3. bungkusan putih di tumpukan kayu


Setelah malam itu, bisa dibilang setiap hari di jam yang berbeda aku ataupun Mas Ahmad mendengar suara klatak-klatak yang tentu berasal dari arwah Mbah Ridwan. Hal itu membuatku cukup penasaran, sebenernya apa tujuannya tersebut.

"Mbak Nur, sini ngobrol-ngobrol dulu sama kita," ajak Mbak Karin selepas belanja pagi. 

Kebetulan Mas Ahmad masuk siang hari ini, jadi bisa masak nanti saja, akupun ikut nimbrung di teras rumah Mbak Karin.

"Hampir tiap malem aku denger bunyi klatak-klatak depan rumah, kadang jauh kadang deket. Ada yang denger juga nggak? itu suara apa ya?" Mbak Mia bersuara.

"Ya mungkin kucing, Mi." Jawab Mbak Tutik asal.

"Ya mosok tiap malem, Mbak." Gerutu Mbak Mia kesal.

"Kalian inget, nggak? Yang dulu aku pernah sakit parah?" Kali ini Mbak Karin bersuara, aku hanya diam menyimak pembicaraannya.

"Inget, inget." Mbak Tutik mengangguk cepat.

"Emang kenapa, Mbak Karin?" Tanyaku kemudian.

"Sebelum itu, pas aku lagi masak di dapur, tiba-tiba ada yang ketok pintu belakang. Pas tak buka ternyata Mbah Ridwan. Awalnya basa-basi, terus dia bilang pinjem duit dua puluh ribu."

"Nah, sesudahnya, Mbah Ridwan pamit pulang. Tiga hari setelah itu, aku merasa badanku panas banget, bahkan sampe disiram air masih kepanasan, kalian inget 'kan?" 

"Ho'oh Mbak." Jawab kami kompak.

Memang satu tahun lalu, Mbak Karin pernah sakit-sakitan. Kadang kumat, kadang nggak. Kalo sakitnya sudah kumat, Mbak Karin bisa teriak dan kepanasan. Sesak napas dan bergumam nggak jelas. Kepalanya sangat berat dan perutnya seperti ditusuk ribuan jarum.

Sudah berbagai macam pengobatan dilakukan, tapi tetap tidak ada perubahan. Ke dokter juga nggak ngaruh, pergi ke Kyai juga sudah. Itu yang diceritakan Mbak Karin.

"Nah, sekitar tiga bulan kemudian, pas bongkar-bongkar kayu bakar di belakang rumah, Mas Rudi nemuin kayak kain putih lusuh yang dibungkus solasi, akhirnya Mas Rudi memutuskan untuk membuangnya ke got belakang rumah." Lanjut Mbak Karin.

"Tapi beberapa bulan terakhir, benda itu ada lagi di rumah ini, sudah dibuang masih juga balik. Baliknya juga berpindah-pindah tempat. Akhirnya Mas Rudi kesal dan membakar benda tersebut. Dan, sehari setelah itu Mbah Ridwan meninggal. Padahal nggak sakit 'kan?" 

Mendengar penjelasan Mbak Karin. Jelas membuat kami yang mendengarnya membelalakkan mata. 

"Ya aku sih nggak mau berpikir negatif, tapi gimana ya," lanjut Mbak Karin dengan wajah gusar.

Hening, kami bermain dengan pikiran masing-masing untuk mencerna kejanggalan yang diceritakan Mbak Karin.

"Kalian nggak mau masak? Udah siang lho ini." Ucap Mbak Karin memecah keheningan.

"Ya wes Mbak aku mau pulang dulu ya, takut Kamil bangun." Ucapku.

Akupun beranjak pulang untuk memasak dan bersih-bersih rumah.

****

"Mas, aku kepikiran deh Mas, buat ngomong sama Hasbi atau Mbah Surti tentang kejadian yang selalu kita dengar setiap malem."

Mendengar ucapanku, Mas Ahmad menghentikan aktivitas memakannya. Mas Ahmad menatapku lekat, kemudian berucap.

"Apa nggak sungkan, Dek?" tanyanya

"Ya gimana Mas. Takutnya ada hal yang belum diselesaikan di dunia ini oleh Mbah Ridwan. Kalo kita bilang keluarganya, siapa tau mereka bisa menyelesaikan."

"Lagipun bukan hanya kita, Mas. Beberapa warga juga ada yang melihatnya. Dan ini sangat mengganggu untuk kita semua." Imbuhku lagi.

