Menyakitkan
Aku berangkat bekerja seperti biasa. Namun dalam hatiku masih ada yang mengganjal. Semangat yang semula membara mendadak hilang entah ke mana. 

Situasi hati yang tidak bersahabat pun berpengaruh pada kinerjaku di toko. Sejak datang hingga siang hanya diam mematung seperti tak ada tenaga. Pikiranku melayang ke mana-mana. 

Ketika sedang berdiri melayani pembeli, tiba-tiba kakaknya Mas Prima menghampiri. Dia memperhatikanku dari ujung rambut hingga kaki. 

"Tolong jauhi adikku, dia itu nggak pantas sama kamu yang hanya karyawan di toko pecah belah seperti ini," ucapnya geram dan matanya memindai seluruh isi toko. 

"Maaf, Mbak, tapi saya sama Mas Prima saling mencintai. Apa salah kami?" jawabku lirih karena tak ingin didengar oleh orang lain. 

"Eh, ngaca, dong. Ingat, ya, jangan pernah dekati Prima lagi. Dia sudah punya calon yang lebih dari kamu." Kakaknya Mas Prima mengacungkan jari telunjuk tepat di depanku, lalu pergi begitu saja. 

Mendadak aku mematung, masih tidak menyangka dengan kedatangan kakak Mas Prima. Juga tak habis pikir dia bisa senekat itu. Aku dan Mbak Widya memang pernah bertemu ketika Mas Prima membawaku di acara keluarganya. Namun, saat itu aku mengira bahwa hubunganku akan baik-baik saja.

Setelah kakaknya Mas Prima pergi, aku masih termenung. Ingin sekali memberi tahu pada adiknya, tapi segera kuurungkan. Jika memang keluarga Mas Prima tak memberi restu, biarlah aku yang mengalah. Semangat untuk mempertahankan hubungan yang awalnya berkobar tiba-tiba melebur begitu saja. 

Kemudian, aku meminta izin pulang lebih awal dengan alasan sakit. Setelah berada di rumah, Mas Prima berkali-kali menghubungiku. Namun, tidak kuhiraukan. Aku tak ingin membuat keluarganya makin menentang hubungan kami. Sepertinya diriku harus benar-benar mundur. 

Setelah azan Asar berkumandang, terdengar suara motor dari luar. Ternyata Mas Prima yang datang. Ah, untuk apa lagi dia ke sini? Jika melihat wajahnya, seketika hatiku hancur. Aku sangat mencintainya, tapi tak bisa bersatu dengannya. 

"Rania, buka pintunya," ucap Mas Prima sambil mengetuk pintu. 

Bersyukur Bapak dan emakku tidak berada di rumah. Ya, beliau setiap harinya menjajakan dagangan di pasar hingga sore. Hanya dari hasil jualannya kami bisa bertahan hidup dan sedikit terbantu dengan gajiku sebagai karyawan toko yang tidak seberapa. Rima juga kebetulan belum pulang sekolah. 

Aku terpaksa membuka pintu dan mengajak Mas Prima bicara di luar. Dia terus memohon padaku agar jangan menyerah. Ucapannya itu makin membuatku bimbang. 

"Mas, tadi kakakmu datang ke toko. Dia nyuruh aku jauhin kamu. Keluargamu emang benar-benar nggak suka sama aku. Ngapain kita harus berjuang? Percuma, Mas!" Aku terpaksa memberi tahu Mas Prima tentang kedatangan kakaknya ke toko. 

Mas Prima tampak geram mendengar penuturanku. "Rania, dengerin. Yang nggak suka sama kamu itu, kan, mereka. Bukan aku. Masa kamu tega ninggalin aku?"

"Iya, Mas, tapi percuma juga kalau kita nekat lanjutin. Aku itu nggak pantas sama kamu. Benar apa yang dibilang ibumu, kamu masih bisa dapatkan yang lebih dari aku." 

"Aku nggak mandang seseorang dari pekerjaannya. Bagiku kamu itu cewek baik-baik yang pantas jadi istriku," sahut Mas Prima mantap. 

Mendengar ketulusan hati Mas Prima, membuatku berpikir kembali. Ah, aku makin bingung.

