5. bagian lima



Setiap satu putaran, Mbah Ridwan harus mengencingi buku yang berisi potongan beberapa ayat alquran tersebut.

Dahulu semasa hidupnya, kala melakukan kegiatan itu, ada sesuatu yang membuat Mbah Ridwan tak dapat dilihat orang lain. Namun Mbah Sur enggan untuk menceritakan detailnya tentang ini. Dan Pak Selamet pun tidak memaksanya.

Mbah Ridwan terlibat ikatan dan perjanjian dengan 'peliharaannya'. Oleh sebab itu 'peliharaannya' menuntut agar arwah Mbah Ridwan yang menggantikannya.

Peliharaannya juga meminta pengganti Mbah Ridwan untuk bersekutu dengannya. Pastinya keturunan dari sang keluarga. Mbah Sur bilang, bahwa yang dimiliki Mbah Ridwan turunan dari Mbah Buyut. Oleh sebab itu Mbah Buyut juga terlibat dalam hal ini.

Ada satu sarat agar peliharaannya berhenti membuat arwah Mbah Ridwan bangkit dan mengelilingi masjid, yaitu jika keluarganya memberi sesajen berupa ayam hitam di makam Mbah Sur. Namun itu hanya sementara.

Pantas saja sekitar dua hari ini aku tidak mendengar suara klatak-klatak lagi. Batinku.

Selanjutnya, yang dikatakan Mas Ahmad semalam yang sangat membuatku terkejut adalah.

Kematian Mbah Ridwan disebabkan oleh kegagalannya dalam 'memanah' mangsanya. Jadi, sesuatu yang dia kirim, berbalik pada sang empunya. Istilahnya senjata makan tuan.

Mendengarnya, aku teringat ucapan Mbak Karin beberapa hari lalu. Yang mengatakan 'membakar' sesuatu yang ia temukan beberapa kali di dalam rumahnya, dan sehari setelah itu, Mbah Ridwan ditemukan tak bernyawa.

Sekarang, aku mengerti dengan apa yang dibicarakan Mbak Karin. Mungkin ini yang dia maksud 'nggak mau berpikir negatif'.

Namun tidak tau pasti siapa orangnya, karena Mbah Sur enggan memberi tahu siapa orang yang menjadi 'sasaran' Mbah Ridwan tersebut.

Sulit memang untuk mempercayai semua ini, kejadiannya sangat di luar nalar. Tapi kenyataannya memang demikian.

Dan soal makhluk yang kadang kulihat, dia adalah 'peliharaan' Mbah Ridwan, yang membuat arwah Mbah Ridwan beserta Mbah buyut pindah ke bawah pohon pisang yang berada di pondasi rumah.

Semuanya terjawab sudah. Jujur saja, dulu aku tidak pernah percaya dengan hal seperti ini. Bahkan menurut cerita yang kudengar, pemilik ilmu 'santet' harus melakukan hal nista pada sang pencipta. Bahkan terkadang ada yang sampai menginjak-nginjak alquran. Itu yang kudengar beberapa cerita dari mulut ke mulut.

"Assalamualaikum."

Mendengar salam Mas Ahmad, aku terperanjat dalam lamunan panjangku. Lalu bangkit dari tempat duduk untuk membukakan pintu, setelah sebelumnya menjawab salam dari Mas Ahmad pelan.

"Dek, hari ini tanggal merah, jadi Mas libur." Ucapnya sambil meneguk teh yang mungkin sudah hangat.

"Ohh iya, Mas."

"Ehm Mas! Kemarin ngapain ke makam Mbah Ridwan?" tanyaku.

"Pak Selamet yang ngajak, Dek. Buat mendoakan Mbah." 

"Lalu, soal anjing-anjing itu?"

"Itu anjing dari gunung kidul, Dek. Kebanyakan memang datang pada kuburan pemilik 'santet'." Jawabnya lagi.

"Tapi untuk apa, Mas?"

"Ya Mas kurang tau juga. Itu menurut cerita orang-orang." Jawab Mas Ahmad, dan kemudian meneguk tandas teh dalam gelas.

Belum sempat melanjutkan apa yang tak sempat kutanya semalam, karena kemarin sudah sangat larut. Tiba-tiba terdengar panggilan cadel dari putraku Kamil.

Akupun beranjak menyusulnya ke dalam kamar.

****

Siang ini mendung menggelayut manja di langit, matahari enggan menampakkan sinarnya. Jam sembilan tadi, Mas Ahmad pamit pergi karena ada keperluan. Dan hingga kini tak kunjung datang.

Matahari tak terlalu terik, aku pun bermain di teras rumah bersama Kamil, setelah sebelumnya menyuapi makan siangnya. Tadi, sehabis mandi pukul delapan pagi, Kamil terlelap dengan nyenyak, jadi kemungkinan dia tidak mengantuk untuk siang ini.

