Murni... Apa tak sebaiknya kau pulang saja? Kasihan anak anakmu," bujuk Emak malam harinya.
"Mak...! Jika aku pulang dan mengurus anak anak, dia akan mudah meninggalkan kami Mak..!" ujarku. Airmata hampir tumpah.
"Jika dia sudah menikah, aku takut dia akan melupakan kami, Mak! Sudah lumrah sesuatu yang baru lebih menarik perhatian, dan yang lama akan disingkirkan. Lalu bagaimana nasib tujuh biji mataku ini?
"Sudahlah... Mak tidurlah ya, moga anak-anak baik semua."
Emak beranjak pergi meninggalkanku, raut mukanya nampak murung. Aku tau dia merasa terpukul dengan kejadian ini. Karena dia mengkhawatirkan anak-anak. Andai Emak tau dukaku bahkan lebih perih dari dukanya.
Terbayang saat malam seperti ini, Egy akan minta dibuai baru bisa tidur.
Aku menggoyang goyang buaian sambil menyenandungkan shalawat, sementara Rian berbaring di sampingku dengan mata merem melek menunggu adiknya tertidur. Kemudian aku akan menidurkan Rian dengan menepuk nepuk pantatnya.
Jika kedua anak itu sudah tertidur aku akan membopong mereka ke kamar. Barulah aku akan membersihkan badan untuk shalat Isya dan mengistirahatkan tubuh yang terasa remuk.
Sementara di kamar sebelah kelima anakku tidur sekamar. Dengan dua kasur besar. Satu kasur untuk tiga anak perempuan dan di sebelahnya lagi kasur yang lain untuk kedua anak lelaki, mereka dibatasi kain yang di bentang di tengah kamar, dan karena di kampung banyak nyamuk, mereka tidur memakai kelambu.
Sebelum tidur aku akan menjenguk untuk memastikan mereka tidur dengan nyaman. Mengingatkan shalat Isya dan PR mereka. Akankah Mas Irwan melakukan hal yang sama?
Tiba tiba terdengar ketukan pintu. Aku beranjak keluar, ketika pintu terbuka tampak Nadia berdiri dengan mata menatap tepat ke wajahku, sementara Egy meringis di gendongannya. Aku tatap wajah mereka satu-satu dengan perasaan campur aduk. Ketujuh anakku berdiri bersisian menatapku.
Ku sembunyikan kesedihan dan kupasang sebuah senyum. Sambil meraih Egy dari Nadia. Kemudian aku melangkah ke dalam. Mereka semua menyusulku.
Aku duduk dikelilingi anak-anakku, mereka semua karunia Tuhan untukku. Tapi apa yang telah aku lakukan? Membiarkan mereka seperti anak ayam tanpa induk.
"Ma...! Egy tidak mau tidur. Dia menangis nyari Mama, Rian juga," ucap Nadia.
"Mana Ayahmu, bukannya dia di rumah bersama kalian?" tanyaku sambil menyembunyikan isakan.
"Ayah sudah pergi tadi sore, besok dia mengajar dan kamipun harus masuk sekolah," jawab Mita si cantikku.
"Mama...Ayo pulang...! Rengek Rina sesenggukan.
Jadi kalian ikut siapa ke sini?" tanyaku mengalihkan perhatian Rina.
"Kami jalan kaki, Ma," jawab Rudi.
"Ya Allah, Nak...! Rian...!Rina.. ! Gak capek?" aku membelai kepala mereka.
"Tidak Ma... Rian ingin sama Mama, jadi harus kuat jalan," anak itu menunduk.
Ya Tuhan... Mereka jalan kaki sejauh 5km untuk menyusulku ke sini? Aku membayangkan mereka saling berpegangan tangan karena takut kegelapan.
Di penghujung tahun delapan puluhan listrik di kampungku belum merata, sebagian rumah memang sudah ada listrik tapi untuk jalanan masih minim penerangan.
"Tadi Rian jatuh, Ma," ucap anak itu lagi, sembari memamerkan lututnya yang memar. Aku tahu jalanan memang jelek, dan banyak lubangnya.
Ku raih Rian ke pangkuan sebelah kiriku, karena ada Egy di sebelah kanan.
"Rina gak nangiskan, sayang...?" kutatap wajah hitam manisnya.
"Bilang Kak Nadia, kalau nangis entar kedengaran kuntilanak...jadi Rina gak nangis. Lagian Rina pegangan kok sama kak Rudi," Rina memandang ke arah Rudi.
"Farid, kau sehat Nak?" dia mengangguk. Anakku ini memang pendiam. Dia jarang bicara kecuali kalau ditanya. Atau ada hal penting yang ingin dia sampaikan.
Anak anak itu pasti tidak mengerti kenapa tiba-tiba mamanya pergi lama. Mereka hanya terlihat diam dan menunduk dengan wajah sedih.
"Baiklah... Kalian anak-anak Mama yang kuat. Mama bangga sama kalian," aku tersenyum tapi air mata menetes.
Nadia memainkan jemarinya. Aku yakin dia mengerti apa yang terjadi. Tapi dia tak banyak bicara.
Malam ini kami semua tidur di rumah Ibuku. Berjejeran di ruang tengah. Dan berhimpitan. Sementara di pojok ruangan aku memasang obat nyamuk bakar.
Anak-anak sudah tertidur pulas. Tapi aku masih terjaga. Mas Irwan tega meninggalkan anak-anak. Padahal aku sedang tak bersama mereka.
Entahlah... Aku sedang memikirkan langkah apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan rumah tanggaku.
