Aku membelalakkan mata melihat sepenggal pesan WA yang terkirim di ponsel Namira.
Hotel? Dua jam?
Apa maksud dari pesan yang dikirim pria bernama Adi tersebut.
Barisan kalimat itu tentu saja akan membuat semua orang yang membacanya memikirkan hal yang bukan-bukan, termasuk aku.
Beberapa saat aku terdiam, mencoba mengingat password ponselnya yang kuingat mungkin sudah dua tahun ini aku tak membukanya.
Kalau tidak salah ... ah, ya, tanggal lahirnya!
Dengan degup jantung yang semakin cepat, kuketik satu per satu angka hingga memenuhi empat kolom tersebut.
Gagal.
Dia mengganti password-nya?
Sebelumnya ponsel itu berada di tumpukan buku. Aku bermaksud mengantar camilan untuk Namira yang sedang belajar guna mempersiapkan ujiannya esok hari.
Ia memang selalu belajar di ruang tengah, tepat di meja depan televisi.
Kurapikan buku-buku yang berserakan, mendapati ponsel dengan layar menyala. Hal itu menarik perhatianku.
Segera aku memungutnya, dan mendapati sepenggal pesan yang menganggu pikiran. Aku memikirkan hal yang bukan-bukan tentang anak gadisku itu.
"Bu ...."
Aku lekas menolah saat mendengar suaranya. Entah sejak kapan ia berdiri di situ, menyudahi aktifitasnya di kamar mandi.
Aku menatapnya sesaat, kulihat pandangannya tertuju pada ponselnya yang kugenggam.
Tak sabar, aku segera menghampiri Namira yang mematung di tempat. Tampak ia menelan ludah saat aku mulai mendekat.
"Ra, apa ini?!"
Tanpa basa-basi, dengan suara meninggi aku menyodorkan ponsel tepat di depan wajahnya. Namira memundurkan kepala karena terkejut.
Matanya terbelalak. "B-bu ...." Bibirnya bergetar saat berkata.
"Apa kata sandinya? Sejak kapan ini diganti?" cecarku, masih dengan suara yang meninggi.
Namira bergeming. Kepalanya tertunduk, dengan kedua tangan saling bertaut cemas.
Aku menarik napas panjang, guna mengatur emosi yang berdesakan di dada. Masih mencoba sabar, aku meminta dengan pelan agar Namira memberikan passwordnya padaku.
Namun, ia tetap tidak memedulikan pintaku.
"Katakan, Namira!" bentakku lantang, dengan mengguncang kasar bahu gadis berusia tujuh belas tahun tersebut.
Ia masih enggan bersuara, hanya isaknya yang terdengar.
Hilang sudah kesabaranku. Aku mengangkat ponsel tersebut dan hendak mengempaskannya ke lantai, sebelum akhirnya kesadaran lebih dulu menyapa.
Jika ponsel ini kulempar, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Malah aku yang akan rugi, sebab tidak akan pernah tahu apa isi pesan dari pria bernama Adi tersebut.
Aku mengusap kasar air mata yang sejak tadi memaksa jatuh satu satu pada pipi. Diam sejenak, lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Berharap sesak amarah di dada juga turut larut terbuang.
Kecewa, marah, juga tak percaya. Bercampur jadi satu. Tak bisa kubayangkan jika apa yang kupikirkan memang benar adanya. Namira ... anak gadisku itu menjual ...
Ah, aku tak sanggup untuk mengatakan itu.
Selama kata 'iya' tidak terlontar dari mulut Namira, aku masih memiliki harapan. Meski keyakinan dalam diri tak bisa ditekan, sebab bukti nyata sudah terpampang depan mata.
Penggalan pesan itu begitu meyakikankan. Durasi, lokasi. Juga, baru saja sebelum insiden itu, Namira berkata jika esok usai sekolah, ia ada les tambahan untuk mata ujian lusa.
Ya, Allah.
Hening. Kami masih terdiam. Aku meninggalkannya dan memasuki kamar. Sebab percuma saja, berteriak hingga pita suaraku pecah pun, jika bukan kehendaknya, maka Namira akan tetap pada pendiriannya sendiri.
Baru tiga langkah, Namira memanggilku lirih.
"Ponsel, Ma."
Aku berhenti seketika. Masih pada posisi semula, aku memejamkan mata, berusaha menekan amarah yang menyala.
Bisa-bisanya dia dalam kondisi seperti ini masih meminta ponselnya?