"Lagian pas pemakaman pakek ditaburi kacang hijau segala. Ya mungkin ini juga penyebabnya." Gerutu Mas Ahmad sebal.

"Yang ngambil pengukur liang lahatnya siapa, Mas?" Tanyaku.

"Si Yoga" jawab Mas Ahmad cepat.

Yoga, anak Mbak Tutik. Nekat sekali dia.

"Yasudah, nanti malem kita ke rumah Hasbi ya, Dek." Ucapnya lagi, dan kemudian melanjutkan makannya, akupun bernapas lega dan lanjut menyuapi makan Kamil.

****
 
Setelah sholat maghrib berjamaah, Mas Ahmad menghamipiriku yang sedang mengaji bersama Kamil.

"Dek, setelah Mas pikir-pikir. Kok kesannya kita terlalu ikut campur kalo datang ke rumah Mbah Sur untuk mengatakan semua yang terjadi." Ucap Mas Ahmad dengan wajah bimbang.

Akupun menutup Alquran dan meletakkannya di rak sudut kamar. Kemudian duduk di sebelahnya.

"Trus gimana dong? Sampek kapan kita akan diperlihatkan arwah Mbah Ridwan tiap malem?" Tanyaku.

"Mas juga bingung, Dek. Soalnya kita 'kan nggak terlalu dekat dengan keluarga Mbah Ridwan. Kalo tiba-tiba kita dateng terus bicara soal arwah Mbah Ridwan apa nggak aneh?"

Betul juga apa yang dikatakan Mas Ahmad. Selama ini, aku sangat jarang berbicara basa-basi dengan Mbah Sur. Kecuali kalo Mbah Sur lewat depan rumah hendak ke masjid, saat melihatku duduk di teras, beliau tersenyum. Sekedar seperti itu.

Jika Mbah Ridwan tidak pernah datang ke masjid, Mbah Surti malah rajin. Setiap sholat lima waktu berjamaah di masjid, bahkan nyaris setiap hari. 

Mendengar ucapan Mas Ahmad, aku mengangguk paham. Benar juga yang Mas Ahmad katakan, takutnya nanti malah Mbah Surti dan Hasbi membenci kita. Dikiranya kita menyebar berita halu.

****

Malam ini mataku sulit sekali terpejam. Mas Ahmad dan Kamil sudah terlelap sedari tadi. Terdengar dengkuran halus dari dua lelaki yang sangat kucintai itu.

Sudah pukul dua dinihari, tapi aku masih tak dapat tertidur juga. Aku pun berniat pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudu menunaikan salat tahajjud.

Bangkit dari peraduan dengan perlahan, takut Kamil terbangun. Setelah membuka knop pintu kamar, aku mendengar suara rusuh dari arah dapur. Seperti ada seseorang yang tengah beraktivitas di sana. 

Apa mungkin maling? Akupun memutuskan untuk mengeceknya sebentar.

Sengaja aku berjalan mengendap untuk mengintipnya. Benar saja, ada seseorang yang tengah membelakangiku menghadap rak piring, tangannya bergerak seakan memilah piring-piring yang berada di sana.

Tangannya kurus seperti hanya tulang yang berbalut kulit. Kukunya hitam legam dan berpakaian lusuh, fiks ini pasti maling. 

Saat aku mengamatinya, tiba-tiba dia memutar tubuhnya menghadapku. Astaghfirullah! Dia, dia makhluk yang sama seperti beberapa hari lalu di jendela kamar.

Kakiku seakan membeku, bahkan mulutku sangat kaku. Untuk berteriak saja aku tak mampu. Ya Allah! Tolong hambamu ini.

Makhluk itu kian mendekat, aku baru sadar jika kakinya tidak seperti manusia biasa, kakinya lebih mirip dengan sayap kelelawar. Entah aku tak bisa banyak menjelaskan, aku terjatuh karena kakiku sudah tidak kuat lagi menopang tubuhku.

"Si-siapa kam-u," teriakku padanya, namun sepertinya suaraku tertahan di kerongkongan.

Makhluk itu menyeringai menatapku penuh dendam, apa yang dia mau sebenernya?

Deru napas kian memburu, saat jarak kami sudah beberapa jengkal saja, makhluk itu tiba-tiba menghilang. Aku membuang napas kasar, tanganku masih bergetar, aku berdiri perlahan menuju kamar mandi tempat tujuanku sedari awal.

