Cemburu
Aku masih mematung hingga Mas Prima hilang dari pandanganku. Kata-kata ibunya kembali mengusik pikiranku. Ya Allah, kenapa nasibku begini? Jika memang Mas Prima tak bisa bersanding denganku, mengapa juga kami harus bertemu? Aku tak bisa membayangkan bila pertemuan indah berujung perpisahan. Menyakitkan. 

Kakiku perlahan melangkah masuk rumah. Bola mataku seketika menangkap Emak sedang terbaring di atas dipan berbalut kain sarung. Aku segera menghampiri beliau. Hatiku kembali teriris ketika memegang dahinya menggunakan telapak tangan. Ternyata emakku demam. 

"Astaghfirullah. Mak sakit? Mana Bapak?" tanyaku penasaran sambil memindai seluruh isi ruangan. 

Kemudian, aku bergegas mengecek kamar hingga dapur. Tak ada orang sama sekali. Rima pasti belum pulang sekolah. Lalu, di mana Bapak? Mengapa beliau meninggalkan Emak sendirian di rumah? 

Tanpa pikir panjang, aku segera membawa emakku ke puskesmas terdekat. Namun, beliau selalu menolak dengan alasan biaya. Karena tak ingin terjadi sesuatu dengan beliau, berjuta alasan kugunakan untuk membujuknya. Bersyukur Emak menerima tawaranku berobat ke puskesmas. 

Kupapah pelan Emak menuju halaman. Kemudian, aku meminjam motor tetangga. Sialnya, tetangga tak ada satu pun yang bersedia membantu. Akhirnya, kuputuskan untuk menyewa demi membawa Emak ke puskesmas. 

Kulajukan motor pelan-pelan membelah jalanan. Setelah tiba di puskesmas, petugas langsung menangani Emak. 

"Mak, Bapak ke mana?" tanyaku penasaran. 

"Bapakmu masih di pasar. Tadi Emak tiba-tiba menggigil terus pulang. Bapakmu yang jaga dagangan di sana. Kalau Bapak ikut pulang nanti nggak dapat uang," jelas emakku dengan nada melemah. 

Seketika aku berpikir. Ingin sekali membahagiakan kedua orang tua. Jika teringat pengorbanan mereka, hatiku ngilu. Tak bisa kubalas dengan apapun dan sampai kapan pun. 

"Mak, mending Emak sama Bapak diam aja di rumah. Biar aku aja yang kerja. Insyaa Allah bisa nyukupi kebutuhan kita." Aku mengelus pundak Emak sangat lembut. 

"Nggak usah, Rania. Emak sama bapakmu masih kuat kerja. Lagian kalau kita di rumah aja mau bikin apa? Malah bosan. Pokoknya kamu fokus sama hidupmu sendiri aja. Kalau ada lebih lihat adikmu." Emak melepas tanganku dan mengelus punggung telapak tanganku sangat lembut. 

Mataku seketika memanas. Kembali teringat ucapan ibunya Mas Prima. Sungguh menyayat hati. 

Tak berselang lama, petugas memanggil nama Emak dan menuju ruang dokter. Setelah itu, kami masih harus mengantre obat di apotek. 

"Ran, gimana hubunganmu sama Prima? Apa dia serius sama kamu?" ucap Emak sambil merebahkan kepalanya di bahuku. 

"Alhamdulillah baik, Mak. Rencananya dia mau ngelamar aku, Mak. Doain ya." Kuambil telapak tangan Emak dan langsung menciumnya seraya meminta doa. 

"Emak selalu doakan kebahagiaan anak Emak. Tapi, apa orang tuanya udah tau? Mereka setuju nggak?" 

Ucapan Emak seketika membuatku membisu. Mata yang semula masih bisa melihat dengan jelas, saat itu juga mulai mengabur. 

Cukup lama menunggu, nama Emak belum juga dipanggil. Aku langsung menghampiri petugas apotek. "Kenapa lama sekali Emak saya, Pak? Yang baru datang aja udah dipanggil kok. Kami udah dari tadi belum dipanggil juga."

