"Kalau dipikir dengan logika memang terasa sulit ya, Mbak Nur. Tapi memang kenyataannya seperti itu." Imbuhnya meyakinkan, dan aku hanya menganggukkan kepala pertanda paham.
Usai belanja lauk pauk, aku kembali ke rumah dengan perasaan gugup.
"Mass ... Mass ...," Teriakku saat baru saja memasuki rumah.
"Ish, apasih, Dek. Pagi-pagi juga." Sungutnya.
"Itu, Mas. Kata Ibu-ibu tadi, jasad Mbah Ridwan yang kemarin dimakamkan, pindah ada di pondasi rumah yang ada di sebelah rumahnya itu lho." Ucapku mejelaskan.
"Kamu nih ngomong apa sih, Dek. Ya nggak mungkin lah!" Mas Ahmad berlalu meninggalkanku yang masih terpaku di meja dapur.
Sulit sekali dipercaya, bagaimana mungkin? Jelas-jelas jarak antara tempat pemakaman dengan rumah Mbah Ridwan lumayan jauh, harus menyebrangi sungai untuk menempuh tempat pemakaman tersebut.
Menurut berita yang beredar, jasad Mbah Ridwan ditemukan di pondasi rumah yang posisinya berada di sebelah rumahnya, tepat berada di bawah pohon pisang dengan tanpa kain kafan. Memakai pakaian biasa seperti semasa hidupnya.
Umurnya sudah sepuh, namun tenaganya untuk berjalan masih kuat. Beliau tidak pernah sakit-sakitan seperti orangtua pada umumnya. Tapi satu hal yang tidak pernah aku lihat dari Mbah Ridwan, beliau sholat di masjid.
Posisi rumahku tepat di sebelah selatan masjid, dan rumah Mbah Ridwan berada di arah barat Masjid. kebetulan pintu masuk masjid berada di arah timur dan selatan, posisinya tepat di depan rumahku. Dan aku tidak pernah sama sekali melihat Mbah Ridwan berjalan melewati masjid dan sekitarnya.
Jika ada perlu pada tetangga yang rumahnya berada di arah timur masjid, maka Mbah Ridwan akan memutar melewati jalan setapak untuk mencapai rumah tujuannya tanpa melewati masjid.
Jadi, posisi masjid ini sebetulnya di kelilingi beberapa rumah warga RT sini. Masjid yang tidak terlalu besar, namun setidaknya cukup untuk tempat beribadah.
Bahkan, Ibu dari Mbah Ridwan yang kutafsir umurnya sudah sekitar seratus tahun lebih masih hidup, hanya saja sudah tidak kuat untuk berjalan. Sehari-harinya hanya berdiam di dalam rumahnya.
Pondasi rumah itu, beliau bangun untuk rumah anak semata wayangnya, Hasbi beserta anak isterinya. Memang hanya berupa pondasi yang sebetulnya sudah lama beliau bangun. Itu saja yang kutahu mengenai keluarga Mbah Ridwan.
Menurut kabar yang beredar, Mbah Ridwan memiliki 'peliharaan'. Tak jarang banyak sekali tamunya berdatangan untuk meminta bantuan 'santet' pada Mbah Ridwan. Tapi aku tak dapat membenarkan rumor ini, karena aku tidak pernah melihatnya secara langsung.
Memang setiap hari ada saja tamu yang datang, dan jumlahnya tidak sedikit. Tapi bisa saja mereka sanak saudara dari Mbah Ridwan 'kan?
Kemaren pagi, beliau ditemukan tidak bernyawa di kamar pribadinya. Isterinya yang mengetahui hal itu, Mbah Surti. Yang umurnya masih sekitar lima puluh tahun.
Mbah Surti berteriak dan membuat para tetangga keluar rumah dan memperhatikan asal teriakan suara Mbah Surti. Mendengar teriakan pilu yang tak berkesudahan itu, membuat para tetangga lainnya mendatangi rumah Mbah Surti, termasuk aku.
Aku datang bersama Mbak Karin, memasuki rumahnya yang cukup sederhana namun luas, mungkin itu alasannya Mbah Ridwan membangun rumah kembali, agar Hasbi beserta anak isterinya merasa lebih nyaman.
