Terdapat darah yang mengalir di kepalanya, tubuhnya penuh luka goresan. Pelipisnya membiru, dan matanya tajam menyorotku.
Sejenak aku masih terpaku dengan menatap sosok yang ada di depanku, kalut dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pikiranku, sampai akhirnya kesadaranku pulih saat Mas Ahmad mengibaskan tangannya pelan di depan wajahku, sorot matanya masih melempar tatapan dingin padaku.
Aku pun membimbingnya masuk ke dalam rumah, rasanya canggung sekali. Dan saat aku memapahnya, tubuhnya terasa sangat dingin, mungkin karena habis kehujanan terlalu lama, pikirku.
Pakaian yang dipakai Mas Ahmad basah dan juga terlihat lusuh, seperti seseorang yang habis bermain tanah. Apa Mas Ahmad kecelakaan? Terlihat dari luka-luka di tubuhnya. Oh ya, baru kusadari, seingatku saat berangkat pagi tadi, Mas Ahmad mengenakan kemeja berwarna biru. Bukan kaos putih seperti sekarang ini.
Ah, ya mungkin beli waktu ada keperluan tadi, batinku lagi. Karena tadi memang Mas Ahmad tidak mengatakan akan pergi ke mana. Kelihatannya sangat buru-buru, jadi aku juga tidak banyak bertanya.
"Mas, Mas kenapa kok bisa kayak gini?" tanyaku lembut, sembari mengompres tubuhnya dengan air hangat. Setelah sebelumnya kusuruh berganti pakaian.
Anehnya, tubuhnya tetap terasa dingin walau sudah kukompres dengan air hangat, bahkan rasanya sedingin es, menusuk hingga ke tulang kala mententuhnya. Wajahnya juga terlihat pucat pasi. Manik matanya terlihat kosong
Namun, Mas Ahmad hanya menggeleng lemah.
"Mau makan? Atau aku buatin teh panas ya?" tanyaku antusias, karena khawatir Mas Ahmad akan demam.
Dan lagi-lagi Mas Ahmad hanya menggeleng. Tidak seperti biasanya. Ada apa dengannya?
Melihat reaksinya, aku pun tak banyak bicara. Mungkin Mas Ahmad lelah, jadi enggan untuk bicara, pikirku.
Saat mengobati luka Mas Ahmad, sepertinya Mas Ahmad tidak merasa sakit sama sekali, terlihat dari reaksinya yang biasa saja saat luka di kepalanya kubersihkan dengan cairan alkohol, takut infeksi.
Luka di kepalanya seperti bukan karena kecelakaan, namun entah apa, aku tak dapat memastikannya. Namun yang jelas, lukanya seperti terkena sebuah cakaran yang dalam.
Setelah membersihkan dan mengobati tubuhnya, aku mengajaknya untuk beristirahat ke dalam kamar, hujan kali ini benar-benar awet, cuaca juga sangat dingin, rasanya tak betah berada di luar kamar terlalu lama. Besok juga Mas Ahmad harus bekerja, tapi mengingat kondisinya, mungkin sebaiknya izin dulu tak apa.
Namun, lagi-lagi Mas Ahmad menolak dan menepis tanganku perlahan. Dan lagi-lagi aku merasa aneh karena sejak kedatangannya tadi, Mas Ahmad sama sekali tak mengucap sepatah kata pun.
"Yaudah aku masuk dulu, ya!" ujarku, kemudian berlalu. Mencoba menepis semua pikiran-pikiran aneh yang ada di kepalaku.
Melangkah menuju kamar dengan perasaan entah, walau bagaimanapun, hati terdalamku pun turut berkata bahwa aku merasa dia bukan Mas Ahmad. Aku bersamanya hampir empat tahun, dan sama sekali Mas Ahmad tidak pernah bersikap seperti ini.
Ah pikiranku benar-benar kalut. Berbagai macam tanya memenuhi ruang berpikirku. Apa yang terjadi dengan Mas Ahmad. Apa mungkin, memang karena dia merasa lelah? Jadi enggan untuk bicara.
Karena memang yang kutahu, Mas Ahmad paling tidak bisa terkena air hujan. Jika kehujanan, pasti badannya lemas dan besoknya akan demam.
