Sebelum baca jangan lupa klik BERLANGGAN, ya.
PenolakanTak pernah terbayangkan hubunganku dengan Mas Prima harus mengalami ujian. Setelah kami berdua memantapkan hati untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, justru mendapat penolakan dari calon ibu mertuaku.
"Pokoknya Ibu nggak setuju kamu nikah sama dia," ucap ibunya Mas Prima saat kami meminta izin.
"Alasannya apa, Bu? Aku mencintai Rania, tolong restui hubungan kami." Mas Prima berusaha meyakinkan ibunya.
Namun, calon ibu mertuaku tetap pada pendiriannya. Penolakan demi penolakan pun terlontar dari bibirnya. Ketika mendengar ucapan beliau, hatiku seketika runtuh. Kepingan luka pun berserakan.
"Masa kamu mau nikah sama penjaga toko ini? Kamu itu tentara, sersan lagi. Masih banyak cewek yang lebih dari dia," ucap kakaknya Mas Prima turut mencampuri urusan adiknya. Dia berdiri sambil menatapku nyalang.
Tanganku spontan meremas ujung baju bagian bawah sangat erat. Berkali-kali kutelan ludah. Sungguh dadaku terasa sesak.
Ya, aku memang hanya karyawati di toko yang menjual barang pecah belah. Keluargaku pun jauh dari garis kemewahan, tapi bukan berarti aku tak pantas mendapatkan cinta, bukan?
"Maaf, Bu, saya permisi," pamitku.
"Ya udah keluar aja. Ngapain juga kamu di sini?" jawab ibunya Mas Prima sarkas.
Kemudian, aku keluar ruangan sebelum hatiku benar-benar patah karena mendengar penghinaan dari orang tua Mas Prima.
Ketika sampai di halaman rumah Mas Prima, kuluahkan semua beban yang mengimpit dada. Tangis pun seketika meledak.
"Sabar. Aku akan tetap nikahi kamu, Rania." Tiba-tiba Mas Prima memelukku dari belakang.
Air mataku makin mengucur deras. Hingga sepatah kata pun enggan keluar dari mulutku. Bibirku terasa seperti terkunci. Hanya cairan bening yang bisa menjelaskan betapa hancurnya hatiku.
Kemudian, kulepaskan pelukan Mas Prima. Aku melangkah pelan keluar dari halaman rumahnya. Kembali kudengar suara derap langkah yang mengikutiku dari belakang. Namun, tetap tak kuhiraukan.
"Rania! Jangan pergi!" teriak Mas Prima. Sayangnya, teriakannya itu tak mampu menghentikan langkahku.
Mendadak suara guntur menggelegar. Kilatan cahaya yang berasal dari petir pun saling bersahutan. Seketika hujan turun, sepertinya dunia memang ingin menangisi kisah cintaku yang pilu. Bagaimana tidak? Hubungan yang kubangun selama tiga tahun ternyata tak mendapat restu orang tua.
Meski hari makin gelap dan hanya diterangi pantulan lampu jalan, sama sekali tak mampu menghentikan langkahku. Kendaraan yang ramai lalu-lalang pun tak menyiutkan nyaliku menyusuri jalanan. Justru tangisku enggan berhenti di bawah derasnya air hujan.
Berselang beberapa menit, terdengar suara motor dan seketika berhenti tepat di depanku. Ternyata Mas Prima masih dengan seragam loreng yang melekat di badannya. Berkali-kali kuseka air mata sambil melanjutkan berjalan kaki. Dinginnya air hujan pun tak sanggup menyurutkan tekadku melangkah menjauhi Mas Prima.
"Rania, nanti kamu sakit. Ayo, ikut aku," teriak Mas Prima dari arah belakang.
Lagi-lagi aku bergeming. Sakit fisik sepertinya tak akan sebanding dengan rasa sakit yang kian menusuk hatiku. Aku tetap tidak memedulikan ucapan kekasihku itu.
Mas Prima masih saja mengikutiku dari belakang. Seketika kuhentikan langkah dan membalikkan badan.
"Mas, tinggalin aku. Hubungan kita cukup sampai di sini. Aku nggak mau kamu jadi anak durhaka. Patuhi permintaan ibumu," ucapku dengan suara parau.
Sontak Mas Prima turun dari motor. Tangannya memegang kepalaku dan menatapku tajam. "Please, jangan ngomong kayak gitu. Aku mau perjuangin cinta kita. Kita sama-sama berjuang, ya."
