"Sudah, Nak. Tadi Bapak langsung dibawa ke rumah sakit dan beliau yang nanggung semua biayanya," terang Bapak.
Kemudian, Mas Prima langsung mengutarakan maksud kedatangannya. "Pak, Rania ada?"
Sambil menguping dari kamar, tiba-tiba Bapak memanggilku. Aku langsung membaringkan badan ke tempat tidur dan berpura-pura tidur. Tak lama, terdengar handle pintu, sepertinya Bapak yang membuka. Seketika tak terdengar lagi suara apa pun. Kemungkinan Bapak sudah pergi.
"Rania lagi tidur. Kayaknya dia kecapean tadi ngurusi Bapak di rumah sakit." Kudengar Bapak memberi tahu Mas Prima.
"Oh, iya dah, Pak. Kalau gitu saya pamit dulu. Salam saja sama Rania." Kembali kudengar suara motor dan lamat-lamat suara motor tersebut makin menjauh hingga tak terdengar lagi.
Aku bernapas lega, lalu beringsut duduk. Kupandangi terus ponsel yang tergeletak di kasur. Kesedihan seketika menyelimuti batinku. Keputusan yang sangat berat harus meninggalkan Mas Prima.
Beberapa saat kemudian, ponselku bergetar. Kulihat ada sebuah pesan dari Mas Prima. Jantungku seketika berdetak lebih kencang. Entah pesan apa yang dia kirimkan untukku. Perlahan tanganku menggeser ponsel dan langsung membuka pesannya.
[Aku tau kamu pura-pura tidur. Barusan juga nelepon aku, masa secepat itu kamu tidur. Ya udah, kalau emang keputusanmu seperti itu. Semoga kamu bahagia bersama lelaki pilihanmu dan tidak menyesali semua ini]
Saat membaca pesan dari Mas Prima, mataku mendadak perih. Membayangkan serangkaian kenangan manis bersama kekasihku itu. Air mata pun seketika meluncur begitu saja harus menjalani kenyataan pahit yang kualami.
Usai membaca pesan dari Mas Prima, kuletakkan ponsel begitu saja tanpa membalasnya. Aku bingung, entah apa yang akan kukatakan padanya. Jujur, hati ini tak bisa melupakannya, tapi keadaanlah yang menuntutku seperti itu. Air mata kian membanjiri pipi. Dadaku makin sesak.
Tak berselang lama, ponselku kembali bergetar. Kulirik sejenak, ternyata telepon dari Mas Prima. Namun, tetap tak kuhiraukan. Setelah beberapa panggilan tak terjawab, Mas Prima kembali mengirimiku pesan.
[Rania, tolong jawab teleponku. Aku nggak mau putus sama kamu. Aku benar-benar serius sama kamu, Rania. Walaupun kamu udah sama orang lain, hatiku tetap untukmu]
Aku makin tergugu sambil membaca pesan dari Mas Prima. Ya ampun, Mas, seandainya kamu tahu perasaanku saat ini. Betapa hancur lebur tak tersisa lagi.
Karena tak ingin membuat Mas Prima terkatung-katung, terpaksa kubalas pesannya.
[Maaf, Mas, aku nggak bisa. Kamu pasti bisa dapat pengganti yang lebih dariku. Makasih atas semuanya]
Setelah pesanku terkirim, langsung kumatikan ponsel. Mataku terasa bengkak karena sedari tadi menangis. Saat sedang meluapkan semua beban di hati, mendadak Rima masuk. Dia terheran melihatku berlinangan air mata.
"Mbak kenapa?" tanyanya sambil memandangiku tanpa henti.
"Nggak papa," jawabku seraya mengusap air mata.
"Jangan bohong, Mbak. Mbak ada masalah apa sama Mas Prima? Tadi dia datang kenapa Mbak nggak mau temuin?" Rima masih saja mencecarku dengan banyak pertanyaan.
"Tutup pintunya, nanti Bapak sama Emak tau." Aku mendorong badan Rima menuju pintu.
Adikku itu pun langsung menuruti permintaanku. Dia masih tampak kebingungan.
"Mbak, cerita sama aku Mbak itu kenapa?" Rima memegang kedua tanganku seraya memohon.
Ya, adik semata wayangku itu memang sangat perhatian padaku meski keseharian kami seperti kucing dan tikus. Namun, jauh di lubuk hati kami selalu saling menyayangi.
Tak ingin membuat Rima terus penasaran, terpaksa kujelaskan yang sebenarnya. "Mbak putus sama Mas Prima."
Mata Rima membelalak seolah tak percaya. "Tapi kenapa, Mbak? Bukannya kemarin Mbak Rania bilang Mas Prima itu serius? Katanya dia mau ngajak urus nikah, kenapa sekarang putus, Mbak?"
"Karena keadaan kita. Karena Mbak hanya gadis penjaga toko yang jauh dari kata mewah," jawabku datar.
Belum selesai bercerita, tiba-tiba Bapak memanggilku. Spontan kuusap wajah agar tidak tampak jejak air mata. Kemudian, aku segera menemui Bapak yang sedang duduk di ruang tamu.
"Rania, tolong belikan Bapak minyak tawon. Mau urut-urut tangan, kok, kayaknya pegal-pegal," pinta Bapak sambil mengulurkan selembar uang berwarna biru.
"Nggak usah, Pak. Aku masih ada uang, biar pake uangku saja." Aku menolak uang pemberian Bapak dan melangkah keluar.
"Kamu kenapa, Rani?" Suara Bapak seketika menghentikan langkahku dan spontan membalikkan badan.
Bapak menatapku dalam. "Kamu habis nangis?"
Aku langsung menjawab dengan gelengan. Kemudian, segera melangkah keluar. Yak ingin membuat Bapak makin kepikiran.
Saat berjalan menuju apotek, tiba-tiba Dirman, tetangga sebelah rumahku menawariku tumpangan. Ya, di tempatku minyak tawon hanya dijual di apotek, tidak ada di kios-kios kecil.
Karena jarak apotek lumayan jauh, aku pun menerima tawaran Dirman. Ketika di pertigaan tak jauh dari apotek, sebuah motor tampak di sebelah dan mengikuti kami. Saat mataku menoleh, betapa terkejutnya diriku Mas Prima yang berada di motor tersebut.
Tampak wajahnya merah padam seperti menyembunyikan amarah. Spontan aku melengos dan enggan menatap ke arahnya. Ternyata Mas Prima tetap mengikutiku hingga apotek.
"Rania, tunggu!" teriak Mas Prima ketika aku melangkah menuju apotek.
Sontak aku berhenti dan menoleh ke belakang. Mas Prima sedang berdiri dengan raut wajah kesal. Aku bergeming. Benar-benar bingung harus berkata apa.
"Apa itu cowokmu yang baru?" tanya Mas Prima sambil mengedarkan pandangan ke arah Dirman.
Tanpa menghiraukan ucapannya, aku segera masuk apotek dan meninggalkan Mas Prima begitu saja.
Selama di dalam, mataku terus memperhatikan ke luar. Mas Prima masih duduk di atas motor bersebelahan dengan Dirman. Mereka sepertinya tidak saling sapa. Astaga, bagaimana ini? Aku berniat menghindari Mas Prima, malah terjebak di sini.
Aku sengaja berlama-lama di dalam apotek. Mataku terus saja memindai ke arah luar. Ternyata Mas Prima masih berada di tempat yang sama. Aku makin bingung. Apa yang harus kulakukan setelah ini? Bagaimana caranya menghindari Mas Prima?
Bersambung