Semoga ia tidak terlambat.
🌲🌲🌲🌲🌲🌲🌲🌲🌲🌲🌲🌲🌲