Petugas apotek langsung mengecek. "Oh, ternyata keselip, Mbak. Maaf, ya."

Setelah itu, petugas memanggil nama Emak sambil memberikan obat sesuai resep dokter. Aku pun kembali ke tempat Emak duduk dan memapahnya menuju luar. 

Ketika sampai luar, ponselku berdering nyaring. Setelah kucek ternyata telepon dari Mas Prima. Tanpa memikirkan sesuatu langsung saja kujawab. Betapa terkejutnya aku saat yang terdengar di seberang suara wanita. 

"Tolong ya, jangan deketi Prima lagi. Awas kalau aku liat kamu masih berhubungan sama dia." Kemudian, wanita itu langsung menutup. 

Dadaku seketika bergemuruh. Sangat terkejut dengan penelepon yang berbicara denganku barusan. Ingatanku berusaha menebak suara yang terdengar di seberang. Suaranya seperti kakaknya Mas Prima, tapi aku masih ragu. Siapa sebenarnya wanita tersebut? Mataku mendadak memanas dan hatiku pun terasa seperti diremas-remas. 

"Kenapa, Rania?" tanya Emak membuyarkan lamunanku. 

"Eh, nggak ada papa, Mak. Ayo, kita pulang." Aku langsung memapah Emak menuju motor. 

Ketika hendak keluar dari gerbang puskesmas, mendadak mobil melaju kencang dan menabrak genangan air hingga membuat kami kecipratan. Spontan pengemudi menghentikan mobilnya. Lagi-lagi aku dikejutkan dengan seorang wanita yang menurunkan kacanya. 

"Ibunya Mas Prima," gumamku sendiri. 

"Sorry, ya," ucap ibunya Mas Prima sambil menyeringai ke arahku 

"Ayo, kita jalan. Ngapain lama-lama ngobrol sama si penjaga toko ini," lanjutnya mengarahkan pandangan pada seseorang di sebelahnya. 

Sekilas kulihat gadis yang diajak bicara dengan ibunya Mas Prima adalah gadis yang pernah kulihat di rumahnya. Gadis yang akan dijodohkan dengan kekasihku. Hatiku kembali berdenyut perih. Ya Allah, betapa mirisnya hidupku. Ternyata menjadi orang tak punya itu melelahkan. 

"Siapa, Rania? Kamu kenal?" Emak bertanya penasaran. 

"Iya, Mak. Itu pelanggan yang sering belanja di toko," kilahku menyembunyikan masalah yang sebenarnya. 

"Tapi kok kayak songong gitu? Judes banget jadi orang. Mentang-mentang naik mobil bicaranya nggak ramah." Emak masih saja mengomel di belakang. 

Aku tak memedulikan ocehan Emak dan langsung melajukan motor menuju rumah. 

Usai mengembalikan motor, aku kembali memikirkan penelepon yang menggunakan nomor Mas Prima. Apakah selama ini Mas Prima berbohong denganku? Tapi, jika dia berbohong, kenapa masih mempertahankan hubungan yang jelas-jelas ditentang ibunya? Perasaan curiga dan prasangka kian menggelayuti hatiku. 

Kemudian, kuambil ponsel dan langsung menghubungi Mas Prima. Tanpa menunggu lama, kekasihku itu segera menjawab. 

"Lagi di mana, Mas?" tanyaku penasaran. 

"Ini baru nyampe barak. Tadi singgah di rumah Ibu sebentar karena dompetku ketinggalan. Kenapa, Sayangku?" balas Mas Prima menggodaku. 

"Nggak usah panggil-panggil sayang, deh. Kamu pasti bohong, kan? Kamu pasti lagi sama cewek lain, kan?" Aku memberondongi Mas Prima bermacam pertanyaan. 

"Kamu ini kenapa, sih? Kenapa jadi curigaan gini?"

Tanpa menjawab ucapan Mas Prima aku langsung mematikan sambungan telepon. Sungguh aku tak bisa menyembunyikan rasa cemburu. 


Bersambung

Terus dukung othor ya biar semangat nulisnya. Jangan lupa tap love dan komentarnya. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!