Kemudian, Mas Prima menarik tanganku membawa menuju ke motornya. Dia memintaku segera naik ke boncengan. Entah ke mana dia mengajakku pergi. 

Ternyata Mas Prima melajukan motor menuju rumah orang tuanya. Jantungku mendadak berdegup tak beraturan. Sungguh aku belum siap jika harus mendapat hinaan lagi. 

"Bu, apapun yang terjadi, aku tetap nikah sama Rania," ucap Mas Prima lantang di hadapan Kakak dan ibunya. 

"Jangan jadi anak kurang ajar. Ibu sudah siapin jodoh yang baik buat kamu. Ngapain masih ngejar cewek penjaga toko ini? Coba liat kakakmu itu, nikah sama pegawai." Ibunya Mas Prima seketika emosi dan bicara dengan nada tinggi.

Ya, kakaknya Mas Prima memang sudah menikah. Setahuku suaminya berdinas di polres tak jauh dari rumah orang tuanya. Terakhir yang kudengar dari Mas Prima bahwa kakaknya itu masih tinggal dengan ibunya lantaran ingin menemani beliau. Bapaknya Mas Prima sudah meninggal dua tahun silam. 

Kemudian, pandangan ibunya Mas Prima mengarah padaku. "Kamu juga, ngapain ngejar anakku? Udah kubilang kamu itu nggak pantas sama Prima."

"Masih nekat aja kamu deketi Prima. Padahal tadi udah kubilang jauhi dia. Dasar cewek murahan," lanjut kakaknya Mas Prima makin seenaknya menghinaku.

"Mbak, tolong jangan hina Rania. Yang mau nikah ini sebenarnya kalian atau aku? Kalau aku milih Rania, kalian bisa apa?" Mas Prima menimpali ucapan kakaknya sangat kesal. 

"Mbok yo nyari itu yang anak kuliahan atau pegawai negeri. Ini, kok, malah penjaga toko. Pikiranmu itu gimana, Prima?" Ibunya terus saja menyerocos merendahkanku. 

Mendengar perseteruan mereka, bibirku mendadak kelu. Mataku pun mulai memanas. Sepertinya aku harus benar-benar pergi dari kehidupan Mas Prima.

Tak berselang lama, ponsel milik Mas Prima berdering. Ternyata dia harus segera kembali ke rindam. Kemudian, lelaki berseragam loreng di hadapanku itu membawaku keluar. 

"Mas, ngapain kamu ngajak aku ke sini? Mereka itu jelas-jelas nggak suka sama aku. Ngapain kamu ngeyel?" ucapku sangat kesal. 

"Tapi, aku sukanya cuma sama kamu, Rania. Terserah mereka mau gimana, aku tetap nikah sama kamu."

Saat sedang berbicara dengan Mas Prima di depan rumahnya, tiba-tiba mobil mewah memasuki halaman. Seorang gadis cantik turun dari mobil tersebut. Sambil berjalan, dia menatap ke arah kami. Aku berpikir dia mungkin saudara Mas Prima. Kemudian, gadis itu melangkah gontai masuk ke rumah orang tua Mas Prima. 

"Itu cewek yang mau dijodohkan sama aku," ucap Mas Prima sambil memandangi gadis tersebut menghilang dari pandangan kami. 

Perasaan minderku seketika menguasai hati. Apalah diriku yang hanya gadis penjaga toko. Sungguh bagai langit dan bumi. 

Usai berbicara, Mas Prima menyalakan mesin motor dan aku segera naik ke boncengan. Selama di jalan, aku tak banyak bicara. Ingatanku masih tertuju pada gadis yang akan dijodohkan dengan Mas Prima. 

"Mas, kamu terima saja gadis itu. Kalau aku lihat dia cocok buat kamu," ucapku dari belakang yang membuat Mas Prima mengurangi kecepatan motor. 

"Kamu jangan ngomong sembarangan. Aku nggak mau sama dia, Rania." Kemudian, Mas Prima melajukan motor dengan kecepatan tinggi. 

Tak perlu banyak waktu, kami pun tiba di rumahku. Tanpa kata-kata, Mas Prima langsung pergi begitu saja. 


Bersambung

Komentar

Login untuk melihat komentar!