Aku tak ingin anak-anak kehilangan ayahnya. Sudah banyak terjadi, suami yang menikah lagi akan melupakan anak dan istrinya.
Aku masih memikirkan, mungkin besok pagi aku akan menyusulnya ke kota, tinggal bersama dengan Mas Irwan untuk mempersempit kebersamaan dengan gundiknya.
Aku akan mengajak 4 anak kecilku, sedang yang besar biarlah tinggal di rumah, karena mereka akan masuk sekolah.
***
Pov Irwan
Siang itu aku sengaja mengajak Asih singgah ke rumah kami. Untuk berkenalan dengan calon madunya. Dari penampilan, Asih memang menang banyak, tapi dari pengabdian Murni sudah membuktikan. Dia wanita tangguh dan ulet.
Murni menyambut layaknya seorang tamu, dia menyuguhkan minum dan mengajak mengobrol. Aku bahagia melihat mereka tampak akrab. Egy si kecil juga terlihat manja dengan Asih.
Akhirnya malam itu saat anak-anak sudah tidur aku mulai bicara.
"Ma..! Terus terang saja. Aku dan Bu Asih minta izin untuk menikah. Demi menghindari perbuatan dosa, selama ini aku selalu menghindar, tapi dia memintaku untuk menikahinya agar dia merasa aman karena jauh dari kampungnya," ujarku hati-hati.
Dia menatapku dengan pandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku tak bisa menerjemahkan apa maksudnya.
Dia tampak menarik nafas dalam dan berkata. " Baiklah, nikahilah wanita itu, bawa ketujuh anakmu bersama istri barumu dan aku minta cerai...!" setelah itu dia pergi ke kamar anak anak.
Pagi hari Egy menangis mencari mamanya. Aku menyusul ke kamar sebelah tapi tak menemukannya.
Tangis Egy makin melengking, di susul Rian yang minta antar pipis. Aku membopong Egy dan menuntun Rian. Kemudian memandikan mereka berdua.
Tak lama anak-anakku bangun semua. Suasana jadi riuh semua menanyakan mamanya. Mereka berkeliling sampai ke belakang rumah.
"Jangan-jangan Mama ke sawah hari inikan hari Minggu jadi mama berangkat pagi sekali," celetuk Rudi yang segera berlari menuju ladang.
Nadia sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan dan Mita menyapu lantai. Rupanya Murni sudah mengajari anak gadisnya ini untuk melakukan pekerjaan rumah.
Aku menemani Egy, Rian dan Rina. Aku berjanji meskipun aku nanti menikah lagi, tak mungkin aku melupakan keluargaku ini.
Setelah sarapan anak-anak bermain di halaman rumah. Aku segera mencuci kain kotor. Semua baju anak-anak dan bajuku juga.
"Lama juga mencuci baru selesai ya, Mita," ujarku pada Mita.
"Begitulah kerjaan Mama setelah kami semua ke sekolah, dia melakukan semua pekerjaan sambil memomong Egy dan Rian," jawab Mita sambil membantu menjemur.
Rudi muncul dengan wajah murung.
"Mama gak ada di ladang," ucapnya sedih.
Tiba tiba terdengar tangisan Rina, disusul raungan Egy dan Rian.
"Hadoh... Baru saja selesai nyuci, mau istirahat sebentar, anak ini lagi bikin ulah," aku bersungut sungut.
Tangis mereka makin kuat, seraya memanggil-manggil mama. Aku yang merasa capek tak sadar membentak.
"Diaaam!!!" teriakku.
Mereka semua diam, tapi Rina ketakutan dia menggigil dan sesuatu merembes dari celananya. Dia pipis.
Segera Nadia dan Mita mengurus adik mereka. Dan kutinggalkan istirahat di kamar.
"Pasti Mama Nadia pulang ke rumah Ibunya, tak apalah... Bila sampai siang dia belum pulang, nanti akan ku jemput," akupun tertidur dan bermimpi tentang Bu Asih.
Mimpi indah itu terusik dengan tangisan Egy, dia masih mencari mamanya.
"Nadia...! Jaga adikmu ya, aku mau menjemput Ibumu, mungkin dia di tempat nenek," pintaku pada Nadia. Dia segera menggendong Egy.
Murni menemuiku di rumah Ibunya, aku berusaha membujuknya agar pulang, karena kasihan sama anak-anak, tapi rupanya dia tak peduli.
Baiklah... Aku tak perlu memaksanya, karena seperti biasa, jika aku melembut dia akan merasa bersalah dan minta maaf.
Akhirnya dengan memasang wajah sendu akupun pulang.
Anak-anak riuh bertanya tentang Ibu mereka. Aku bilang saja, nanti juga pulang. Raut wajah mereka jadi sedih, namun itu bukan salahku, aku sudah menepikan egoku dengan membujuknya untuk pulang.
Setelah berpesan untuk menjaga adik-adiknya pada Nadia, akupun berkemas untuk pulang ke tempat kerja. Tak mungkin Murni tega membiarkan mereka semua di rumah tanpa ada yang mengawasi.
Lagipula selain mengajar aku juga harus bicara dengan Asih, jika betul Murni minta cerai, maukah dia merawat dan mengasuh 7 orang anakku?
Aku akan meyakinkan Asih bahwa mereka semua anak pintar dan penurut.
Namun jika Murni tetap mau bersama, itu akan lebih bagus lagi. Punya dua istri memang impianku dari dulu.
Bahkan sebelum aku menikah dengannya.