Saat sedang asik bermain dengan Kamil, terdengar pintu berdencit yang terbuka. Dan aku mengenali pintu ini. Ya, pintu rumah Mbak Mia.

Mbak Mia menghampiri aku yang tengah bermain dengan Kamil, kemudian duduk di tepian lantai.

Rumah orang-orang di sini, semua sama, hanya lesehan. Jangankan di teras, di ruang tamu saja jarang ada yang memiliki kursi. Jadi, tidak seperti rumah orang-orang kota yang di teras rumahnya saja terdapat kursi untuk duduk.

Bahkan jika malam, kebanyakan orang-orang akan tiduran di teras rumah sampai larut malam. Namun, seperti yang kubilang, semenjak kepergian mendiang Mbah Ridwan, RT ini jadi sepi. Yang terkadang pukul delapan malam masih rame anak-anak berlarian, sekarang sangat senyap.

"Mbak Mia kenapa? Kok kayak lesu banget gitu?" tanyaku melihat Mbak Mia lain dari biasanya. Kali ini tak banyak bicara.

"Aku lagi nggak enak badan, Mbak Nur. Sejak semalem yang abis liat makhluk buruk itu. Badanku lemes banget."

"Perlu ke bidan, Mbak? Biar aku yang antar," ajakku.

"Nggak perlu, Mbak Nur. Mungkin efek cuaca," ucapnya lagi, kemudian wajahnya tampak murung.

"Kenapa, Mbak?" Tanyaku lagi. Khawatir dengan keadaannya. 

"Boleh cerita nggak? Mbak Nur," ujarnya ragu.

"Boleh Mbak. Cerita aja," jawabku tersenyum.

"Sebenernya, tadi malem setelah liat makhluk aneh itu, aku susah tidur Mbak. Sekalinya tidur, malah dimimpiin makhluk itu. Jadinya sampek pagi aku nggak bisa tidur lagi. Mungkin sebab itu juga aku jadi nggak enak badan." Jelasnya.

Deg!

Aku sedikit terkejut mendengar penjelasan Mbak Mia. Teringat bagaimana makhluk aneh semalam menyorotkan kebencian padaku. Dan mengatakan untukku agar tidak ikut campur.

"Memangnya, Mbak Mia mimpi gimana?" tanyaku lagi.

"Mimpinya kayak nyata banget, Mbak. Jadi dia gedor-gedor pintu kamar aku. Pas masuk, wajahnya lebih serem dari yang kulihat sebelumnya, dia menyeringai dan menampakkan gigi taringnya. Duhh pokoknya serem banget, sampai aku takut buat tidur," jelas Mbak Mia sambil begidik ngeri.

Aku menyimak penjelasannya, sambil sesekali melirik mengawasi Kamil yang tengah bermain dengan bolanya. Semakin ke sini, semakin banyak pula kejadian aneh.

"Jangan dipikirin, Mbak. Mungkin hanya bunga tidur," elakku. Agar Mbak Mia tak lagi ketakutan.

"Beneran aku takut banget. Mana suami baru pulang hari sabtu." Ucapnya lagi.

Dan setelahnya, Mbak Mia pamit pulang karena merasa kedinginan, cuaca memang tidak bersahabat hari ini. Sepertinya hujan akan turun. Sedang Mas Ahmad tak kunjung pulang.

Benar saja, percikan air mulai turun dari langit, aku segera mengajak Kamil untuk masuk ke dalam rumah. Khawatir badannya panas jika terkena air hujan.

Guyuran hujan semakin deras, petir menggelegar, masih jam dua siang, tapi langit sudah menggelap. Sedang Mas Ahmad tak juga ada kabar.

Aku khawatir, tidak biasanya seperti ini. Dari jam sembilan hingga kini tak kunjung pulang. Kamil sudah terlelap sedari tadi. Berkali-kali aku menghubungi Mas Ahmad, namun tak kunjung ada jawaban. Mungkin teleponnya mati.

****

"Dek," ucap suara di balik pintu.

Aku tau suara itu, Mas Ahmad. Ya, dia baru pulang, padahal hari sudah larut malam. Hampir pukul sembilan. Entah ada apa dengannya, dari tadi, pikiranku tidak tenang.

"Ya Allah, Mas!" teriakku setelah membuka pintu.

Aku menutup mulutku yang menganga lebar kala menatap lelaki yang saat ini berdiri diambang pintu. Mencoba menelan ludah yang terasa pahit. Apa yang sudah terjadi?kenapa kondisinya seperti ini?

Terdapat darah yang mengalir di kepalanya, tubuhnya penuh luka goresan. Pelipisnya membiru, dan matanya tajam menyorotku.

Bersambung.



Komentar

Login untuk melihat komentar!