2. arwah Mbah Ridwan telanjang



Aku tersadar saat mendengar tangisan Kamil, putra semata wayangku yang tertidur di kamar, tidak ini bukan tangis! Lebih tepatnya menjerit.

Akupun beranjak ke kamar dengan degup jantung yang berpacu hebat, takut ada sesuatu yang mencelakai Kamil. 

Aku menghembuskan napas lega saat mendapatinya baik-baik saja. Hanya saja tangisannya kian pilu, tenggorokannya seakan tercekat dan membuatnya terbatuk. 

Pandangan bocah berumur tiga tahun itu tak lepas dari jendela kamar yang posisinya berada di sebelah ranjang, terlihat sosok bayangan seseorang di balik gorden jendela yang putih menerawang itu, siapa dia? Ah mungkin Mbak Mia nih pasti iseng.

Tadi sore, aku sempat mengeluh pada Mbak Mia, karena Mas Ahmad harus masuk kerja malam ini, mendengar keluhku, Mbak Mia berseloroh.

"Tar malem tak ketok-ketok lewat jendela kamar ah." Ucapnya.

Karena memang rumahnya bersebelahan dengan rumahku.

Tentu saja aku berpikir Mbak Mia lah yang berada dibalik jendela kamarku itu, mungkin karena tadi mendengar tangisan Kamil.

"Ish Mbak Mia gak lucu lho, ngapain sih? Mau masuk yo masuk aja lewat pintu depan," ucapku sambil menimang Kamil agar terlelap kembali. Namun tetap saja matanya tak lepas dari jendela kamar.

Hening, tidak ada jawaban.

"Jawab nggak? Kalo nggak-"

Astaghfirullah! Ucapanku terhenti kala menyibak gorden jendela saat kudapati sosok tubuh yang kurus dan ringkih, mata yang cekung dan terdapat lingkaran hitam di sekelilingnya, mulutnya yang lebih lebar dari biasanya, seperti mulut yang digores hingga mencapai daun telinga. Ya, selebar itu mulutnya.

Dengan cepat kembali kututup gorden jendela, mulai detik ini aku berjanji tidak akan pernah lagi membuka gorden jendela di malam hari.

Jeritan Kamil semakin terdengar pilu, aku tak tahan mendengarnya. Sebelumnya, Kamil tidak pernah menangis hingga seperti ini. Ya Tuhan! Mana Mas Ahmad nggak ada di rumah. 

Deru napasku kian memburu, hawa di kamar ini terasa begitu panas. Siapa makhluk tadi? 

Cepat aku meraih telepon dan mencoba menghubungi Mas Ahmad. Sial! Akibat tanganku yang bergetar hebat, sulit rasanya untuk mengendalikan telepon. Akupun merenggangkan tangan dan membiarkan telepon itu terjatuh ke ranjang.

Perlahan tangis Kamil kian reda, bayangan di balik jendela sudah tiada dan membuatku kini bernapas lega.

Saat Kamil kembali terlelap, akupun menidurkannya kembali, kemudian berbaring di sisinya dan menyusulnya ke alam mimpi.

****

Rutinitas setiap pagiku berbelanja di mamang sayur yang nangkring di depan rumah Mbak Karin. Sudah banyak Ibu-Ibu yang nimbrung di sana.

Dari kejauhan kudapati wajah mereka tegang, kelihatannya sedang membicarakan hal yang serius. Biasanya pagi-pagi gini masih pada ceria. Bercanda menggoda mereka yang keramas pagi-pagi.

"Serius, Mbak Karin! Tadi malem ada yang ngetok pintu, sekitar jam sebelas malam, pas tak bukain, ternyata nggak ada siapa-siapa."

"Dan kejadian itu berlangsung dua kali. Sampe aku kesel dan menendang pintu dengan kuat, pas tak buka ternyata, nggak tau apa, tapi bentukannya kurus kurang gizi, matanya cekung, bibirnya lebar. Mana pake senyum segala, ish yakali ganteng, senyum makin ganteng. Lah bentukannya kayak dia malah senyum, menyeringai lagi. Hiii." Jelas Mbak Tutik, beberapa orang ada yang tertawa, ada pula yang menanggapi dengan wajah tegang. Memang setiap harinya Mbak Tutik lah yang bikin rame RT sini.

Mendengar penjelasannya, aku teringat dengan makhluk yang berada di depan jendela kamar semalam. Ciri-cirinya persisi seperti yang kulihat. Apa memang makhluk yang sama?

"Ini bicarain apa sih, Mbak Tutik?" Tanyaku memecah keheningan.

"Tadi malem Mbak Nur. Aku ketamuan makhluk yang kuceritain tadi." Jawab Mbak Tutik.

Satu persatu dari mereka sudah pulang untuk melanjutkan aktivitas memasaknya, namun pikiranku masih fokus dengan apa yang diucap Mbak Tutik tadi.

"Kenapa sih, Mbak Nur. kok ngelamun," tegur Mbak Karin menyenggol tanganku.

"Mbak, apa Mbak nggak ngalamin kejadian aneh juga semalem?" Tanyaku.

Mbak Karin terdiam dan menarik napas, kemudian menghembuskannya pelan.

"Sebetulnya tadi malem, aku nggak sengaja liat ada orang yang telanjang berdiri membelakangiku di pinggir rumah, niatnya tadi aku mau buang sampah. Tapi keburu ngacir liat yang begituan." Jelasnya.

Aku hanya mengangguk paham, dan kemudian membayar barang belanjaan dan bergegas pulang.