Mataku kian memanas. Gelagat Namira semakin membenarkan apa yang ada dalam pikiran.
Aku berbalik dan mendekatinya. Berdiri tepat di depannya yang masih menunduk.
"Apa katamu?" Aku berkata dengan menekan suara yang bergetar.
"Ponsel, Ma."
"Lagi?" pancingku.
Namira mendongak. Mata bulatnya itu menatapku sekilas. Namun, tak kulihat sesal atau ketakutan di sana. Ia terlihat biasa saja dengan air matanya yang masih membekas.
Ia kembali menunduk dan terdiam, mungkin dapat menangkap sikapku yang tak biasa.
"Ponsel, Ma!"
Aku terkejut ketika Namira membentak tepat di depan wajahku. Ia melongok dengan berjinjit, hingga tubuhnya yang lebih pendek dariku itu dapat menyejajari tubuhku.
Aku meneguk ludah. Masih tak percaya dengan apa yang terjadi barusan.
Anak gadisku yang polos itu membentakku?
Aku yang masih termangu tak percaya, dalam posisi lengah ia merampas ponselnya kasar di tanganku, lalu lekas berlalu tanpa permisi.
Aku menjatuhkan diri dalam posisi berlutut, ketika tubuh mungilnya itu telah hilang di balik pintu. Aku kembali mengingat kejadian tiga menit lalu, singkat dan jelas, tetapi menyayat.
Aku tak pernah merasakan sesakit ini sebelumnya, dibentak oleh putriku sendiri.
Namira yang kukenal lugu dan lembut, ia melawan dan membentakku.
***
Esoknya, tanpa pamit seperti biasa, Namira pergi dengan pakaian seragam sekolahnya. Rapi. Tanpa membawa buku ataupun tas sekolah.
Aku memperhatikan dari lantai dua sampai tubuhnya hilang di balik pintu.
Diri ini masih tidak habis pikir. Jika iya, memangnya apa yang ia butuhkan hingga menjual ...
Ah, itu tidak mungkin.
Kebutuhannya tercukupi. Aku kerja mati-matian dari pagi sampai malam, itu untuk memenuhi kebutuhannya. Bisa kupastikan Namira sama sekali tidak kekurangan dalam perihal materi.
Jam di tangan menunjukkan angka tujuh. Aku harus lekas berangkat karena ada kepentingan. Setelah itu aku akan meminta izin pulang terlebih dahulu pada atasan.
***
Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan penting, aku segera pergi. Izin atasan sudah kukantongi, walau sebelumnya kami sempat sedikit berdebat.
Untungnya kami kenal dekat.
Jalanan padat merayap. Tentu saja, ini tepat jam istirahat kantor dan jadwal para anak-anak sekolah pulang.
Beruntung, aku tidak telat. Sengaja aku menepikan mobil cukup jauh dari gerbang sekolah, tepat di depan toko bangunan yang berada di seberang sekolah.
Kuperhatikan satu-satu anak-anak saling berdesakan keluar dari gerbang. Masih dalam posisi awas memantau, aku mengeluarkan ponsel dan menelepon supir rumah.
"Non Namira hari ini tidak mau dijemput, Bu, katanya ada les tambahan bersama teman-temannya. Non Namira akan menelepon nanti--" begitu kata Pak Pardi, supir pribadi kami. Saat kutanya apakah ia menjemput Namira atau tidak.
Namun, kalimatnya tak lagi kudengar ketika kulihat Namira keluar dari gerbang sekolah. Pandangannya terlihat menyisir jalanan arah kanan, seolah sedang menunggu seseorang. Ia berdiri sendiri, tidak bersama teman-teman seperti yang dikatakannya.
Aku menghela napas. Semua seolah memperjelas.
Ia berdiri gelisah sambil sesekali memperhatikan ponselnya. Tak lama kemudian, mobil sedan putih dari arah kanan datang dan berhenti tepat di sebelahnya.
Aku melebarkan mata saat Namira tiba-tiba masuk, tanpa dipersilakan oleh pemilik mobil.
Mataku memanas seketika. Keyakinan dalam dada tak lagi bisa ditekan. Semua sudah jelas tanpa menunggu kata 'ya' terlontar dari mulut Namira.
Aku mengusap kasar air mata, lalu lekas melaju mengikuti mobil yang ditumpangi Namira. Namun, tetap dengan menjaga jarak.