Setelah tuntas di kamar mandi, aku pun kembali ke kamar. Berdoa meminta perlindungan pada Sang Pencipta agar keluargaku senantiasa baik-baik saja. 

****

Siang ini, saat aku sedang bermain di teras rumah dengan Kamil, Mbak Tutik beserta Yoga, anaknya. Berjalan melewati depan rumah dengan wajah tegang.

Kok tumben-tumbenan, biasanya Mbak Tutik selalu ceria.

"Mbak Tutik mau ke mana?" Tanyaku.

Bukannya menjawab, Mbak Tutik mengajak Yoga untuk mampir di rumahku dahulu.

"Mbak, beneran aku sudah nggak tahan. Setelah kepergian Mbah Ridwan, setiap malam selalu ada saja yang mengetok pintu belakang. Pas tak lihat, ada dua orang berdiri membalakangi, yang satu telanjang dan yang satu enggak. Salah satunya seperti yang ketok-ketok pintu depan, yang wajahnya serem."

"Dan yang satu lagi, bertelanjang bulat. Saat dia memutar wajahnya menghadapku, aku bisa lihat dengan jelas dia Mbah Ridwan, Mbak Nur." Jelas Mbak Tutik sambil begidik ngeri.

Jadi, makhluk itu ada hubungannya dengan Mbah Ridwan. Tapi siapa dia?

"Parahnya, setiap hari Yoga selalu di datangi dalam mimpinya." 

Aku terperangah mendengar penjelasan Mbak Tutik tadi, apa Mbak Tutik tidak tahu mengenai Yoga yang mengambil pengukur liang lahat Mbah Ridwan?

"Terus, ini Mbak Tutik mau ke mana?" Tanyaku kemudian.

"Ya mau ke rumah Mbah Sur lah Mbak. Agar Mbah Ridwan nggak ganggu kita lagi," jawab Mbak Tutik.

Tatapanku beralih pada Yoga. Ya, mungkin dia penyebabnya hingga Mbak Tutik selalu didatangi arwah Mbah Ridwan.

"Yoga, apa ngga sebaiknya kamu kembalikan saja." Ucapku lembut.

Mbak Tutik menatapku dengan penuh tanya. 

Yoga menengadah menatapku, wajahnya terlihat cemas dan takut.

"Kembalikan apa, Mbak?" Tanya Mbak Tutik.

"Sebaiknya biar Yoga saja yang bercerita, Mbak Tutik." Jawabku.

Mendengar ucapanku, tatapannya kini beralih pada Yoga.

"Apa yang kamu lakukan, Nak." 

" Ehm, anu, Bu. Aku meminjam kayu pengukur liang lahat Mbah Ridwan," jawabnya gagu, raut wajahnya terlihat sangat ketakutan. 

Mendengar perkataan putranya itu, Mbak Tutik membelalakkan mata terkejut.

"Astaga, Le. Kok nekat kamu, Nak. Mau buat apa?" Tanyanya sedikit membentak.

Yoga hanya diam menunduk. 

"Sekarang kayu itu ada di mana?" Kali ini suara Mbak Tutik lebih lembut.

"Di samping lemari yang ada di kamar, Bu." Jawab Yoga.

Kemudian Mbak Tutik beranjak pulang, dan dalam sekejap sudah kembali dengan kayu yang terbuat dari bambu di tangannya. 

"Ayok, Le. Kita kembalikan sekarang juga." Ajak Mbak Tutik tegas.

"Mbak Tutik, jangan pergi berdua. Bentar ya biar aku minta tolong Mas Ahmad untuk nganterin kalian. Lagian makamnya juga lumayan jauh. Kalian nggak tau juga 'kan letaknya di mana?" Ucapku.

Mendengar ucapanku, Mbak Tutik mengangguk. Aku pun menghampiri Mas Ahmad dan memintanya menemani Yoga dan Mbak Tutik.

****

"Assalamualaikum, Dek." Ucap Mas Ahmad setelah tiba di rumah.

"Waalaikumsalam, Mas."

"Kamil kemana?" Tanyanya celingukan mencari keberadaan putra semata wayangnya.

"Lagi tidur di kamar, Mas." 

Mas Ahmad terlihat menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. Ada raut cemas di wajahnya.

"Kenapa, Mas?" Tanyaku kemudian.

"Dek, tadi pas ke makam Mbah Ridwan. Makamnya bau busuk banget." Ucapnya lagi dengan wajah serius.





Komentar

Login untuk melihat komentar!