Aku tak sanggup mendengarnya. Ya, aku memang sangat mencintai Mas Prima, tapi di lain sisi hubungan kami ditentang. Bukankah kunci kebahagiaan adalah doa orang tua? Bagaimana kami bisa menjalani hubungan tanpa restu mereka?
Melihat wajah Mas Prima yang begitu tulus, air mataku kembali mengalir. Entah seperti apa ujung kisah cinta kami.
Ucapan ibunya Mas Prima masih terngiang di telinga. Hatiku kembali berdenyut perih. Langkahku pun mantap meninggalkan lelaki yang sangat kucintai. Namun, Mas Prima tetap mengikutiku. Saat kendaraan umum melintas, langsung saja kuhentikan. Kemudian, aku masuk mobil yang membawaku menuju rumah.
Ketika tiba di rumah, terdengar suara motor. Saat aku menoleh, ternyata Mas Prima membuntutiku. "Mas, mau apa lagi kamu ke sini?"
"Rania, masa kamu nyerah gini aja? Aku akan rayu Ibu biar restui hubungan kita." Mas Prima seketika berjalan ke arahku.
Aku makin tak kuasa membendung kesedihan. Otakku seketika berpikir, sepertinya benar apa yang dikatakan Mas Prima. Aku tak boleh menyerah begitu saja.
Dengan berat hati aku mengangguk mantap. Seketika binar kebahagiaan terpancar dari wajah Mas Prima. Lelaki bertubuh tegap itu berulang kali mengusap air mataku sebelum akhirnya dia pamit kembali ke barak untuk apel malam. Ya, kekasihku itu berdinas di rindam sehingga masih ada sedikit waktunya bertemu denganku. Tidak terlalu sibuk seperti pacar teman-temanku yang bertugas di batalyon.
Setelah Mas Prima pergi, aku bergegas masuk rumah dan berganti pakaian. Lagi-lagi ucapan calon ibu mertuaku menyeruak di ingatan. Sungguh, mulutnya melebihi belati yang berhasil merobek hatiku.
"Bukannya kamu shift pagi? Tumben baru pulang jam segini, Rania?" tanya ibuku sambil menyiapkan dagangan untuk esok di dapur bersama Bapak.
"Iya, Mak, tadi mampir ke rumah temen dulu," kilahku berusaha tenang.
"Tapi kayaknya tadi ada suara motor. Kamu pulang sama siapa?"
"Oh, itu Mas Prima. Tadi diantar sama dia." Kemudian, aku melangkah menuju kamar sebelum ibuku bertanya lebih banyak lagi.
Ya, ibuku telah mengenal Mas Prima sebelumnya karena tiap aku libur kerja dia selalu datang menemuiku.
Entah mengapa sejak pulang dari rumah Mas Prima, luka di hatiku masih saja terasa, justru makin menganga ketika teringat ucapan ibunya.
"Mbak kenapa? Tumben nggak semangat," tanya Rima, adikku satu-satunya.
"Biasa, kecapekan kerja." Aku menjawab tanpa menoleh ke arah adikku yang sedang berbaring sambil memainkan ponsel.
"Capek apa patah hati?" timpal Rima meledekku.
"Anak kecil tau apa? Mbak bener capek, kok."
"Ya udah, deh. Aku tadi ngintip Mbak bicara sama Mas Prima." Ucapan Rima seketika membuatku mati kutu.
Aku pun langsung ikut merebahkan badan di samping Rima. Pikiranku masih saja melayang memikirkan nasib hubunganku dengan Mas Prima. Ucapan ibunya pun masih tengiang hingga mataku sulit terpejam meski raga ini terasa seperti terajam.
PLAK! Tiba-tiba tangan Rima mendarat di pipiku. Sontak aku beringsut bangun.
"Maaf, Mbak, tadi ada nyamuk makanya aku pukul." Rima bicara sambil cekikikan.
Ingatanku tentang ibunya Mas Prima seketika buyar karena ulah Rima. "Kamu itu usil banget."
"Soalnya Mbak dari tadi ngelamun aja," jawab Rima tanpa ada rasa bersalah.
Seketika pikiran positif mengisi benak. Apapun yang terjadi, aku harus bisa meluluhkan hati ibunya Mas Prima. Berusaha membuat beliau yakin bahwa gadis biasa sepertiku juga layak dicintai dan mendapatkan cinta.
Bersambung