Melewati rumah Mbak Mia, aku berniat untuk mampir. Memastikan apa tadi malam dia tidak mengisengiku. Tapi sudahlah, nanti saja. Sekarang mau masak karena sebentar lagi Mas Ahmad pasti pulang.

****

Siangnya, aku mengajak Kamil main di luar rumah sebentar. Mengajaknya ke rumah Mbak Karin, kebetulan di sana sedang ada Mbak Mia dan Mbak Tutik yang super heboh.

"Eh Mbak Nur, sinilah kumpul," ajak Mbak Tutik ramah dan aku hanya tersenyum.

"Mbak Mia, tadi malem kamu ngisengin aku nggak?" Tanyaku pada Mbak Mia.

Mbak Mia menggeleng.

"Nggak kok, orang aku semalem nggak enak badan. Emang kenapa, Nur?" 

"Nggak papa Mbak," jawabku, aku tidak ingin Hasbi beserta Bu Surti mendengar ada teror makhluk mengerikan di RT ini, tentu saja nanti semua akan curiga pada Mbah Ridwan, karena selepas kematian beliaulah teror ini bermunculan.

"Tadi, aku abis beli telor di warung Mbak Inem, dan kalian mau tau nggak Mbak Inem cerita apa?" Ucap Mbak Tutik.

Rumah Mbak Inem tepat berhadapan dengan bangunan pondasi rumah yang berada di sebelah rumah Mbah Ridwan.

"Tadi subuh, Mbah Buyut ditemukan tidur di tempat dimana Mbah Ridwan kemaren ditemukan." Lanjut Mbak Tutik yang seketika membuat mulut kami menganga bersamaan.

"Terus, terus?" Tanya Mbak Karin cepat.

"Aneh nggak, sih? Mbah Buyut kan udah sepuh banget, berjalanpun dia ngga kuat. Kok bisa tiba-tiba pindah di bawah pohon pisang yang ada di bangunan pondasi itu." 

"Kalo ngelindur nggak masuk akal lo ya, kan Mbah Buyut nggak bisa jalan. Lagian bangunan pondasi itu cukup tinggi, mana mungkin Mbah Buyut yang sesepuh itu bisa menaikinya," imbuh Mbak Tutik lagi.

Hening, terlihat semuanya mencerna ucapan Mbak Tutik dengan pikiran masing-masing.

"Bisa saja Hasbi yang mindahin," ucap Mbak Mia.

"Yakali Hasbi tega neneknya ditidurin di luar," seloroh Mbak Karin.

"Ya juga sih," ucap Mbak Mia dengan manggut-manggut.

Tak lama akupun beranjak pulang saat Kamil meminta untuk bertemu dengan Ayahnya.

****

Sejak pulang pagi tadi, Mas Ahmad tidur dengan pulas, mungkin capek. Sebetulnya tidak tega membangunkannya, tapi adzan dzuhur sudah berkumandang. Mau tak mau aku memintanya untuk shalat ke masjid.

Baru empat hari selepas kepergian mendiang Mbah Ridwan, sudah banyak kejadian aneh di RT ini. 

Malam ini aku dapat bernapas dengan lega, karena Mas Ahmad masuk kerja siang, jadi aku tidak perlu takut untuk menghadapi malam ini, mengingat apa yang sudah terjadi kemaren hari.

Aku berniat untuk menceritakan semuanya pada Mas Ahmad sejak pagi tadi, tapi karena waktunya tersita untuk tidur, jadi terpaksa aku menceritakannya malam ini.

"Mas." 

"Apa Dek," jawabnya masih fokus dengan ponselnya.

Klatak klatak!

Terdengar suara yang sama dengan jam yang sama seperti kemarin malam.

Aku dan Mas Ahmad saling berpandangan, sebelum kemudian Mas Ahmad kembali fokus pada gawainya.

Tapi suara itu mungkin membuat Mas Ahmad terganggu, diapun beranjak dan mengintip di balik jendela seperti yang kulakukan kemarin.

Mas Ahmad terdiam cukup lama di jendela. "Mas," panggilku. Namun Mas Ahmad tidak mempedulikan panggilanku, dengan perasaan gugup aku mendekatinya dan menepuk pundaknya perlahan.

Mas Ahmad kaget dan hampir saja terjatuh karena tepukan pelanku di pundaknya. Wajahnya gusar, "kenapa, Mas?" tanyaku. Namun Mas Ahmad bergeming, dan menit kemudian menarik tanganku perlahan menuju kamar. 

"Dek, kamu tahu apa yang kulihat tadi?" tanyanya, wajahnya terlihat serius.

"Apa emang?" aku berbalik tanya.

"Aku lihat, Mbah Ridwan mengelilingi Masjid tiga kali dengan bertelanjang, dan di tangannya terdapat buku tebel entah apa. Sesekali Mbah Ridwan menyirami buku itu dengan air seninya."

Penjelasan Mas Ahmad tadi cukup membuatku kaget setengah mati. Bahkan yang dilihat Mas Ahmad jauh lebih mengerikan dari yang kulihat sebelumnya.

Gusti Allah! Maafkan kami.

Aku merasa bersalah mendengar ucapan Mas Ahmad mengenai perilaku Mbah Ridwan yang mengelilingi masjid dengan bertelanjang. Sungguh, bahkan aku tidak sanggup untuk mendengarnya lagi.

Dan bunyi klatak-klatak itu ternyata berasal dari sandal kayu yang dipake Mbah Ridwan ketika beradu dengan jalanan paving di depan rumahku. Itu yang diucapkan Mas Ahmad.

Bersambung.






Komentar

Login untuk melihat komentar!