****
Aku terbangun saat merasa seseorang tengah******bagian-bagian tubuhku. Tangan itu bergerilya menyusuri setiap lekuk tubuhku.
Mengerjapkan mata pelan, mencoba mengumpulkan kesadaran yang tadinya ambyar. Saat membuka mata, aku terkejut mendapati Mas Ahmad tengah mencumbuku, menatapku lekat dan terseyum.
Tidak! Ini bukan senyum. Lebih tepatnya menyeringai. Lagi-lagi tidak biasanya dia berperilaku seperti ini, hampir empat tahun membangun bahtera rumah tangga, namun sekalipun Mas Ahmad tidak pernah mencumbuku kala aku terlelap. Kali ini aku tak dapat menafikan kalau Mas Ahmad benar-benar aneh, aku yakin sosok yang ada di depanku saat ini bukanlah suamiku. Namun, untuk berontakpun aku tak mampu.
Biasanya, Mas Ahmad akan membangunkanku terlebih dahulu. Tapi kali ini, dia tiba-tiba melakukannya tanpa sepatah katapun. Tatapannya juga sangat tajam bak belati yang siap menghujam, aku merasa tidak ada sosok Mas Ahmad yang kukenal pada tubuh yang saat ini tengah menjamahku. Aku mencoba tersenyum getir saat Mas Ahmad kembali menatapaku.
Bahkan untuk menatap wajahnya saja aku tak berani, bibirnya pucat pasi. Matanya sayu, dan tubuh yang tengah beradu denganku kini terasa sangat dingin. Sama seperti sebelumnya.
Aku mengabaikan semua yang kurasa, dan mencoba bersikap biasa saja. Karena tak mau membuat Mas Ahmad merasa kecewa karena beranggapan bahwa aku tidak senang dengan cumbuannya.
Malam ini Kamil sangat lelap, guyuran hujan juga masih deras. Malam ini terasa begitu panjang, dan entah kenapa aku ingin sekali agar hari cepat pagi. Rasanya tidak nyaman dengan keberadaan Mas Ahmad.
****
Lengkungan panjang kokok ayam membuatku mengerjapkan mata pelan. Rasanya tenagaku masih belum kembali pagi ini, terkuras habis dengan permainan Mas Ahmad semalam.
Tenaganya begitu kuat, lagi-lagi tidak biasanya Mas Ahmad melakukannya kala lelah tengah menyergap. Apalagi sehabis kehujanan dan mungkin kecelakaan karena tubuhnya penuh dengan luka, namun masih mampu melakukannya.
Oh ya, soal lukanya, aku masih belum tau apa sebabnya. Karena kemarin malam Mas Ahmad tak mengatakan apapun padaku, benar-benar membisu tanpa sedikit memberi penjelasan padaku.
Bangkit dari peraduan, namun tak mendapati sosoknya di sampingku. Mungkin sudah berangkat ke masjid. Pikirku.
Aku pun beranjak menuju kamar mandi, guyuran dingin air sedikit membangkitkan kesadaranku. Hujan pun sudah reda, tak terdengar lagi gemuruh langit seperti semalam.
Usai mandi, aku menunaikan salat subuh. Aku memang jarang sekali ke masjid, bahkan nyaris tidak pernah setelah kelahiran Kamil. Karena tidak memungkinkan untukku meninggalkannya seorang diri.
Setelah membuatkan teh panas untuk Mas Ahmad, aku berniat membuat nasi goreng untuknya, ada nasi sisa semalam. Namun, niat itu kuurungkan saat mendengar seseorang berucap salam di balik pintu utama.
"Assalamualaikum,"
Setelah mengenali suara itu, aku membuka pintu dengan senyum merekah, setelah sebelumnya menjawab salamnya pelan. Wajahku bersemu saat teringat bagaimana buasnya permainan tadi malam.
Aku terperangah kaget melihat sosok yang tengah berdiri di depanku saat ini. Aku memindai tubuhnya dari bawah ke atas, berusaha menelan ludah untuk membasahi kerongkongan yang mendadak gersang.
Sosok di balik pintu yang masih dengan pakainnya kemarin sebelum berangkat, kemeja biru dan celana hitam. Astaga! Lalu yang semalam siapa?