Saat sedang celingukan untuk melihat apa yang terjadi, karena rumah ini penuh dengan para tetangga, Mbak Karin mencolek tanganku.
Dari matanya, dia mengisaratkan agar aku menoleh ke arah kanan, sebuah ruangan yang berada di sebelah ruang tamu. Nuanasa merah dengan kelambu lusuh berwarna hijau. Itu yang kulihat dari celah kelambu yang tidak menutup sempurna.
Baru aku ketahui ternyata itulah kamar pribadi Mbah Ridwan. Tempat Mbah Ridwan ditemukan tak bernyawa. Ruangan itu tidak seperti kamar, lebih tepatnya seperti ruangan khusus untuk, entahlah. Aku tidak bisa melihat dengan jelas.
***
"Dek, Dek!" Teriak Mas Ahmad.
"Mbok ya kalo pulang kerja salam dulu," tegurku. Mas Ahmad nyengir kuda.
"Yang kamu bilang tadi pagi bener lho, Dek. Dan sebentar lagi akan di adakan pemakaman ulang untuk Mbah Ridwan." Jelas suamiku yang membuat tengkukku merinding.
"Kenapa harus sore, Mas? Wong ditemukan pagi tadi kok. Harusnya ya wes dari tadi gak nunggu sore!" Gerutuku.
"Itu dia masalahnya, Dek. Jasad Mbah Ridwan kaku. Walau sudah di kompres air hangat tetap saja tidak bisa lemes. Jadi sulit untuk memandikannya lagi."
"Lho, dimandikan lagi kah, Mas?" Tanyaku.
"Iyalah, Dek. Tadi Mas ke sana. Kata Hasbi tubuh Mbah Ridwan kotor, dan sulit dibersihkan jika badannya masih kaku." Jelas Mas Ahmad.
"Itu, Mbah buyut tau apa nggak Mas kalo jasad Mbah Ridwan kembali?" Tanyaku lagi.
"Nggak tau juga, sih. Kemungkinan ya nggak bakal tau. Mbah Buyut udah sepuh dan tidak bisa mengingat siapa-siapa lagi."
Mbah buyut, Ibu dari Mbah Ridwan.
Memang kematian tidak pernah peduli dengan seberapa senja usia.
****
Usai dari pemakaman Mbah Ridwan, Mas Ahmad pulang dengan wajah lesu.
"Eih cuci kaki dan tangan dulu!" Tegurku.
Orang jawa memepercayai selepas datang dari makam atau rumah orang yang meninggal, sebelum memasuki rumah harus cuci tangan dan kaki dulu, menghindari bala' katanya.
"Kenapa Mas. Kok lama banget?" Tanyaku lagi.
"Iya, Dek. Banyak drama tadi. Mana makam Mbah Ridwan ditaburi kacang hijau."
"Hah? Kenapa?" Tanyaku terkejut.
"Karena menurut orang-orang, supaya jasadnya tenang, nggak bergentayangan. Miris sih dengan kepercayaan kayak gitu."
"Dan lagi, malah ada yang ngambil pengukur liang lahatnya, katanya buat mancing, biar sering dapet ikan." Imbuh Mas Ridwan.
Duh! Miris.
****
Malam ini Mas Ahmad masuk malam, biasanya pulang esok jam lima atau enam pagi. Cuaca kali ini begitu berbeda, biasanya jam segini banyak anak-anak main kejar-kejaran di depan rumah. Tapi kali ini hening, padahal masih jam sembilan malam.
Tak lama terdengar petir bergemuruh, sepertinya akan turun hujan. Samar, terdengar suara klatak-klatak dari arah masjid, lebih tepatnya belakang masjid. Aku mengintip jendela depan yang lurus ke arah masjid.
Namun sulit, aku tidak dapat melihat apapun. Sampai tiba-tiba samar kulihat bayangan seorang tubuh ringkih tanpa busana yang berjalan tertatih dengan tongkat di tangannya di depan rumah. Kemudian, tubuh itu memutar kepalanya dan astagah! Mbah Ridwan menatapku dengan tatapan bengis, wajahnya terlihat marah. Tak ada yang dapat kulakukan, aku hanya terpaku menatap wajah itu, yang kemudian menghilang dari pandangan.